Mohon tunggu...
nanda sihombing
nanda sihombing Mohon Tunggu... polri -

J'aime la vie! I feel that to live is a wonderful thing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Lebih dalam Kekerasan pada Anak

5 Februari 2016   07:11 Diperbarui: 4 April 2017   17:46 3413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia  lahir yang  berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Hak hak ini berisi tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membeda bedakan suku, golongan, keturunan, jabatan dan lain sebagainya di antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Jika kita melihat perkembangan HAM di negara ini ternyata masih banyak  pelanggaran HAM yang sering kita temui. Mulai dari pelanggaran kecil yang berkaitan dengan norma hingga pelanggaran HAM besar yang bersifat kriminal dan menyangkut soal keselamatan jiwa. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu adanya keseriusan dari pemerintah menangani pelanggaran pelanggaran yang terjadi dan meng hukum individu atau oknum terbukti melakukan pelanggaran HAM. Selain itu masyarakat juga perlu mengerti tentang HAM dan turut menegakkan HAM mulai dari lingkungan sosial tempat mereka tinggal hingga nantinya akan terbentuk  penegakan HAM tingkat nasional. Adapun contoh dari pelanggaran HAM di Indonesia adalah kekerasan terhadap anak.

Anak sering  menjadi korban dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan orang dewasa, baik itu orang tua atau keluarga terdekatnya. Terdapat empat tipe utama kekerasan pada anak (child abuse) yaitu kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran. Angka kejadian kekerasan pada anak (child abuse atau CA) sendiri memang belum terungkap semua. Biasanya kejahatan ini tersembunyi di mana ketika ayah, ibu atau anggota keluarga di rumah melakukan kekerasan dan menganggap ini hal biasa, atau takut akan melaporkan karena dianggap membuka aib. Terkuaknya kasus-kasus yang ada, rata-rata setelah luka pada tubuh anak ketika dibawa berobat atau anak tersebut meninggal. Kekerasan pada anak dapat terjadi karena berbagai faktor atau mungkin saja beragam kejadian tersebut terakumulasi dan dengan adanya faktor pencetus sedikit saja, mereka lantas melakukan kekerasan. Pencetus yang sering terjadi salah satunya adalah tangisan anak yang tanpa henti dan kenakalan anak.

            Beberapa tahun terakhir banyak pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya bahkan sampai meninggal dunia. Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (http://www.kpai.go ) dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Di samping itu, Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut, ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman-temannya menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas, mengalami mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah. Derivasi kekerasan bukan lagi dominasi jalanan, atau di negara penuh konflik dengan rasio kemiskinan yang tinggi. Di beberapa wilayah Indonesia, keluarga juga terkadang menjadi pemicu obsesif akan tingkah laku kekerasan pada anak. Keluarga sebagai tempat teraman yang semestinya menyediakan perasaan aman yang paling dasar bagi anak, berubah menjadi tempat dengan lingkaran kekerasan yang menakutkan.

Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, pada 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung mencapai 9,27 % atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85% atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98%), ayah tiri (2 kasus atau 0,98%). Bahkan berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan kekerasan terhadap anak dengan prosentase sebesar 60 persen dibanding laki-laki. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kelangsungan generasi penerus bangsa, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah serta mengurangi kekerasan terhadap anak.

          

Kekerasan Pada Anak

A. ETIOLOGI

Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya adalah teori yang behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.

1.          Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.

2.          Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.

3.          Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.

Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sahlah untuk mendera anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya

Pada saat ditanyakan tentang bagaimana kejadiannya sampai perlukaan tersebut bisa terjadi, biasanya orang tua atau wali yang mengantar anak itu akan memberikan jawaban yang tidak konsisten dan tidak klop antara kedua orang tua dengan kata lain jawabannya “ngarang”. Untuk anak yang berusia diatas tiga tahun kita dapat menanyakan kejadiannya pada korban, tapi ini dilakukan di ruang terpisah dari tersangka pelaku (private setting). Juga, anak yang menjadi korban ini dibawa untuk mendapatkan perawatan tidak dengan segera atau ada jarak waktu antara kejadian dengan upaya melakukan pertolongan. Berikut ini tanda-tanda yang sering didapatkan pada anak yang mendapat perlakuan salah :

·      Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, gegar otak, atau perdarahan otak.

