Risiko, selalu ada dan hadir di setiap sisi kehidupan manusia, kapanpun dan di manapun ia berada. Di sisi lain, manusia tidak bisa menghilangkan risiko. Yang bisa dilakukan adalah menghindari risiko dan atau mengurangi efek atau dampak dari risiko yang mungkin terjadi. Tindakan menghindari atau mengurangi resiko ini biasa disebut tindakan lindung nilai atau biasa juga disebut hedging. Hedging sangat penting dilakukan terutama untuk menjaga nilai investasi dari berbagai risiko yang mungkin diterima.
Ada berbagai macam cara atau teknik untuk melakukan hedging, diantaranya dengan mengunakan instrumen-instrumen derivatif. Kebanyakan ulama berpandangan bahwa kontrak-kontrak derivatif ini tidak sah karena pertimbangan penjualan sesuatu yang tidak dimiliki atau bersifat non exist, sehingga dituding sebagai bentuk gharar.
Kontrak opsi, swap dan berjangka berasal dari utang serta melibatkan penjualan dan pembelian utang/kewajiban. Apabila dikelompokkan instrumen demikian disebut dengan derivatif, yakni karena diturunkan dari ekspektasi kinerja di masa yang akan datang atas aset yang mendasarinya. Bagaimanapun telah diamati bahwa pasar finansial global menjadi semakin rapuh seiring dengan semakin banyak bermunculannya instrumen derivatif dan lindung nilai (hedging) (Ayyub; 2009, h. 326).
Secara teori, transaksi derivatif ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Satu sisi berfungsi sebagai alat lindung atau penjaminan (hedging) agar suatu usaha dapat produktif dan efisien. Di sisi lain, transaksi derivatif juga merupakan alat spekulasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan dari transaksi itu sendiri.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa transaksi-transaksi derivatif diperbolehkan jika dilakukan dengan tujuan lindung nilai atau hedging. Namun jika tujuannya adalah untuk spekulasi, maka transaksi derivatif tersebut menjadi haram. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa hedging menjadi titik yang menghalalkan transaksi derivatif.
Â
Konsep Risiko dalam Ekonomi Islam
Risiko yang dalam ekonomi islam disebut gharar secara etimologi bermakna kekhawatiran atau risiko, dan gharar berarti juga menghadapi suatu kecelakaan, kerugian, dan atau kebinasaan. Dan taghrir adalah melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Dikatakan gharara binafsihi wa maalihi taghriran berarti 'aradhahuma lilhalakah min ghairi an ya'rif (jika seseorang melibatkan diri dan hartanya dalam kancah gharar maka itu berarti keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang tidak diketahui olehnya). Gharar juga dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat ketidakyakinan (uncertainty) (Huda; 2009, h. - )
Dalam bahasa Arab, gharar diterjemahkan sebagai risiko, sesuatu yang tidak pasti, atau ketidakpastian (uncertainty), sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (laut), karena perbuatan semacam itu termasuk gharar (tidak pasti). (HR. Ahmad).
Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, menjelaskan gharar sebagai "things with unknownfate, so selling such things is maysir or gambling ". Dengan demikian, transaksi jual-beli sesuatu yang tidak pasti (gharar) tersebut dilarang dalam Islam, karena termasuk kategori perbuatan maysir atau perjudian (spekulasi).
Bisnis adalah pengambilan risiko, karena risiko selalu ada dalam setiap kegiatan manusia. Terlebih dalam prinsip islam menyatakan tidak ada risk-free di dunia ini. Dalam Islam resiko dapat diposisikan sama seperti kesulitan (مشقة). Meskipun banyak perbuatan Islam yang melibatkan kesulitan, namun kesulitan tersebut tidak diperbolehkan terhadap dirinya sendiri.