"Selamat, Romero," Pak Sutrisno, bos gue, menjabat erat tangan gue berulang kali. Wajahnya sumringah.
"Terima kasih, Pak!" sahut gue. Bangga dan gembira. Bagaimana tidak? Gue dinyatakan lolos seleksi mendapatkan beasiswa dari kantor. Gue satu-satunya karyawan termuda yang terpilih. Gue dinilai karyawan cemerlang, disiplin dan rajin. Usia gue masih 23 tahun.
Gue dapat beasiswa kuliah S1. Cihui! Rasanya sudah tidak sabar ingin menceritakan kabar baik ini kepada Jelita.
"Selamat, Sayang." Tangan Jelita terasa hangat dalam genggaman tangan gue. Yep, Jelita adalah kekasih gue. Dag, dig, dug, seeer, itulah yang gue rasakan saat pertama kali melihatnya di rumah teman gue. Adik teman gue teman sekelas Jelita. Kala itu Jelita masih kelas 1 SMA, sedangkan gue kuliah D3 tingkat 2.
Gue melakukan pdkt. Gayung bersambut. Ia merasakan hal yang sama. Kami pun jadian.
Bagi teman-teman kami, hubungan gue dan Jelita relationship goal banget. Kami kompak. Kalau Jelita ada ujian, gue nemenin dia belajar. Jelita juga setia nemenin gue ngerjakan tugas kuliah.
Jelita adalah pujaan hati gue. Gue yakin, ia adalah perempuan yang tepat untuk menjadi istri gue. Ia pun ingin selalu bersama gue.
Meskipun demikian, gue enggak mau aji mumpung. Seks di luar nikah enggak banget buat gue. Nasihat orangtua gue pun selalu terngiang-ngiang di telinga. Mereka berpesan agar gue berhati-hati dalam pergaulan.
"Romero!" panggil Jelita. Yang mengherankan, dia terus memanggil nama gue. Padahal jelas-jelas gue duduk di hadapannya. Terus, kenapa ada suara bayi nangis-nangis?
"Romero! Romero!" Suara Jelita meninggi. Suara bayi itu juga tambah keras.
Gedubrag, gue terkapar di lantai. Jelita yang tadi tersenyum manis, kini jadi Jelita yang enggak jelita. Ia melotot sambil berkacak pinggang. "Tidur mulu! Sana, gantian jaga Dirly!" perintahnya.