·      Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang.

·      Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.

·      Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok.

·      Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks).

Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum seperti halnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya

 

Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist, Caffey (dalam Ibnu Anshori, 2007) melaporkan kasus berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome.

Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori, 2007) menyebut kasus penelentaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. 

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis.

Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab atau pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. 

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez (2006), kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan child abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Beberapa kriteria yang termasuk perilaku menyiksa dan kekerasan  adalah :

·         Menghukum anak secara berlebihan

·         Memukul

·         Menyulut dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting

·        Terus menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak

·         Pelecehan seksual

·         Menyerang anak secara agresif

·        Mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai

 

C. Macam-macam kekerasan terhadap anak

            Penyiksaan terhadap anak dapat digolongkan menjadi :

1.    Penyiksaan Fisik (Physical Abuse)

Segala bentuk penyiksaan secara fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, menyundut dengan rokok, membakar, dan tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan anak. Banyak orangtua yang menyiksa anaknya mengaku bahwa perilaku yang mereka lakukan adalah semata-mata suatu bentuk pendisiplinan anak, suatu cara untuk membuat anak mereka belajar bagaimana berperilaku baik.

2.    Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse)

Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak, selanjutnya konsep diri anak terganggu, anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Jenis – jenis penyiksaan emosi antara lain adalah :  penolakan, tidak diperhatikan, ancaman dan isolasi.

3.    Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)

Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual, anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya. Jenis-jenis penyiksaan seksual adalah : pelecehan seksual tanpa sentuhan (anak melihat pornografi atau ekshibisionisme, dsb), pelecehan seksual dengan sentuhan (semua tindakan pelecehan orang dewasa terhadap organ seksual anak, seperti adanya penetrasi ke dalam alat kelamin anak perempuan dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis dan eksploitasi seksual (meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno). 

4.    Pengabaian (Child Neglect)

Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Jenis - jenis pengabaian anak antara lain adalah :
a. Pengabaian fisik

Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.

b.    Pengabaian pendidikan

Misalnya orang tua seringkali tidak memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuan anak.

c.     Pengabaian secara emosi

Dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika sedang bertengkar. Pembedaan perlakuan dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.

d.    Pengabaian fasilitas medis

Misalnya orang tua tidak menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai.

e.    Mempekerjakan anak dibawah umur

Hal ini melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan, dapat membahayakan kesehatan, serta melanggar hak mereka sebagai manusia. Anak yang dicurigai telah mengalami penyiksaan fisik perlu di lakukan penyelidikan lebih lanjut yang melibatkan : Pekerja Sosial, Dokter Anak dan Pihak yang berwajib (Polisi). 

Faktor penyebab kekerasan terhadap anak

Ada banyak faktor yang sangat berpengaruh untuk mengarahkan seseorang kepada penyiksaan anak terhadap anak. Faktor-faktor yang paling umum adalah sebagai berikut :

1.    Lingkaran kekerasan

Seseorang yang mengalami kekerasan semasa kecilnya mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal yang pernah dilakukan terhadap dirinya pada orang lain.

2.    Stres dan kurangnya dukungan

Menjadi orangtua maupun pengasuh dapat menjadi sebuah pekerjaan yang menyita waktu dan sulit. Orangtua yang mengasuh anak tanpa dukungan dari keluarga, teman atau masyarakat dapat mengalami stress berat.

3.    Pecandu alkohol atau narkoba.

Para pecandu alkohol dan narkoba seringkali tidak dapat mengontrol emosi dengan baik, sehingga kecenderungan melakukan penyiksaan lebih besar.

4.    Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah bentuk penyiksaan anak secara emosional dan mengakibatkan penyiksaan anak secara fisik.

5.    Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.

6.    Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.

 

Dampak kekerasan terhadap anak

          Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu juga adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

          Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas Perlindungan Anak mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain :

1)    Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.

2)    Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986), mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anoreksia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri. 

3)    Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003), diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll.

4)    Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,  jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah. 

