Geliat layar kaca Korea di perfilman dunia semakin diperhitungkan dan tahun 2017 adalah saat dimana beberapa fim Korea yang berkualitas banyak diproduksi, seperti The Battleship Island, The Outlaws, dan film A Taxi Driver adalah salah satunya.Â
Film ini terpilih menjadi perwakilan dari Korea Selatan untuk Academy Award ke 90, jadi sudah tidak diragukan lagi kualitasnya serta di beberapa situs menjadikannya salah satu film terbaik Korea dan memiliki rating yang tinggi.Â
Awalnya ketika membaca judul film ini, saya agak kurang tertarik, namun penasaran kenapa ratingnya bagus, apa yang membuat film ini 'spesial', menerka-nerka mungkin sekedar drama keluarga yang orangtuanya berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kisah para supir taksi, tapi ternyata jauh lebih bagus dari yang saya perkirakan. Dan film ini pun terinspirasi dari kisah nyata.Â
Menceritakan tentang beberapa peristiwa kerusuhan yang terjadi di Korea Selatan, tepatnya di wilayah Gwang ju dari perspektif seorang supir taksi dan wartawan asing.Â
Jurgen Hinzpeter adalah seorang koresponden Asia atau wartawan untuk penyiar publik Jerman yang sudah lama tinggal dan bertugas di Kantor Pusat Pers Jepang. Ketika suatu kali, dia mendengar kabar dari teman-teman wartawannya telah terjadi kerusuhan di negara Korea, dia berniat pergi dan mendapatkan beritanya.Â
Menggunakan visa sebagai misionaris, Peter berhasil mengelabui petugas bandara dan untuk mencapai Gwang ju dia menggunakan jasa supir taksi. Di Korea saat itu tahun 1980, telah terjadi darurat militer dan kerusuhan untuk menolak kediktatoran militer dan di wilayah Gwang ju adalah tempat kerusuhan yang paling darurat.Â
Semua kegiatan politik dilarang, universitas dan toko sementara ditutup, koran dan televisi didominasi berita kebohongan dan akses jalan ke wilayah tersebut diblokir. Si supir taksi sebenarnya tidak mengetahui seberapa parah wilayah Gwang-ju, tapi karena tergiur tarif yang mahal, dia bersedia mengantar Peter pergi dan sampai kembali nanti ke Seoul.Â
Di Gwang-ju, begitu dia melihat bahaya kerusuhan, segera mengajak Peter untuk kembali ke Seoul karena khawatir akan keselamatan mereka nantinya.Â
Namun, begitu melihat kesedihan dan penderitaan warga Gwang ju sesungguhnya, si supir taksi malah ikut membantu para korban kerusuhan yang terkena luka tembakan yang ditembaki begitu saja oleh aparat sampai mempertaruhkan nyawanya, padahal sebelumnya dia berniat kembali sendirian ke Seoul tanpa si wartawan, Peter, dia takut akan bahaya yang lebih besar dan teringat akan putrinya yang sendirian di rumah.
Yang lebih bahaya adalah ketika perjalanan kembali ke Seoul, mereka dikejar oleh para aparat yang ingin membunuh dan merampas rekaman si wartawan asing, karena tentu saja diktator tidak ingin berita atau kejadian sebenarnya tersebar ke seluruh wilayah Korea dan diketahui dunia.Â
Dengan pertolongan dan solidaritas dari beberapa supir taksi Gwang ju yang turut rela mempertaruhkan nyawa, akhirnya supir taksi dan wartawan asing tersebut berhasil sampai di Seoul.
Desember 2003 : Suatu kebanggaan bagi saya menerima penghargaan di Korea. Dan saya masih mengingat wajah orang-orang yang saya temui di Gwang ju. Saat itu musim semi tahun 1980, dan saya tidak akan pernah bisa lupa. Tapi ada satu wajah yang sangat saya rindukan, teman saya yang pemberani, Kim Sa Bok. Dia seorang supir taksi. Tanpanya, berita tentang pemberontakan Gwang ju tidak akan tersiar ke seluruh dunia. Saya takut, kata-kata saya tidak cukup untuk menggambarkan rasa terimakasih saya, tapi kau akan selalu ada dalam ingatan saya. Tuan Kim, sahabat saya yang tercinta, Terimakasih. Saya merindukanmu dan saya akan tetap menunggu. Saya berharap bertemu denganmu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H