Masuknya virus Covid-19 ke Indonesia membawa banyak dampak perubahan yang sangat signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali sektor pendidikan. Dengan adanya covid-19 metode dan sistem pembelajaran yang sejak dahulu mempertemukan tatap muka antara pendidik dan peserta didik kini tidak bisa lagi dilaksanakan, untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah mengeluarkan surat Edaran Kemendikbud No. 2 tahun 2020 dan No. 3 tahun 2020 tentang pencegahan dan penanganan corona virus disease (Covid-19) mewajibkan lembaga pendidikan untuk memberlakukan pembelajaran secara online (Pembelajaran Jarak Jauh). Pembelajaran jarak jauh merupakan metode pembelajaran yang tidak mempertemukan antara pendidik dan peserta didik secara tatap muka dan tidak berangsung dalam satu ruangan yang sama.
Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh banyak menggunakan berbagai platform seperti zoom, google meet, whatsapp group, google classroom dan masih banyak alternatif lainnya. Dengan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini tentunya menjadi gambaran bagaimana kelangsungan dunia pendidikan dimasa depan dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi informasi. Walaupun demikian bukan berarti teknologi (PJJ) dapat menggantikan seutuhnya pembelajaran tatap muka karena pembelajaran bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan semata tetapi juga tentang bagaimana antar individu dapat saling berinteraksi satu sama lain secara langsung.
Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh juga tidak bisa lepas dari yang namanya masalah, banyak berbagai dinamika masalah dan kekerasan yang kerap kali terjadi walaupun pelaksanaan pembelajaran tidak saling bertemu secara langsung.
Kekerasan adalah satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata "kekerasan", tidak sedikit di antara kita akan mengarahkan kekerasan pada suatu momen yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Di ranah pendidikan sangat sering terdengar kasus kekerasan baik dikalangan siswa, mahasiswa, maupun guru dan dosen. Misalnya ribut antar siswa dikelas, perpeloncoan yang dilakukan senior ke juniornya, guru melakukan kekerasan fisik karna siswa tidak mengerjakan tugas, pelecehan seksual yang dilakukan dosen ke mahasiwa dan masih banyak praktik-praktik kekerasan lainnya.
Berbagai contoh kasus kekerasan diatas dapat digolongkan menjadi fenomena kekerasan fisik yang pada praktiknya dapat dengan mudah diamati dan dikenali. Namun banyak yang tidak menyadari bahwa sebenarnya ada bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi dan kekerasan ini tidak mudah dikenali. Bentuk kekerasan tersebut adalah "kekerasan simbolik". Konsep kekerasan simbolik ini dikemukakan oleh seorang sosiolog dari Perancis yakni Pierre-Felix Bourdieu atau yang lebih sering disebut Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu menggunakan konsep kekerasan simbolik ini untuk menjelaskan mekanisme dominasi yang dilakukan kelompok masyarakat kelas atas untuk memaksakan kebiasaan, gaya hidup, budaya, dan ideologi mereka kepada masyarakat kelas bawah yang didominasi. Ideologi, gaya hidup, budaya ini disebut oleh Bourdieu sebagai habitus.
Kelompok masyarakat kelas bawah dipaksa untuk menerima, mempraktikan dan mengakui bahwa habitus kelas atas adalah habitus yang paling baik dan paling benar serta yang pantas bagi mereka kelas bawah, sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang tidak layak dan sudah sepatutnya untuk ditinggalkan. Pendidikan bagi seorang Bourdieu hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi daripada kelas dominan. Dalam praktiknya, sekolah bagi Bourdieu hanyalah tempat untuk mensosialisasikan habitus kelas dominan sebagai habitus yang alami dan memperlakukan setiap peserta didik seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut.
Menurut Bourdieu, kekerasan berada pada ruang lingkup kekuasaan. Dengan demikian dapat dimakai bahwa kekerasan merupakan produk atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika ada suatu kelas yang superior, yang mendominasi dan mengeksploitasi kelas yang lain, maka dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan kekerasan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali.
Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian oleh Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolik. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dalam pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh masih terdapat praktik-praktik kekerasan simbolik?
Seperti yang sudah disinggung diawal tadi bahwa Pembelajaran Jarak Jauh dapat menjadi gambaran bagaimana kelangsungan dunia pendidikan di masa depan. Pendidik dan Peserta didik seakan diajarkan untuk mengenal teknologi dan beragam penggunaannya, sehingga secara tidak langsung Pembelajaran Jarak Jauh ini meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di dunia teknologi dan informasi. Namun yang menjadi masalah adalah, secara terselubung dan tidak banyak disadari oleh banyak orang ada proses pemaksaan habitus kelas dominan. Mengapa bisa disebut demikian karena dengan dalih supaya tetap dapat mengikuti pembelajaran, pendidik dan peserta didik sedikit banyaknya harus mampu berkenalan dengan kemajuan teknologi, mereka seakan dipaksa untuk beradaptasi. Kelas superior tidak mau tahu apakah kelas yang terdominasi ini mampu untuk beradaptasi atau tidak, sudah siap untuk menerima habitus baru tersebut atau belum. Pada faktanya masih banyak ditemui siswa yang merasa kesulitan untuk dapat mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh ini, mulai dari keterbatasan ekonomi untuk membeli gadget yang mumpuni, kendala sinyal, kondisi lingkungan keluarga yang kurang mendukung, kendala kuota dan masih banyak lagi.
Kekerasan simbolik dalam pembelajaran jarak jauh juga dilakukan oleh pendidik. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya kedekatan hubungan emosiona antara pendidik dan peserta didik. Hubungan antara pendidik dengan peserta didik hanyalah sebatas untuk kegiatan belajar mengajar. Pendidik tidak menjalankan fungsinya sebagai orang tua bagi pendidik. Tak jarang ditemui juga banyak pendidik yang mengajar dengan sewenang-wenang, mereka tidak peduli apakah peserta didik mengerti dan memahami materi yang ia sampaikan, hal ini menunjukan bahwa pendidik belum mampu untuk memberikan hasil yang maksimal dalam memberikan pemahaman kepada peserta didik.
Proses pembelajaran yang berlangsung hanyalah formalitas semata untuk mengejar tujuan pembelajaran dan menyelesaikan kurikulum yang sudah tersusun. Banyak ditemui pula materi pembelajaran yang diberikan oleh pendidik hanyalah kulitnya saja dan kurang lengkap, sehingga peserta didik mau tidak mau harus mencari sumber belajar sendiri melalui internet atau media lainnya. Dengan demikian peserta didik mengalami ketidakadilan dimana seharusnya ia mendapatkan bimbingan yang maksimal dari pendidik, namun faktanya pendidik belum mamu untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Meskipun guru tidak menjalankan perannya dengan baik peserta didik tetap mematuhi dan menghormati apa yang diperintahkan oleh guru untuk mengerjakan tugas dan mencari sumber belajar secara mandiri. Hal ini jelas menunjukkan bahwa guru memiliki dominasi untuk mengatur pola tingkah laku peserta didik.