Matraman ialah sebuah Kecamatan di Jakarta Timur yang memiliki luas 21,66 km persegi (km2). Di Matraman terdapat beberapa bangunan yang terkenal dari dulu hingga saat ini, seperti Toko Buku Gramedia yang terbesar di Indonesia.
Di jalan Pramuka terdapat gedung Yayasan Lia yang bergerak di bidang pengajaran bahasa Inggris. Selain itu, ada pula Pasar Burung Pramuka, yang merupakan pasar Unggas Terbesar di Asia Tenggara, serta Toko Obat Pramuka, sentra penjualan berbagai macam obat obatan, alat kesehatan di Jakarta.
Jalan Matraman Raya merupakan salah satu jalan utama di Jakarta. Jalan ini menghubungkan Jatinegara, Kampung Melayu, dan Salemba. Jalan ini melintang sepanjang 2,3 km dari persimpangan Matraman-Salemba sampai persimpangan Pasar Jatinegara.
Matraman tidak hanya menjadi sebuah nama, tetapi juga memiliki bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang menarik untuk dikunjungi dan ditelusuri.
1. Viaduk Meester
Mengikuti kebutuhan masyarakat yang tinggi akan transportasi, Â Matraman dilengkapi dengan stasiun Commuter line yang sudah mengalami revitalisasi dan terhubung dengan shelter Trans Jakarta.
Tidak jauh dari stasiun Matraman terdapat viaduk. Viaduk merupakan sebuah jembatan atau jalan di atas jalan raya, jalan kereta api, di atas lembah atau sungai yang lebar. Kata viaduk berasal dari bahasa Latin viaduct yang artinya melalui jalan atau menuju sesuatu arah.
Terdapat beberapa Viaduk yang ada di beberapa kota di Indonesia dan merupakan peninggalan kolonial Belanda. Viaduk yang berada di Jakarta yaitu Viaduk Meester di Jatinegara, Jakarta Timur.
Viaduk ini merupakan jalur kereta api penghubung Stasiun Jatinegara dengan Stasiun Manggarai. Viaduk ini dibangun pasa 1918 di masa pemerintahan Meester Cornelis.
2. Balai Pustaka
Balai Pustaka adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan, percetakan dan multimedia. Pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka pada tahun 1908. Mulanya, lembaga itu bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat.
Tujuan didirikannya komisi ini adalah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Komisi ini juga bertugas untuk menyensor karya-karya sastra yang dianggap berbahaya bagi kepentingan kolonial Belanda.
Balai Pustaka dibuat untuk menerbitkan buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan berkesempatan untuk diterbitkan di Balai Pustaka kecuali satu: tulisan yang mengandung unsur perjuangan.
Kebanyakan karya yang diterbitkan Balai Pustaka adalah jenis bacaan yang dapat meninabobokan para pribumi. Dengan kata lain, Belanda ingin agar rakyat pribumi lupa bahwa mereka tengah dijajah.
Nama Balai Pustaka mengalami perubahan pada masanya. Setelah Commissie voor de Volkslectuur, nama 'Balai Pustaka' digunakan pada 1917. Ketika Jepang mulai menginvasi Indonesia, namanya berubah menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku.
Balai Pustaka sempat berpindah ke tangan ke Belanda pada Juli 1947. Namun pada 1949, Balai Pustaka dikembalikan setelah secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hingga kini, nama Balai Pustaka-lah yang digunakan.
3. Yayasan Marsudirini
Di jalan Matraman Raya, berdiri Sekolah yang katolik terkenal yang ternyata sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Sekolah Marsudirini Matraman didirikan oleh para suster OSF, dengan letak gedungnya yang sangat strategis lahir berkat kemurahan hati Ordo Suster-suster ursulin pada tahun 1955.
Pada awal berdirinya yang menjadi peserta didik karya pendidikan Marsudirini adalah siswi putri. Namun sejalan dengan kebutuhan masyarakat Marsudirini Matraman menerima siswa putra menjadi bagian dalam karya pelayanan pendidikan.
Sekolah Marsudirini Matraman dibawah naungan Yayasan Pendidikan Marsudirini yang dikelola oleh suster dari Fransiskus (ordo OSF) Semarang sejak tahun 1870 yang mengadakan karya pendidikan di Gedangan, yang akhirnya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Karya Pendidikan Marsudirini kini tersebar diberbagai wilayah di Indonesia yaitu: Semarang, Jakarta, Bogor, Bekasi, Surakarta, Magelang, Yogyakarta, Pekanbaru, Salatiga, Bali, Ende dan Sumba.
