Ditulis oleh: Nanda Alvionita Sari
Pemilihan umum (pemilu) merupakan elemen krusial dalam sistem demokrasi, dimana rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin dan wakilnya. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena "kotak kosong" kian marak, terutama dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Gresik. Kotak kosong menjadi pilihan ketika hanya ada satu pasangan calon yang berlaga dalam kontestasi pilkada. Fenomena yang sering dikaitkan dengan kejenuhan politik inilah yang memunculkan pertanyaan: apakah kotak kosong mencerminkan protes terhadap proses demokrasi atau justru manifestasi dari kejenuhan politik masyarakat?
Kotak kosong sendiri merujuk pada situasi dalam pemilihan umum di mana belum ada calon yang memenuhi kriteria atau harapan masyarakat untuk dipilih, sehingga pemilih memilih untuk tidak memilih salah satu calon yang ada. Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia, kotak kosong menjadi pilihan yang sah bagi pemilih untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap calon yang diusung.
Kotak kosong sering muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap calon-calon yang diusung oleh partai politik. Jika masyarakat merasa bahwa semua calon tidak memenuhi kriteria yang diharapkan, baik dari segi integritas, kompetensi, maupun visi misi, mereka mungkin memilih untuk tidak memilih calon yang ada.
Kurang berkualitasnya calon  juga dapat menyebabkan munculnya kotak kosong. Jika calon yang ada dianggap tidak memiliki pengalaman atau kemampuan yang memadai untuk memimpin, masyarakat cenderung merasa tidak terwakili.
Adanya praktik politik yang buruk, seperti politik uang, korupsi, dan manipulasi, dapat menyebabkan masyarakat merasa skeptis terhadap proses pemilihan. Ketika pemilih merasa bahwa pemilihan tidak adil atau transparan, mereka mungkin memilih kotak kosong sebagai bentuk protes.
pada Pilkada Tahun 2020, ketika pasangan calon tunggal Fandi Akhmad Yani dan Aminatun Habibah melawan kotak kosong. Pasangan ini memenangkan pilkada dengan hasil yang signifikan, namun jumlah suara yang mendukung kotak kosong juga cukup mencolok. Ini menandakan bahwa sebagian pemilih merasa tidak puas dengan opsi yang tersedia, meskipun hanya ada satu pasangan calon yang resmi.
Fenomena ini tidak unik lagi di Gresik; kotak kosong muncul di tengah-tengah dinamika politik lokal yang kompleks, termasuk persaingan antara kelompok politik lama dan baru, serta pergeseran kekuasaan di tingkat lokal. Beberapa pengamat politik lokal melihat ini sebagai tanda bahwa kejenuhan politik sudah mulai mengakar di masyarakat, yang kemudian mengekspresikan kekecewaan mereka melalui kotak kosong.
Dalam Pilkada Tahun 2024, Kabupaten Gresik kembali menghadapi tantangan serius dengan munculnya pasangan calon tunggal Fandi Ahmad Yani dan dr Asluchul Alif yang diusung oleh beberapa partai politik yakni: PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, Partai Berkarya, PBB, PSI, Nasdem, Hanura, Perindo, Partai Garuda, Gelora , PKN, dan Partai Ummat. Pasang kedua ialah Syahrul Munir yang diusung oleh PKB, Namun Syahrul Munir batal mencalonkan diri sebagai calon Bupati Gresik. Dengan kemundurannya Syahrul Munir, akhirnya PKB sendiri beralih mendukung paslon Fandi Ahmad Yani dan dr Asluchul Alif . Sehingga Fandi Yani dan Asluchul Alif menjadi pasangan calon tunggal dan akan berkompetisi melawan kotak kosong di Pilkada.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan masalah di tingkat calon, tetapi juga menunjukkan adanya ketidakpercayaan yang lebih luas terhadap sistem politik yang ada. Untuk menghindari terulangnya kejadian serupa, penting bagi partai politik untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, menghadirkan calon yang berkualitas, dan memastikan proses pemilihan berlangsung secara transparan dan akuntabel. Hanya dengan langkah-langkah ini, partisipasi masyarakat dalam pemilihan dapat ditingkatkan dan kotak kosong dapat dihindari.