 

Cara Mengurangi Kekerasan Terhadap Anak

          Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan. Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara fisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pendekatan sosial terutama peran aktif masyarakat yaitu :

1.    Menangani Kasus Penyiksaan

Anak yang dicurigai telah mengalami penyiksaan fisik perlu diselidiki lebih lanjut, dimana dalam prosesnya sebaiknya melibatkan pekerja sosial, dokter anak dan pihak yang berwajib (polisi). Prosesnya antara lain:

a. Melapor pada Pusat Konsultasi Anak usahakan untuk segera melaporkan kepada Pusat Konsultasi Anak yang ada di berbagai daerah jika kita melihat tindakan kekerasan terhadap anak. 

b. Penyelidikan  dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang meliputi:

·      Anamnesis (suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya) secara lengkap, termasuk pencatatan terhadap penjelasan mengenai luka, waktu terjadinya dan detail-detail lain. Penyiksaan terhadap anak patut dicurigai bila terdapat luka yang tidak dapat dijelaskan atau tidak ada alasan yang kuat untuk menerangkan sebab luka. Jika terdapat ketidakcocokan antara luka yang terdapat dengan anamnesis yang didapatkan atau dengan perkembangan anak, kecurigaan akan adanya penyiksaan dapat dilaporkan. Penundaan mencari bantuan medis merupakan faktor lain yang dapat memperkuat kecurigaan akan adanya penyiksaan. Hal ini berhubungan dengan ketidakpedulian orang tua terhadap luka anaknya yang dianggap tidak serius. Anamnesis tentang perkembangan anak, antara lain berkaitan dengan pertumbuhan, berat badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, gizi, penampakan dan pembawaan umum, tanda-tanda pengabaian, penyiksaan seksual dan gangguan emosi. Perkembangan juga termasuk dalam penggunaan bahasa serta kemampuan anak bersosialisasi.

·      Pencatatan terhadap ekspresi orang tua mengenai kesulitan mereka menghadapi perilaku, kesehatan dan perkembangan anaknya. 

·      Luka yang dapat di dokumentasikan yang meliputi kemungkinan penyebab luka, umur luka, kemungkinan penyebab, sisi yang terkena, ukuran dan bentuk luka, serta segala bentuk jaringan yang abnormal pada tubuh yang mencurigakan.

Beberapa hal yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik adalah :
1) Luka yang menimbulkan bekas.

2) Kelainan pada rambut.

3) Kulit terbakar,sebagian besar karena sundutan rokok.

 

2.    Melapor pada pihak berwajib (polisi terdekat). Penegakkan hukum dilakukan dengan segera melaporkan suatu tindak penyiksaan kepada lembaga yang berwenang. Anak yang mengalami penyiksaan oleh orang tuanya dapat dititipkan di rumah saudara orang tua dengan pengawasan yang ketat dari lembaga yang berwenang. Ada juga alternatif berupa orangtua asuh. Sebuah tim yang profesional yang terdiri dari dokter anak, pekerja sosial, perawat bidang anak, dan psikiater atau psikolog diharapkan mampu memberikan solusi yang terbaik baik bagi anak yang menjadi korban serta orang tuanya. Seorang dokter anak diharapkan dapat terus memantau anak yang menjadi korban penyiksaan. Hal ini memerlukan kerjasama dengan pekerja sosial dan lembaga yang berwenang dalam mengurus masalah penyiksaan anak.

          Pencegahan dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan orang tua yang mempunyai faktor resiko yang tinggi untuk melakukan penyiksaan terhadap anaknya. Dengan mengidentifikasikan orang tua yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk melakukan penyiksaan terhadap anak, kita dapat berusaha untuk membantu agar tidak sampai melakukan penyiksaan terhadap anaknya. Pencegahan lain dapat dilakukan dengan cara membina kedekatan anak dengan orangtua sejak lahir. 

          Selain itu, menempati suatu lingkungan yang kondusif dan menyenangkan juga dapat mempengaruhi perkembangan serta sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan anak. Hal ini dikarenakan yang dapat melakukan penyiksaan terhadap anak bukan hanya orangtua atau pengasuhnya saja, maka sebaiknya hal ini dilakukan sebagai suatu tindakan preventif.

