The Fed Amerika telah berkali-kali menaikkan suku bunganya.  Kenaikan terbaru pada tahun 2023 ini  sebanyak 0,25% sehingga total suku bunganya menjadi sejumlah 4,75% hingga 5%.Â
Kenaikan ini tentunya bukan tanpa alasan, Amerika yang sedang dilanda krisis dan adanya inflansi menjadi alasan mengapa kenaikan suku bunga tersebut terus terjadi berkali-kali bahkan telah terhitung 9 kali pada satu tahun terakhir.Â
Inflasi terjadi terus menerus, sementara itu krisis perbankan menjadi permasalahan di Amerika. Krisis yang semakin parah bisa berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan sehari-hari seperi ekonomi, bisnis hingga rumah tangga. Beberapa permasalahan di Amerika itulah yang mempengaruhi The Fed untuk menaikkan suku bunganya.Â
Dengan menaikkan suku bunga, Amerika berharap dapat memperlambat ekonomi sehingga bisa menanggulangi lonjakan inflasi. Tingginya inflasi di Amerika sendiri disebabkan oleh kenaikan harga dari beberapa item seperti rumah, gas dan juga BBM.Â
Inflasi tahunan di Amerika sendiri menyentuh persentase lebih dari 6%. Dengan terus naiknya suku bunga dari The Fed, maka semakin tinggi pula biaya yang harus dibayarkan bank untuk mengambil pinjaman dana di The Fed.
Kenaikan dari suku bunga The Fed ini memiliki dampak yang cukup besar bagi perekonomian global. Hal ini menyangkut dengan nilai mata uang negara-negara di dunia. Contonhnya saja China dengan mata uangnya yaitu Yuan harus jatuh hingga sebesar 11 persen dari Dollar Amerika.Â
Di lain sisi ada Jepang yang mendapati nilai Yen turun hingga 26 persen dari Amerika Serikat. Hal ini tentunya membuat kecemasan bagi negara-negara lain. Apalagi jika hal ini terus berkepanjangan, maka ditakutkan akan menimbulkan resesi dan krisis keuangan di beberapa kawasan sebagai contohnya di Kawasan Asia.
Bagi kawasan Asia sendiri, dengan terus naiknya suku bunga The Fed, akan menimbulkan ketakutan tersendiri akan ancaman terulangnya krisis moneter seperti yang pernah terjadi pada Tahun 1997-1998. Krisis yang meruntuhkan perekonomian dunia ini terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
 Adanya krisis tersebut diduga disebabkan oleh "Hot Money Bubbles". Fenomena ini di latar belakangi oleh adanya dana asing yang terus mengalir masuk (capital inflow) secara masif dalam perekonomian suatu negara.Â
Dana ini bersifat jangka pendek dan dapat keluar sewaktu-waktu (Capital outflow). Dana yang masuk tadi akan dikelola namun secara spekulatif, dan bisa memberikan hasil yang besar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Namun semakin besar gelembung uang panas atau semakin besar dana yang yang dikelola secara spekulatif tersebut, tentulah dana yang diperlukan semakin besar pula.
Hot money bubble tersebut tetap dimaksimalkan dengan tetap pada  nilai tukar yang sama walaupun suku bunga naik. Sehingga paparan akan valuta asing serta pinjaman luar negeri semakin besar. Lalu tibalah saat suku bunga Amerika Serikat dinaikkan dan menyebabkan nilai dollar Amerika Serikat semakin kuat. Hal ini membuat para investor asing menarik investasi-investasi di beberapa negara tujuan yang menyebabkan jatuhnya mata uang dan berlanjut hingga tahap krisis ekonomi.