Daripada menunjukkan stigma sosial, lebih bijak jika kita berkontribusi di masyarakat, yaitu dengan membangun rasa percaya pada layanan kesehatan berkualitas, menunjukkan empati terhadap yang terdampak, melakukan upaya efektif sehingga orang bisa menjaga keselamatan diri dan orang yang dicintai.Â
---
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya (KBBI). Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, steoritip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid dan Brown, 2010). Istilah kasar disebut juga label atau stempel.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan agar masyarakat dunia tidak memberikan stigma terkait covid-19. Dalam konferensi yang dibagikan melalui akun media sosialnya, WHO menyayangkan stigma yang telah beredar di masyarakat.Â
"Sangat menyakitkan melihat stigma yang beredar," kata Direktur Jenderal WHO dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dan sejujurnya, stigma lebih berbahaya dari virus itu sendiri.Â
"Stigma adalah musuh yang paling berbahaya," tegasnya. WHO menyerukan agar masyarakat berhati-hati terhadap setiap istilah yang beredar (suara.com).
Bagaimana mencegah dan menangani stigma sosial seputar Covid-19?
Pandemi Covid-19 muncul bersamaan dengan stigma sosial di tengah masyarakat. Namun, hal ini dapat dicegah dan ditangani bersama oleh individu maupun pihak-pihak terkait.Â
Banyak hal di masyarakat yang simpang siur tentang virus Covid-19. Edukasi yang tidak berkesinambungan dan akurat membuat pola pikir masyarakat, terjadi keresahan tak berujung pangkal.
Dampak psikologis pasien Covid-19 dan orang-orang yang terpapar harus dijaga supaya mereka tidak sampai shock, depresi yang sampai membuat trauma. Ada beberapa stigma yang menyakitkan dialami oleh pasien Covid-19 dan keluarganya, hal ini akan menambah penderitaan dan beban mental mereka.