Panjang sekali ceritanya, Nak. Tapi barangkali Ibu kali ini hanya akan menjelaskan sedikit saja tentang kenapa memilih Ayah.
Dulu, Ayah dan Ibumu ini teman sekelas, Nak, dan saling suka sebelum kemudian Ibu pindah sekolah dan Ayahmu punya pacar lain (begitu juga Ibu), lalu saling membenci dan tidak ada kabar. Namun seperti istilah, “Cinta pertama tidak pernah mati”. Sepertinya kami mudah sekali tersulut pada pertemuan pertama setelah 5 tahun saling menghilangkan diri.
Sebagaimana kau tahu, Ibu kuliah di luar kota, sementara Ayahmu tetap tinggal dan bekerja di lingkungan rumahnya. Setiap kali Ibu pulang kampung, Ayahmu selalu menyempatkan diri menghubungi. Sesekali mampir ke rumah meskipun Ibu tahu dia sangat kikuk jika bertemu kakek atau nenekmu. Lain waktu, dia mencuri waktu bertemu Ibu di terminal saat akan berangkat lagi. Dan yang paling berkesan untuk Ibu adalah ketika sekali waktu ia tak sempat bertemu Ibu, sedangkan Ibu sudah berada di dalam bis yang berangkat, Ayahmu mengejar bisnya. Terkejar, meskipun hanya sempat bertatap sekelebat sambil melambaikan tangan. Bagi Ibu, Ayahmu romantis, meski tak banyak bicara.
Ku ceritakan bahwa Ayahmu langganan guru BK di sekolah. Ya, begitulah. Tapi Ibu tak lagi mempermasalahkannya (meski tentu, Ibu tak mengharapkanmu begitu). Ayahmu tau, pada siapa dia harus bersikap sangat baik. Dia berteman dengan banyak orang, dengan berbagai karakter. Dan yang paling membuat Ibu terkesan ialah, dia begitu menyayangi Ibunya, nenekmu. (Semoga kau bisa mewarisi sayangnya Ayahmu terhadap keluarga). Ibu, meskipun tak pernah bermasalah di sekolah, tapi tak bisa sesabar Ayahmu menghadapi masalah. Barangkali perjuangan Ibu, tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Ayahmu untuk keluarganya. Ayahmu, tulang punggung keluarganya sejak kakekmu tak lagi bekerja. Mengurusi kebutuhan rumah, kebutuhan orang tua dan menyekolahkan adik bungsunya. Ia telaten sekali mengurus nenekmu yang mulai sering kambuh sakit alzheimernya waktu itu. Ibu belajar banyak dari Ayahmu. Ibu tidak sesabar dia. Ayahmu seringkali membuat Ibu kagum tentang hal ini. Iya, Ayahmu membuat Ibumu ini terpesona berkali-kali.
Yang membuat Ibumu yakin memilih dia sebagai Ayahmu adalah saat ia menyodorkan cincin di acara reuni angkatan sekolah kami. “Kalau kamu mau serius, Aku bisa”, ujarnya dengan yakin. Untuk seusia duapuluhan awal waktu itu, adalah wajar hubungan masih putus-nyambung, atau berganti pacar. Tapi Ayahmu rela melepas semua pilihan kesenangan dan membuat banyak “fans”nya patah hati hanya demi seorang aku, Ibumu yang biasa saja. Bukankah itu sangat istimewa?
Banyak sekali yang menarik dari Ayahmu, tapi kau juga pasti mulai tahu satu per satu. Kisah cinta kami, mungkin tidak seindah novel, Nak. Ibu dan Ayahmu bukan orang yang tanpa cela. Tapi dari Ayahmu, Ibu belajar bahwa cinta harus diperjuangkan, berani mencintai berarti berani mengambil tanggung jawab yang sepaket dengan cinta, cinta adalah saling memberi yang terbaik dengan tulus dan saling menerima kekurangan dengan ikhlas tiada akhir, dan jika caramu mencintai sudah benar, kamu akan menjadi yang paling beruntung, tidak akan ada kesedihan bagimu.
Ibu Cinta Ayahmu, juga kamu, Nak..
Yogyakarta, 9 September 2015