"Ayoo, Mas! kita belum terlambat. Mari memperbaiki kekurangan dan membuka lembaran baru. Aku siap mendayung biduk bersamamu, sayang," ucapku penuh seloroh sembari mengelus pundaknya.
"Apa-apaan Mamah, lebay kali pun," sahut papa tak menggubris omongan istri.Â
"Diam Mah! Papah lagi pusing klien kita banyak mengeluh," sambungnya dengan raut wajah jutek.
 "Sana ... Mama beresin rumah, aja! jagain Rafa dan marwa," perintahnya dengan memonyongkan mulut yang dihiasi bulu-bulu lebat.
Huft ... huft
Minah diam, gegas kebelakang sambil menahan tetesan bulir-bulir mengaliri kedua netra. Tangan kasarnya menyeka kedua pipi yang lembab dan basah.Â
"Cukup sudah, Mas," batin Minah histeris perlahan melemah.
"Jangan kau hina aku lagi, Mas!Â
Selama ini cukup sabar ku menghadapi ulahmu. Jika kamu membenci, jangan kau siksa perasaan ini. Pulangkan saja pada emak dan bapak di kampung, mereka sangat menyayangi Minah. Kini rumah menjadi seram memiliki pasangan hidup gemar menganiaya.
Suara hati Minah seakan meledak menahan isakan, Minah menatap kedua buah hatinya yang sedang bermain ceria. Rasanya tak tega merusak kebahagiaan anak. Biarlah Minah ikhlas menerima cobaan ini, demi anak-anak.
Benarkah pesan tetua di kampung bahwa larangan menikah dengan orang kaya, kamu akan dijadikan keset kaki olehnya. Sepertinya Minah merasakan kebenaran itu. Batin sebagai istri sangat capek membenahi perasaan layaknya jongos.