Di Kabupaten Gresik, seperti halnya di banyak daerah lain di Indonesia, politik lokal seringkali didominasi oleh elite politik yang sama selama bertahun-tahun. Pola kepemimpinan yang cenderung stagnan ini menyebabkan minimnya inovasi kebijakan serta kurangnya perubahan yang dirasakan oleh masyarakat. Ketika masyarakat merasa bahwa pilihan politik mereka tidak akan berdampak signifikan pada perubahan nyata, kejenuhan politik pun dapat timbul.
Hasil quick count Pilkada Gresik 2024 menunjukkan pasangan calon Fandi Ahmad Yani (Gus Yani) dan dr. Asluchul Alif unggul dengan perolehan sekitar 59,72% dengan total 366.944 suara, melawan kotak kosong yang meraih 40,28% dengan tota 247.479 suara, sementara sisanya adalah suara tidak sah sebanyak 35.749. Angka golput juga mengalami kenaikan, dalam pilkada terakhir jumlah golput sebanyak 20% pada pilkada 2024 naik menjadi 33,20%. Dari total DPT 971.740, sebanyak 321.568 orang tidak menggunakan hak suaranya (golput).
Paslon Fandi Ahmad Yani dan dr Asluchul Alif dominan di wilayah perkotaan seperti Kecamatan Kebomas dan Cerme serta beberapa kecamatan lainnya, termasuk Kepulauan Bawean. Sebaliknya, kotak kosong cukup kuat di kawasan seperti Manyar, Bungah, dan Sidayu.
Tingginya pemilih kotak kosong di Pilkada Gresik 2024 dapat dijelaskan melalui beberapa faktor. Di daerah seperti Manyar dan Bungah, sebagian masyarakat menunjukkan ketidakpuasan terhadap pasangan calon tunggal, baik karena penilaian terhadap kinerja mereka sebelumnya maupun karena absennya pilihan alternatif. Selain itu, persepsi dominasi politik yang mendukung pasangan ini juga memicu resistensi warga.
Sebaliknya, di wilayah perkotaan seperti Kebomas dan Cerme, pasangan Gus Yani-Alif unggul karena keberhasilan program yang langsung dirasakan masyarakat, khususnya di bidang infrastruktur dan pelayanan publik. Pemilih di perkotaan cenderung lebih terhubung dengan komunikasi kampanye mereka, baik melalui media sosial maupun program tatap muka. Pola ini mencerminkan perbedaan aspirasi dan preferensi masyarakat berdasarkan kondisi sosial-ekonomi antara kawasan rural dan urban di Gresik.
Kejenuhan politik di wilayah Gresik Utara, seperti Manyar dan Bungah, terlihat dari tingginya angka pemilih yang memilih kotak kosong dalam Pilkada 2024. Fenomena ini mencerminkan rasa frustrasi masyarakat terhadap minimnya kompetisi politik, terutama karena hanya ada satu pasangan calon yang bertarung. Ketidakhadiran pilihan alternatif membuat sebagian besar warga merasa aspirasinya tidak diakomodasi. Selain itu, dominasi partai politik dalam mendukung pasangan tunggal menimbulkan kesan bahwa proses demokrasi tidak berjalan inklusif, sehingga pemilih mengekspresikan protesnya melalui kotak kosong.
Di daerah perkotaan seperti Kebomas dan Cerme, dukungan kepada pasangan calon tunggal lebih kuat, mencerminkan kepercayaan masyarakat perkotaan terhadap keberhasilan program dan komunikasi politik pasangan tersebut. Fenomena ini menunjukkan perbedaan aspirasi yang didasarkan pada konteks lokal dan sosial-ekonomi.
Untuk mengatasi kejenuhan politik dan tingginya angka pemilih kotak kosong, langkah pertama adalah memperbaiki kualitas proses pencalonan. Partai politik perlu menjaring kandidat yang memiliki integritas tinggi, kompetensi, dan visi pembangunan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, pendidikan politik harus ditingkatkan untuk membantu masyarakat memahami pentingnya partisipasi dalam demokrasi dan memilih secara kritis. Proses pemilu juga harus lebih transparan, bebas dari manipulasi, untuk membangun kepercayaan publik. Terakhir, dialog intensif dengan masyarakat, khususnya di wilayah rural, dapat memastikan aspirasi mereka terakomodasi secara inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H