Dalam jurnal yang berjudul "Tantangan dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim dan Mendukung Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan: Sebuah Tinjauan", yang dirilis pada tahun 2022, kerusakan lingkungan, khususnya perubahan iklim dan pemanasan global, diidentifikasi sebagai isu global yang semakin mendesak.
Generasi muda, yang mempunyai kepekaan terhadap isu lingkungan, harus didorong secara maksimal agar dapat berinvestasi pada sektor ini, baik dari bagaimana mereka mendefinisikan isu ekonomi berkelanjutan, pembaharuan paradigma, kolaborasi antar generasi hingga pada tahap penyelesaian masalah melalui kerangka kebijakan publik yang berdampak luas.
Pemerintah dapat menyediakan sarana atau platform investasi hijau yang mudah diakses, dengan transparansi yang tinggi perihal dampak sosial dan lingkungan dari investasi tersebut. Misalnya, kebijakan dapat yang dapat diimplementasikan adalah dengan memperkenalkan konsep "green bonds" atau obligasi hijau yang tak hanya memberikan return finansial, tetapi juga berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Generasi Muda dan Tantangan Ekonomi Hijau: Bagaimana Desain Kebijakan Relevan?
Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada periode 2030-2040. Ini berarti, selama periode tersebut, mayoritas masyarakat Indonesia akan didominasi oleh kelompok usia produktif (15-64 tahun) dibandingkan dengan usia non-produktif.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa sekitar 64% dari total penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 297 juta jiwa akan berada pada usia produktif, dan pemuda merupakan bagian penting dari kelompok ini, yang menjadi tulang punggung bangsa.
Menghadapi gelombang bonus demografi yang dihadapi Indonesia beberapa tahun mendatang di tengah semangat menerjemahkan ekonomi keberlanjutan, sebagian besar inovasi yang datang dari generasi muda tak jarang menghadapi hambatan besar dalam bentuk regulasi yang kerap tertinggal dari akselerasi zaman yang bergerak cepat. Oleh karena itu, kebijakan publik yang baik seyogyanya dapat mengidentifikasi dan meminimalisir hambatan tersebut.
Pasalnya, regulasi yang terlalu ketat dan tidak adaptif dengan perkembangan ekosistem ekonomi dapat menghambat lahirnya solusi baru yang dapat mendukung prinsip keberlanjutan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun kerangka regulasi yang memungkinkan inovasi berkembang dengan cepat, namun tetap memastikan bahwa prinsip keberlanjutan tetap menjadi prioritas utama.
Sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam namun rentan terhadap krisis ekologi, Indonesia perlu segera mengadopsi model ekonomi yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (prosperity).
Seiring dengan perkembangan strategis tersebut, Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) telah melakukan studi mengenai integrasi pembangunan berkelanjutan melalui praktik ekonomi hijau. Para peneliti menemukan bahwa pembangunan nasional saat ini masih cenderung bersifat transaksional antara kepentingan ekologi dan kesejahteraan umum. Untuk memastikan pelaksanaan ekonomi hijau yang berintegritas, monograf ini memberikan rekomendasi terkait penguatan tiga faktor utama pengungkit kinerja ekonomi hijau, yakni regulasi, kelembagaan, dan pendanaan.
Inisiatif implementasi Ekonomi Hijau di Indonesia dimulai sejak 2013 melalui kerja sama antara Bappenas dan Global Green Growth Institute (GGGI) dalam program yang disebut Green Growth Program (GGP) Indonesia. Kebijakan ekonomi hijau di Indonesia tercermin dalam berbagai dokumen, salah satunya dalam RPJMN 2020-2024 yang memuat Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dengan strategi utama dalam pencapaian emisi net zero untuk pengurangan gas rumah kaca, stimulus hijau untuk pemulihan ekonomi, serta implementasi PRK untuk mencapai tujuan RPJMN 2020-2024.
Prinsip Ekonomi Hijau juga mencakup pemulihan hijau (green recovery), yang dapat diterapkan pada reformasi ekonomi sistemik jangka panjang, serta mendukung transisi menuju perekonomian global yang berkelanjutan.