"Dwiki, serius dikit npa, Nak? Mamak cukup capek udah dengan kamu Nak, berubahlah menuju kemajuan. Hempaskan kebiasaan masa kecil dulu, sekarang kuliah bukan main-main Nak! Jangan selalu jawab nanti aja Mak! bentar lagi, itu aja di mulutmu jadi kebiasaan. Ingat kata-kata itu sebagian dari doa," nasehat emak dengan nada memelas.
Nasehat itu panjang sepanjang rel kereta api, macam udah pasrah aja. Kalaupun tak ada perubahan minimal, aku udah mencoba tegas terhada anakku itu.
Acapkali ia harus ambil surat keterangan sakit, sebagai pengganti absensi.
"Ayo ... Â berubah, hanya Dwiki sendiri yang bisa mewujudkan," ucapku dengan mimik wajah serius. mungkin caraku jadi obat hingga sekarang udah ada perubahan.
Kini, setiap jadwal masuk kuliah Dwiki mulai melatih diri untuk bangun lebih awal dan kuliah tepat waktunya.
"Mahal lho, nak! bayar uang kuliah kamu, jadi harus serius dikit. Kasian emak dan bapak ini, Nak? Demi masa depanmu juga," pungkasku penuh harap, saat bincang-bincang pas liburan.
"Dwiki ayo hempaskan kebiasaan burukmu, kalau mau berhasil dan sukses. Jangan mengulangi lagi," tegurku memperingatkannya terus. Entah ucapan yang mana, diringi doa pelembut hati pada anak, lantas membuatnya terngiang-ngiang.Â
Bisa aja dari nasehat seorang ibu, ada salah satu yang mengena di hati dan terus diingatnya. Jangan bosan menasehati anak, berkatalah dengan baik supaya tidak musuhan.
"Mamak, mengomel terus, yah! Dwiki sedang berusaha, bukan di doain, sih!" ujarnya datar menampakkan rasa iba.
"Mama, tenang aja, anak lelakiku pasti bisa keluar dari masalah kecil ini!" tukas bapak menyemangati Dwiki sembari menepuk-nepuk bahunya.
"Kalem, aja, mama," goda si bapak diam-diam  layaknya Robin hood.