 

Upaya Pencegahan Oleh Kepolisian

A. PELANGGARAN UU NO 22 THN 23 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana penjara atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya (pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), sebagai berikut:

a.    Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.

b.    Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00.

c.     Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000.000. Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).

 

B.    UPAYA PENCEGAHAN

Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus. Strategi pencegahan ini meliputi :

·      Pencegahan primer

Untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba.  

·      Pencegahan sekunder

Ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self assessment apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari.

·      Pencegahan tersier

Dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tatalaksana stres.

 

PROGRAM DEPSOS RI

·      Program Rehabilitasi Sosial :

1.      Temporary Shelter (Tempat Perlindungan Sementara).

2.      Pelayanan lainnya, seperti : Program penjangkauan yang dilakukan LSM, Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK) dari pihak kepolisian, Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM, RS Polri Kramat jati, dan Rumah Sakit lainnya, Lembaga Bantuan Hukum, Krisis-krisis Center, Shelter-shelter, dsb.

3.      Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

4.      Panti Perlindungan dan Rehabilitasi untuk Anak Korban Tindak Kekerasan.

 

·      Program Reintegrasi Sosial :

1.      Penjagaan keluarga/keluarga pengganti.

2.      Kontrak sosial khusus untuk keluarga/keluarga pengganti.

3.      Pendampingan oleh pekerja sosial.

4.      Monitoring berkala terhadap proses kemajuan anak.

5.      Evaluasi pencapaian tujuan.

6.      Terminasi bilamana keluarga/keluarga pengganti sudah dapat melakukan fungsi dan perannya dengan baik.

Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama kekerasan terhadap anak. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 

INDIKATOR KEBERHASILAN

·      Bagi Anak :

1.          Sembuhnya trauma anak, baik fisik maupun psikis.

2.          Penempatan anak dalam keluarga sendiri, keluarga asuh, keluarga angkat atau panti sosial asuhan anak berdasar pada kepentingan yang terbaik untuk anak.

3.          Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental dan sosial secara optimal.

4.      Semakin meningkatnya kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

 

 

·      Bagi Orang tua atau Keluarga :

1.          Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental, sosial dan ekonomi secara optimal sehingga memungkinkan untuk melaksanakan peran sosial orang tua atau keluarga secara wajar, khususnya peranan pengasuhan dan perlindungan anak.

2.          Terpecahkannya masalah dalam interaksi dengan anak dan komunitas sehingga memungkinkannya untuk melaksanakan peranan-peranan sosial orang tua/keluarga secara wajar

 

·      Bagi Umum :

1.          Meningkatnya partisipasi masyarakat, khususnya Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat dalam berbagai aspek perlindungan anak.

2.          Meningkatnya dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam perlindungan anak.

3.          Meningkatnya kemampuan profesional semua pihak yang mengelola dan melaksanakan berbagai bentuk perindungan anak.

 

Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban berbagai pihak. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih sangat  kurang pemahamannya terhadap kekerasan terhadap anak. Seringkali kasus terjadi sudah diketahui namun dianggap biasa dan cenderung ada pembiaran. Sehingga pada kasus tertentu seperti kasus kalideres dan kasus Angeline sampai menimbulkan korban jiwa dari anak-anak. Anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya di bawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan secara simultan oleh semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun aparat baik pemerintah (negara) maupun aparat keamanan (kepolisian). Sehingga anak – anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan yang mengintai mereka.

 

REFERENSI 

http://anggaputrar.blogspot.co.id/2013/01/kekerasan-pada-anak.html (dibuka pada tanggal 1 November 2015 pukul 13.00 WIB)

http://anawebchildhealth.blogspot.co.id/2011/12/kekerasan-pada-anak.html (dibuka pada tanggal 1 November 2015 pukul 13.05 WIB)

http://sergapntt.mlblogs.com/2012/03/21/stop-kekerasan-terhadap-anak ((dibuka pada tanggal 1 November 2015 pukul 13.10 WIB)

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/194903201974122 LIUNIR_ZULBACHRI/makalah_Kekerasan_terhadap_Anak.pdf   (dibuka pada tanggal 1 November 2015 pukul 13.20 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun