Mohon tunggu...
Nanda Pratiwi
Nanda Pratiwi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penggunaan Eufemisme dalam Pembelajaran di Kelas

9 Desember 2022   21:57 Diperbarui: 14 Desember 2022   23:13 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengaji eufemisme dalam kaitannya dengan kesantunan berbahasa pendidik pada interaksi pembelajaran di kelas. Adapun metode yang digunankan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yang mengkaji fenomena berbahasa dalam interaksi pembelajaran menggunakan pendekatan sosiolinguistik yang meliputi teori tindak tutur, kesantunan berbahasa dan eufemisme, serta berbagai riset lainnya terkait topik yang dimaksud. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa eufemisme dapat dijadikan sebagai alternatif dalam meredam aktivitas berbicara atau berbahasa pendidik yang bernuansa kekerasan, rasis, pelecehan, maupun ungkapan-ungkapan yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan peserta didiknya. Hal lain yang ditemukan dalam kajian ini adalah bentuk-bentuk eufimisme yang dapat digunakan guru berdasarkan berbagai bidang bahasa yang meliputi; eufemisme yang berhubunugan dengan kematian, eufemisme yang berhubungan dengan seks, eufemisme yang berhubungan dengan penyakit dan cacat tubuh, eufemisme yang berhubungan dengan pengeluaran kotoran badan, eufemisme yang berhubungan dengan kenyataan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang buruk, eufemisme yang berhubungan dengan nasib yang tidak menyenangkan, eufemisme yang berhubungan dengan sifat yang jelek, dan eufemisme yang berhubungan dengan hal yang dapat menimbulkan bahaya. Dengan demikian, melalui kajian ini, diharapkan agar pendidik dapat mempelajari kajian ini agar hal-hal negatif terkait dengan perilaku berbahasa di dalam kelas dapat diminimalisir hingga berangsur hilang.

Latar Belakang 

Bahasa berfungsi untuk menyampaikan gagasan atau perasaan seseorang secara sistematis dan mengandung makna yang dapat dipahami. Fungsi bahasa tersebut dapat digunakan ketika seseorang mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar saat berkomunikasi. Kemampuan dalam berkomunikasi menjadi faktor penentu untuk menyampaikan informasi secara tepat. Pada pembelajaran di kelas, komunikasi sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi kepada peserta didik.

Pada pembelajaran di kelas penyampaian komunikasi dengan bahasa yang santun harus diperhatikan. Hal ini karena pendidik merupakan panutan (role model) bagi peserta didik. Peserta didik secara tidak langsung akan mengikuti hal-hal yang dilakukan oleh pendidik, seperti penggunaan bahasa ketika di kelas. Oleh karena itu, pemahaman eufemisme merupakan hal yang penting. Dengan penggunaan eufemisme, pendidik dapat menggunakan bahasa untuk menghindari hal-hal yang dianggap jorok; tabu; kasar; dan tidak santun, atau sengaja berbahasa agar terjadi pengaburan makna dan penghalusan akan sesuatu yang dibahasakan (Subroto, 2011: 153).

Eufemisme yang merupakan salah satu gaya bahasa yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Indonesia harus diajarkan kepada peserta didik khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Peserta didik harus mampu menggunakan kata-kata yang bernilai rasa tinggi atau halus, sehingga dapat menjunjung tinggi nilai santun dalam pergaulan. Selain itu, penggunaan bahasa yang bernilai rasa tinggi merupakan cerminkan masyarakat yang berintelektual dan beradab, sehingga dalam pengajaran bahasa Indonesia, pendidik harus memperkenalkan eufemisme kepada peserta didik.

Eufemisme merupakan penggunaan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik (Keraf, 2001:132). Eufemisme kerap digunakan sebagai acuan dalam mengungkapkan perasaan agar tidak menyinggung lawan berbicaranya, dengan menggantikan acuan-acuan yang dirasakan menghina atau menyinggung perasaan dengan unkapan yang lebih halus. 

Misalnya, dalam interaksi pembelajaran di kelas, ketika seorang pendidik akan mengatakan bahwa muridnya “bebal”, maka ia dapat mengatakan “kurang paham”. Dengan demikian, tuturan yang dilontarkan oleh pendidik tidak bernilai kasar sehingga penyampaian maksud tersebut tidak menyinggung perasaan peserta didik yang bersangkutan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengelolah bahan penelitiannya dengan memanfaatkan sumber bacaan atau pustaka untuk memperoleh hasil penelitiannya. Data yang dikumpulkan berupa teori-teori dan konsep-konsep tentang eufemisme. Kemudian dikaji secara deskriptif kualitatif menggunakan pendekatan pragmatik, sosiolinguistik dan psikolinguistik, sehingga mengasilkan suatu temuan yang dapat diterapkan dalam interaksi pembelajaran di kelas.

Hasil dan Pembahasan

Bangsa Indonesia begitu kental dengan kebudayaan timurnya yang begitu menjaga ucapan terhadap orang lain, sehingga penggunaan bahasa yang halus begitu penting dalam tindakan komunikasi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, gaya bahasa untuk menghaluskan kata selalu digunakan masyarakat Indonesia. Dalam ilmu bahasa, penghalusan kata disebut dengan eufemisme. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Djajasudarma (2013: 27) yang menjelaskan, “Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan.”

Menurut Ahmadi (1990: 181), “Eufemisme adalah gaya bahasa berupa kata-kata atau frasa untuk rasa yang lebih halus atau sopan dalam menyatakan suatu benda, hal, keadaan, atau orang.” Eufemisme dalam bentuk kata seperti pada kata tunawisma untuk mengganti kata buta, sedangkan dalam bentuk frasa seperti pada frasa penyesuaian harga untuk mengganti frasa kenaikkan harga.

Selain itu, menurut Breal (dalam Parera, 2004: 128), “Eufemisme berlatar belakang sikap manusiawi.” Eufemisme digunakan oleh seseorang bertujuan menghindari untuk menyakiti hati dan menyinggung perasaan orang lain. Dengan begitu, seseorang dapat menjalin hubungan atau kerjasama yang baik dengan orang lain.

 Menurut Ahmadi (1990: 181), “Eufemisme adalah gaya bahasa berupa kata-kata atau frasa untuk rasa yang lebih halus atau sopan dalam menyatakan suatu benda, hal, keadaan, atau orang.” Eufemisme dalam bentuk kata seperti pada kata tunawisma untuk mengganti kata buta, sedangkan dalam bentuk frasa seperti pada frasa penyesuaian harga untuk mengganti frasa kenaikkan harga.

Manfaat Eufemisme

              Eufemisme berfungsi untuk menghaluskan ucapan yang dirasakan kasar atau tabu untuk diucapkan. Selain itu, terdapat beberapa manfaat lainnya dari penggunaan eufemisme yang disampaikan oleh Karim, dkk. (2013: 138) sebagai berikut.

  • Eufemisme sebagai alat untuk menghaluskan ucapan

Dalam berbicara kata-kata yang memiliki konotasi rendah dapat diganti atau diungkapkan penuturnya dengan cara-cara yang tidak langsung, gunanya untuk menghindari berbagai konflik sosial. Dengan penggunaan eufemisme diharapkan antara penutur dengan lawan tutur dapat menjalin hubungan yang baik dengan ucapan yang halus dan sopan.

  • Eufemisme sebagai alat untuk merahasikan sesuatu

Eufemisme dapat digunakan untuk merahasiakan sesuatu yang dianggap penting. Misalnya, kata-kata khusus dalam bidang kesehatan dan kedokteran seperti kanker dapat diganti dengan istilah CA.

  • Eufemisme sebagai alat berdiplomasi

Bentuk-bentuk eufemisme seringkali digunakan baik oleh pemerintah, para atasan, maupun pejabat kepolisian. Gunanya adalah menghargai kepada bawahannya atau masyarakat, serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada masyarakat Indonesia penggunaan eufemisme sudah diajarkan sejak dini, seperti tidak boleh berbicara kasar atau kurang sopan, serta tidak boleh mengatakan hal-hal yang dilarang atau tabu.

  • Eufemisme sebagai alat penolak bahaya

Eufemisme merupakan salah satu pencerminan usaha manusia untuk memperoleh kesejahteraan, ketentraman, dan keselamatan. Bangsa Melayu mempunyai kepercayaan untuk menghindari kata-kata tertentu untuk memperoleh keselamatan. Menurut Wijana dan Rohmadi (dalam Karim, dkk., 2013: 140) bagi orang yang sedang berjalan di hutan ucapan kata ular diganti dengan kata akar, atau kata harimau diganti dengan kata nenek.

Eufemisme dalam Pembelajaran di Kelas

Interaksi pembelajaran merupakan suatu gambaran aktivitas belajar mengajar yang melibatkan pendidik dan peserta didik dalam memahami materi pembelajaran. Adapun dalam interaksi tersebut, pendidik dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan baik, sehingga materi yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh peserta didiknya. 

Berkenaan dengan komunikasi di kelas, pendidik juga perlu memperhatikan penggunaan bahasa yang baik dan benar dengan tidak mengesampingkan kesantunan bahasa tersebut. Hal ini disebabkan karena karakteristik peserta didik yang memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Oleh karena itu, dalam hal tuturan pendidik harus cermat dalam memilih kata dan kalimat atau ungkapan-ungkapan yang dilontarkan, agar tidak menimbulkan berbagai penyimpangan dalam berbahasa. 

Menyikapi hal tersebut, pendidik dapat menggunakan eufemisme dalam memanipulasi kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bernada kasar atau melecehkan peserta didik yang nantinya berdampak pada perkembangannya.

Hidayat (2014: 34) menyatakan bahwa eufemisme merupakan sebuah ungkapan-ungkapan bahasa yang dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan tertentu agar terhindar dari ungkapan yang dirasakan kasar, merugikan, atau tidak menyenangkan, misalnya kata “meninggal dunia” untuk menggantikan kata mati, “tuna wisma” untuk menggantikan ungkapan kepada orang yang tidak memiliki tempat tinggal, kata “kamu bodoh” dapat diganti dengan mengatakan “kamu harus belajar dengan giat lagi”, dan sebagainya.

Sifat eufemisme yang menyamarkan maksud sesungguhnya yang bernada atau bermakna kasar dengan ungkapan yang diperhalus menjadikan eufemisme sebagai gaya bahasa pilihan seorang pendidik dalam melakukan interaksi pembelajaran di kelas. Dengan menggunakan eufemisme, pendidik dapat mengkritisi dan menyampaikan pendapatnya pada peserta didik secara aman dan tanpa menyinggung perasaan. 

Dalam hal ini, eufemisme berkaitan erat dengan prinsip kesopanan dalam berbahasa. Berkaitan dengan interaksi pembelajaran di kelas, pendidik perlu memperhatikan penggunaan eufemisme dalam bahasa Indonesia meliputi berbagai bidang kehidupan. Menurut Sunarso (1998: 71), ada 8 bidang kehidupan yang dapat menerapkan eufemisme, yaitu.

  • Eufemisme yang berhubungan dengan kematian, misalnya ungkapan menghadap Tuhan Yang Maha Esa, mendahului, pergi, dan sebagainya, untuk menggantikan kata mati.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan seks, misalnya alat vital, kemaluan, rahasia laki-laki, dan sebagainya untuk menggantikan kata pelir; bercampur, bergaul, memenuhi kebutuhan biologi, dan sebagainya untuk menggantikan kata bersetubuh.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan penyakit dan cacat tubuh, misalnya penyakit kotor untuk menggatikan raja singa; bertukar akal untuk menggantikan kata gila; gangguan penglihatan untuk menggantikan kata buta, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan pengeluaran kotoran badan, misalnya ke belakang untuk menggantikan kata berak; kamar kecil untuk menggantikan kata kakus, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan kenyataan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang buruk, misalnya pramu wisma, asisten rumah tangga untuk menggantikan kata babu atau pembantu; tunawisma untuk menggantikan gelandangan, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan nasib yang tidak menyenangkan, misalnya pembebastugasan, pemberhentian, pemutusan hubungan kerja untuk menggantikan pemecatan; pengamanan untuk menggantikan kata penangkapan; kurang berhasil untuk menggantikan gagal; penyesuaian harga untuk menggantikan kenaikan harga; desa prasejahtera untuk menggantikan desa miskin, dan lain sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan sifat yang jelek, misalnya tidak terlalu pandai, perlu belajar lebih giat untuk menggantikan kata bodoh; kurang rajin untuk menggantikan kata malas, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan hal yang dapat menimbulkan bahaya, misalnya raja hutan untuk menggantikan harimau; bencana alam untuk menggantikan Tsunami, gempa bumi, tanah longsor dan lain sebagianya.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran, seorang pendidik harus memperhatikan penggunaan bahasa. Seorang pendidik harus menjadi panutan (role model) dalam penggunaan bahasa yang sopan, sehingga peserta didik pun menggunakan bahasa yang sopan dalam berkomunikasi.

Pendidik yang tidak menggunakan bahasa sopan tentu akan memberikan dampak negatif bagi peserta didik. Dampak negatif yang didapatkan peserta didik, seperti hilangnya kepercayaan diri, ketakutan yang berlebihan, jijik, hilangnya rasa empati, dan berdampak pula pada perilaku berbahasa peserta didik yang tidak santun.

Kajian eufemisme ini mengenalkan kepada pendidik akan sebuah alternatif yang dapat digunakan dalam meredam atau memanipulasi kata-kata dan bahasa yang dirasa kasar atau tidak santun, sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif pada peserta didik. Dengan demikian, aktifitas berbahasa pendidik dalam interaksi pembelajaran dapat dipahami dengan memperhatikan berbagai komponen konteks tutur yang berpedoman pada indikator kesantunan, sehingga aktifitas berbahasa dalam bentuk lisan maupun tulisan yang bernada kasar dan tidak menyenangkan, dapat dimanipulasi dengan menggunakan eufemisme.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2013. Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik, Sintagmatik, dan Derivasional. Bandung: PT Refika Aditama.

Hidayat, A.A. (2014). Filsafat bahasa: Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Karim, Yurni, dkk. 2013. Semantik Bahasa Indonesia. Tanggerang: PT Pustaka Mandiri.

Keraf, G. (2001). Diksi dan gaya bahasa. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.Parera, J. D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta:     Erlangga.

Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media.

Sunarso. 1998. Eufemisme: Referensi dan latar belakang. Jurnal Humaniora, 9, 70-76.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun