Meninjau kembali sejarah terlebih dahulu, kepulauan Natuna dahulu masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun, tetapi pada awal mula abad ke 19, kekuasaan pindah ke Kesultanan Riau yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia saat Riau ikut tergabung. Dengan ini, 18 Mei 1956 menandakan bukti resmi bahwa kepulauan Natuna menjadi wilayah kedaulatan Indonesia yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi tentu dalam kenyataannya, ini saja tidak cukup.
Oleh karena itu, Indonesia melakukan beberapa upaya yang akan diklasifikasi ke dalam beberapa jenis. Pertama adalah upaya langsung berupa kritik dan penyampaian langsung kepada Tiongkok. Kedua, Indonesia terlibat dalam beragam wujud perjanjian bersama Tiongkok yang dilandasi hukum internasional dalam upaya menyelesaikan isu secara diplomatis dan dengan proses yang sesuai. Ketiga, Indonesia berkoordinasi bersama PBB dalam upaya menyelaraskan pandangan dan menyelesaikan pertikaian. Keempat, mendukung kepulauan Natuna dan mengembangkan wilayah tersebut. Langkah-langkah ini tidak tertuliskan secara urut, melainkan berperan sebagai kesatuan proses yang bertujuan menjaga kepulauan Natuna.
Kritik Terbuka
Upaya pertama adalah melalui penyampaian terbuka kepada Tiongkok, baik melalui Menteri Luar Negeri maupun dengan media lain. Setelah masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Joko Widodo pernah menyatakan secara terbuka bahwa pembatasan maritim “sembilan titik garis” yang disebutkan milik China itu tidak ada basis hukumnya. Memang benar bahwa pada kenyataannya, China secara sepihak pada 2009 menggambarkan titik-titik ini yang diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. Upaya Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya.
Konfrontasi terbuka yang dilakukan pemerintahan Indonesia menarik perhatian banyak pihak. Dalam jurnal, Jokowi menyatakan hal tersebut saat berada di Jepang, yang kemudian dikutip dalam Kabar Jepang Yomiuri Shimbun dan pastinya menggambarkan kondisi Laut China Selatan kepada semakin banyak orang. Republik Indonesia tegas dalam mengajak China menghormati hukum internasional setelah penyitaan KM. Kway Fey 10078, bendera Tiongkok di Lautan Natuna. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memanggil perwakilan China, Sun Weide, yang saat itu berkuasa sementara sebagai Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia. Aksi ini adalah teguran keras berupa protes atas pelanggaran kedaulatan laut teritorial Indonesia dan harapan agar China bisa mematuhi hukum. Ini juga terjadi dalam hal illegal fishing yang dilakukan China.
Diplomasi dan Peran Geopolitik Dunia
Namun, pendekatan seperti ini tidak selalu berhasil. Langkah kedua Indonesia adalah menjalin diplomasi dan komunikasi bersama China. Diplomasi dilakukan secara langsung ataupun melalui PBB, seperti wujud protes Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Komisi Landas Kontinen PBB saat garis putus-putus China dimodifikasi. PBB sebagai lembaga persatuan bangsa-bangsa menjadi penentu dan pemilik wewenang hukum yang berlaku pada semua negara di dunia, oleh karena itu akan banyak dilibatkan.
Salah satu permasalahan utama dari klaim China adalah garis-garis demarkasi yang tidak tertuliskan secara jelas dan tak memiliki wujud lengkap. Terbentuknya 9 titik disertai garis itu tak dapat disahkan sebagai batas teritorial karena tidak sesuai hukum internasional yang terdefinisi dan stabil. Kesulitan menentukan koordinat dan posisi geografis ini mengancam ZEE, karena berada di posisi perbatasan Natuna ini. Indonesia telah berupaya dengan diplomasi.
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan kesepakatan antara Indonesia dan China yang ingin saling percaya, bekerja sama, dan memelihara stabilitas di area laut itu. Melalui perjanjian antar negara yang sah ini, diplomasi menjaga Natuna benar efektif. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengusulkan draft kode etik/zero draft code of conduct yang menjadi jaminan hukum kuat dengan poin yaitu menciptakan 1) rasa saling percaya, 2) mencegah terjadinya insiden, dan 3) mengelola insiden jika memang terjadi dan tak dapat dihindari. Kesepakatan ini berhasil disetujui China pada Agustus 2013.
Keberhasilan diplomasi ini menjadi pionir dari cara pandang luar negeri Indonesia yang dikenal sebagai “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium). Doktrin itu menyatakan bahwa kondisi berkaitan dengan hubungan antar negara harus berdasar pada kemitraan dan keyakinan bahwa tatanan internasional baru bersama bersifat win-win (saling menguntungkan dua pihak), bukan zero-sum. Dengan demikian, kedua belah pihak memilih kedudukan sama, inti utama dari diplomasi.