Mohon tunggu...
Nancy Duma
Nancy Duma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

born in north sumatra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orangtua dan Sekolah: Mitra Sekerja dalam Pendidikan Anak

30 Juli 2016   13:16 Diperbarui: 30 Juli 2016   13:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Mami antar aku, kan?" tanya anak saya suatu malam. Esok harinya ia memang akan masuk sekolah. Meskipun bukan baru pertama sekali sekolah, tampaknya hari pertama sekolah masih saja menegangkan baginya.

Saya menepati janji.

Dalam perjalanan ke sekolah, anak saya tidak banyak bicara. Ketika berbaris di halaman sekolah, ia curi-curi pandang ke tempat saya menunggu.

Beberapa hari kemudian baru ia mengaku tanpa saya minta bahwa pada hari pertama itu ia khawatir. Ia khawatir memikirkan banyak hal: siapa yang jadi wali kelasnya, apakah ia akan sekelas lagi dengan teman baik dari kelas lamanya, apakah pelajarannya akan semakin berat, dan kenyataan bahwa kini ia harus lebih lama berada di sekolah karena ia sudah naik kelas.

Pengalaman anak saya membuktikan kebenaran bahwa rumah (keluarga) seyogianya adalah lingkungan pertama yang anak cari untuk mendapatkan hak-hak asasinya, antara lain rasa aman.

Seiring pertambahan usia, anak akan masuk ke lingkungan sosial yang baru. Salah satunya sekolah.

Seperti halnya rumah, sekolah juga harus menjadi "rumah" kedua anak. Anak harus merasa aman dan nyaman berada di sekolah, dalam interaksinya dengan para guru, sesama siswa dan staf pendukung seperti TU, petugas kebersihan dan keamanan sekolah.

Mitra Sekerja

Orangtua adalah mitra kerja sekolah, sekolah adalah mitra kerja orangtua untuk satu tujuan: menghasilkan generasi muda yang terdidik.

Pada kenyataannya, mewujudkan idealisme ini tidak mudah.

Ada banyak orangtua yang seolah angkat tangan begitu anak berada di sekolah. Berikut adalah contoh-contohnya.

1. Orangtua membiarkan anak pergi ke sekolah tanpa perlengkapan sekolah yang memadai. Anak jadi harus sering meminjam dari teman atau tidak dapat mengikuti pelajaran.

2. "Sekolah bukan tempat penitipan anak," begitu kata seorang kepala sekolah. Pernyataan ini mucul karena sering kali orangtua tidak tepat waktu menjemput anak yang masih harus dijemput (tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas). Padahal, staf sekolah tidak mungkin berlama-lama menunggui siswa.

3. Orangtua tidak (mau) menghadiri pertemuan orangtua-guru yang diselenggarakan oleh sekolah. Padahal dalam pertemuan tersebut kedua pihak dapat saling bertukar pikiran membicarakan proses pendidikan anak agar berjalan baik dan tepat sasaran.

4. Orangtua tidak mengambil raport anak. Padahal raport anak merupakan hasil evaluasi belajar anak selama 1 semester. Pada saat mengambil raport, orangtua dapat mengetahui kebutuhan anak agar proses belajarnya di semester berikutnya bisa lebih baik.

Kendala tidak datang dari pihak orangtua saja. Ada banyak pihak sekolah yang bersikap superior.

1. Pihak sekolah mengeksploitasi kewenangannya. Segala keputusan penting diambil secara sepihak tanpa dialog dengan orangtua siswa. Orangtua siswa hanya menerima keputusan dalam bentuk pemberitahuan di secarik kertas atau bahkan secara lisan melalui siswa dan selanjutnya diharapkan melakukan apa yang diminta sekolah tanpa banyak tanya.

2. Sekolah (guru dan kepala sekolah) tidak menangani dengan serius atau bahkan tidak memedulikan laporan orangtua tentang masalah anak di sekolah. Misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh siswa lain atau bahkan yang dilakukan oleh guru. Perilaku kekerasan dibiarkan tumbuh subur.

3. Guru mengajar tanpa mempedulikan kelemahan masing-masing siswa. Misalnya, selalu menunjuk siswa yang ekstrovert, pandai bicara, pemberani, atau pandai untuk menjawab pertanyaan atau melakukan tugas-tugas penting di sekolah.

Guru yang hebat itu adalah guru yang bisa membantu siswa menemukan potensi dirinya. Sekolah bertanggung jawab mendidik semua siswanya menjadi orang yang jujur, bertanggung jawab, berani, dan cerdas. Tidak sekadar intelegensinya, tetapi juga emosi dan spiritualitasnya.

Dua jempol untuk Bapak Anies Baswedan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang menggagas gerakan mengantar anak ke sekolah di hari pertama sekolah.

Semoga gerakan ini tidak berhenti sampai di situ saja, ibarat kaki yang hanya melangkah sekali lalu diam di tempat, tetapi menjadi langkah pertama dalam gerak usaha memperbaiki iklim dan kondisi pendidikan kita di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun