Belakangan ini publik kembali dibuat sibuk untuk bertengkar opini pro-kontra di media sosial sebagai respon atas wacana MPR untuk mengamandamen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Adapun salah satu agenda yang muncul kepermukaan publik dalam wacana amandamen kali ini adalah menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Sebagaimana yang kita ketahui, amandemen tidak hanya kali ini saja terjadi.
Secara sederhananya, amandemen dilakukan sebagai upaya adaptasi atas berbagai perubahan sosial, ekonomi, politik sehingga pada akhirnya beberapa keadaan tersebut mengharuskan konstitusi bergerak lebih cepat dengan situasi saat ini. Dalam praktik hukum ketatanegaraan, perubahan kondisi dan interaksi manusia menuntut hukum untuk bergerak lebih dinamis. Dengan adanya perkembangan dan perubahan tersebut, maka suatu hal yang lumrah apabila terjadi perubahan di dalam suatu aturan. Oleh sebab itu, amandemen merupakan suatu renspon atas perubahan yang sedang terjadi saat ini.
Namun berbagai kalangan menilai bahwa wacana tersebut tidak ada urgensinya, tidak ada keadaan yang mendesak seperti halnya perubahan yang dilakukan saat upaya transisi dari rezim otoritarian orde baru ke reformasi, ketika amandemen Undang-Undang Dasar 1945 didorong oleh tuntutan rakyat yang menghendaki adanya perubahan sistem pemerintahan yang lebih demokratis, menghormati serta melindungi Hak Asasi Manusia.
Publik mulai mempertanyakan hal mendasar seperti istilah “amandemen terbatas”, kemudian mempertanyakan hal mendesak apa sehingga memaksa wacana amandemen tersebut dibicarakan ditengah kondisi, situasi dan ketika konsentrasi semua orang masih terfokus pada penanganan pandemi Covid-19 yang belum mereda. Selain itu, berbagai isu pada akhirnya bermunculan kepermukaan, seperti isu rencana menambah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode, mengembalikan kembali supremasi MPR meskipun pada faktanya setelah adanya perubahan MPR tidak lagi menjadi satu bagian yang merepresentasikan kedaulatan rakyat (Central source of democratic policy). Hal-hal demikian yang justru membuat publik gaduh untuk mencari kejelasan, maksud dan tujuan yang melatar belakangi wacana amandemen terbatas tersebut.
Namun apabila benar adanya bahwa salah satu agenda amandemen kali ini untuk mempertahankan atau menambahkan durasi masa jabatan presiden—meskipun melalui proses serta mekanisme yang konstitusional—tentu akan mencederai semangat reformasi, cita-cita demokrasi dan berakibat pada tumbuhnya kembali benih-benih otoritarianisme dan berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of power).
Cukup beralasan apabila wacana amandemen dilakukan atas dasar menjawab perubahan dinamika kondisi, situasi kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan yang tak dapat terhindarkan, maka dari itu jangan sampai wacana amandemen ini hanya sebuah momentum atau instrument kekuasaan belaka (de machtstaat).
Hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti perihal kejelasan wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 tersebut baik mengenai substansi, materi muatan (Content of the constitution), apakah dalam rangka merubah paradigma, meniadakan atau menambah atau menyempurnakan ketentuan, apakah perubahan ini merupakan suatu perubahan karena formal amandemen ataukah justru akibat dari some primary force, yakni perubahan konstitusi karena adanya intervensi, desakan serta tuntutan dari partai-partai politik yang menguasai parlemen?
Namun perlu dipertegas juga bahwa perubahan prosedural maupun substansial tidak boleh bertentangan dengan tujuan serta prinsip dasar konstitusi, kedaulatan rakyat dan negara hukum (Rechtsstaat). Problem dilematik ini seolah dipertegas oleh pendapatnya Dr. Margarito Kamis, SH., M.Hum, dalam bukunya Jalan Panjang Konstitusionalisme, hlm. 262 yang mengatakan, “Di sisi lain, keanggotaan MPR berasal dari selain partai politik, juga utusan golongan dan daerah.
Mereka memiliki kepentingan politik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di sisi lain, masyarakat pun memiliki agenda tersendiri, setidak-tidaknya menghendaki agar direformulasi atau menegaskan ukuran-ukuran negara hukum”. Tidak dipungkiri, bahwa amandemen ini tak terlepas dari situasi politik hukum yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk. Kendati pada kenyataannya MPR memiliki legitimasi serta kewenangan (atribusi) untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Grondwetgeving) sebagaimana mekanismenya diatur di dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, namun hal itu bukan berarti harus mengesampingkan rasa keadilan masyarakat (Sense of social justice).
Oleh sebab itu, wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya memaksimalkan partisipasi dan aspirasi rakyat, bukan hanya sebatas pada pembahasan yang terjadi di ruang parlemen antar anggota MPR semata. Karena bagi sebagian orang, Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya dipandang sebatas norma dan hukum tertulis saja, tetapi mereka meyakini bahwa konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 sebagai nilai-nilai, prinsip, filosofis, cita-cita luhur dalam bermasyarakat dan bernegara.
Maka dari itu, banyak orang mengkhawatirkan atas wacana amandemen yang kelima ini hanya sebatas pada kepentingan pragmatis dan politik transaksional semata. Oleh sebab itu, kita membutuhkan peran serta keterlibatan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (The guardian of the constitution) sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan (The sole interpreter of the constitution) dan juga keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi penyelenggeraan negara berkaitan dengan wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H