4. Gereja Santo Yoseph
Tidak jauh dari Sekolah Marsudirini terdapat Gereja Santo Yoseph yang terletak di Jalan Matraman Raya no.127. Gereja ini merupakan salah satu gereja tertua di Jakarta yang merupakan peninggalan zaman kolonial di Indonesia.
Kisah pembangunann gereja ini berawal dari pembelian sebidang tanah di tepi Jalan Matraman Raya Matramanweg pada 13 Desember 1906, yang dipersiapkan untuk pembangunan gereja. Tapi, tanggal 28 Desember 1906, daerah ini terlebih dulu dibentuk sebagai fasilitas pelayanan umat yang dilaksanakan oleh Pastor Katedral PJ Hoevenaars SJ.
Tiga tahun kemudian, dilaksanakan permandian atau baptis pertama, 22 Juni 1909. Tanggal permandian ini kemudian ditetapkan Pastor Johanes Djawa SVD (Pastor Kepala periode 1989-1999) sebagai penanda kelahiran Paroki Matraman. Christina Wilhelmina Cornelia, lahir pada 14 Mei 1909, adalah anak pertama warga pribumi yang dibaptis di gereja ini.
Selama 30 tahun pertama, gereja ini didominasi orang asing, khususnya Belanda. Tahun 1921, umat gereja ini masih berjumlah 1.052 orang, dan sempat berkembang pesat jadi 13.000 orang pada tahun 1985. Karena makin banyaknya Paroki di Jakarta, umat gereja ini pun terpecah, dan tahun 2004 tinggal 5.577 orang.
5. Panti Asuhan Van der Steur
Pendiri panti asuhan ini adalah  Johannes Van der Steur,  seorang penginjil keturunan Belanda, Van der Steur. Kisahnya dimulai ketika mendengar ihwal penderitaan yang dialami para serdadu Belanda yang bertugas di Hindia Belanda (Indonesia) dari temannya.
Cerita itu membuat Van der Steur tergerak untuk membantu sehingga dia kemudian berangkat ke Hindia Belanda pada 10 September 1892. Dia memilih Magelang sebagai lokasi untuk melakukan tugas pelayanan sebagai penginjil.
Suatu hari dia bertemu seorang tentara Belanda yang sedang mabuk. Prajurit tersebut menantang Van der Steur untuk merawat empat anak temannya yang hidup dalam kondisi yang menyedihkan di sebuah kampong di Magelang.
Van der Steur lalu merawat empat anak tersebut di sebuah rumah berdinding bambu. Anak-anak itu memanggil Van der Steur dengan sebutan "Pa", singkatan dari papa.
Sejak saat itu, dia kemudian populer dengan panggilan Pa Van der Steur. Jumlah anak yang diasuh Van der Steur terus bertambah sehingga dia memutuskan mendirikan panti asuhan yang diberi nama Oranje Nassau.
Pada akhir tahun 1907, jumlah anak-anak yang diasuh di Oranje Nassau mencapai 800 orang. Kebanyakan anak itu merupakan anak tentara kolonial hasil pergundikan yang tidak diakui secara sah.
Meski sempat menghadapi sejumlah tantangan, Panti Asuhan Oranje Nassau terus berkembang. Jumlah anak yang tinggal di panti asuhan tersebut pun kian banyak. Berdasarkan data di situs web Yayasan Pa Van der Steur Indonesia, jumlah anak yang diasuh di Oranje Nassau pada 1941 mencapai 1.100 orang.
Namun, saat Jepang datang ke Indonesia pada 1942, Oranje Nassau dilanda kesulitan. Bahkan, Van der Steur sempat dipenjara oleh Jepang. Dia kemudian meninggal pada 16 September 1945.
Setelah itu, pada 1949, anak-anak yang diasuh di Oranje Nassau dipindahkan dari Magelang ke Jakarta. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal dimana mereka dibesarkan, tempat tinggal dimana mereka dibesarkan, tempat yang sudah begitu banyak memberi kenangan.
Meski Van der Steur telah meninggal, sosoknya tetap dikenang banyak pihak, termasuk oleh keturunan orang-orang yang dulu pernah tinggal di Oranje Nassau.
Melalui panti asuhan yang didirikannya, Johannes Van der Steur yang telah memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi telah mengasuh ribuan anak telantar, termasuk dari keluarga indo.
Lokasi bangunan-bangunan ini berdekatan, jadi jika teman-teman berada di daerah Matraman bisa berjalan kaki menikmati suasana Jakarta, belajar sejarah dengan mengunjungi bangunan-bangunan peninggalan Kolonial Belanda di Matraman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H