Mohon tunggu...
Nana Yuliani
Nana Yuliani Mohon Tunggu... Guru - SMAIT Ibadurrohman Tasikmalaya, Ibu Profesional Tasikmalaya

Passionate di bidang ekonomi dan keuangan syariah, senang sharing tetang parenting dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Audit untuk Mengatasi Agency Problem

17 Juni 2015   09:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan bisnis-dari masa ke masa menjadi semakin kompleks. Kesatuan bisnis/perusahaan pada masa lalu, dijalankan oleh perorangan atau hanya beberapa pihak saja dalam struktur yang sederhana, namun saat ini, perusahaan pada umumnya dijalankan oleh banyak pihak yang terkait di dalamnya. Salah satu asumsi dasar dalam akuntansi -yaitu economic entity, menyatakan bahwa perusahaan adalah entitas ekonomi  yang independen yang mensyaratkan pemisahaan antara pemilik usaha (owner) dengan pihak yang menjalankan usaha tersebut (manajemen).

Pemisahan ini selain memberikan berbagai manfaat, juga menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan mengenai asumsi dasar economic entity ini dibahas dalam teori agensi (agency theory). Teori agensi mengasumsikan bahwa masing-masing dari owner dan manajemen pempunyai kepentingan masing-masing terhadap perusahaan. Manajemen sebagai pihak yang melaksanakan kegiatan operasional perusahaan mempunyai kewajiban untuk memenuhi kepentingan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan. Namun di sisi lain pihak manajemen juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Perbedaan kepentingan antara pihak pengelola perusahaan (manajemen) sebagai agen dengan pihak pemegang saham (prinsipal) akan menyebabkan konflik kepentingan yang biasa disebut sebagai masalah keagenan atau agency problem.

Audit dan Agency Theory

Teori keagenan menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik temu antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen sebagai agent. Teori keagenan lahir sekitar tahun 1970an, berawal dari adanya bentuk korporasi yang memisahkan dengan tegas antara kepemilikan perusahaan dengan kontrol atau dengan kata lain ada pemisahan yang jelas antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen. Semakin rumit dan besarnya suatu perusahaan membuat pihak pemilik tidak bisa secara intensif mengelola perusahaannya sehingga meminta pihak manajemen untuk mengelola kelangsungan hidup perusahaan dalam usahanya mendapatkan profit. Selanjutnya manajemen dianggap sebagai agen dan pemilik dianggap sebagai prinsipal. Hubungan tersebut oleh banyak ahli disebut dengan hubungan keagenan/agency relationship.

Teori agensi menjelaskan hubungan kontraktual antara  principals dan  agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan mandat kepada  pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. [1]

Tujuan dari teori agensi adalah pertama, untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus diambil (The belief revision role). Kedua, untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil guna mempermudah pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan kontrak kerja (The performance evaluation role).

Secara garis besar teori agensi dikelompokkan menjadi dua yaitu positive agency research dan principal agent research.[2] Positve agent research memfokuskan pada identifikasi situasi di mana agen dan prinsipal mempunyai tujuan yang bertentangan dan mekanisme pengendalian yang terbatas hanya menjaga perilaku self serving agen. Secara ekslusif, kelompok ini hanya memperhatikan konflik tujuan antara pemilik (stockholder) dengan manajer. Sementara itu principal agent research memfokuskan pada kontrak optimal antara perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan principal dan agent. Principal-agent research mengungkapkan bahwa hubungan agent-principal dapat diaplikasikan secara lebih luas, misalnya untuk menggambarkan hubungan pekerja dan pemberi kerja, lawyer dengan kliennya, auditor dengan auditee.

Agency theory tidak dapat dilepaskan dari kedua belah pihak di atas, baik prinsipal maupun agen merupakan pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining position masing-masing dalam menempatkan posisi, peran dan kedudukannya. Prinsipal sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan agen sebagai pelaku dalam praktek operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Posisi, fungsi, situasi, tujuan, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda dan saling bertolak belakang tersebut akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan (conflict of interest) dan pengaruh antara satu sama lain.

Permasalahan  yang muncul dari agency problem  mampu  diatasi  melalui  salah  satu  mekanisme  pengawasan yang  dinamakan  audit. Watts  et  al.  (1986)  berargumen  bahwa  pengauditan memainkan peranan  penting  dalam memonitor  kontrak  dan mengurangi  risiko  informasi. Selain itu, Wallace  (1985) juga menyatakan bahwa audit merupakan cara yang mampu mengurangi biaya agensi akibat adanya perilaku mementingkan diri sendiri oleh manajer dan asimetri informasi.[3]

Berkaitan dengan auditing, baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, di mana setiap tindakan yang dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi atau akan memenuhi kepentingannya terlebih dahulu sebelum memenuhi kepentingan orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut diatas. Aktivitas pihak-pihak tersebut, dinilai lewat kinerja keuangannya yang tercermin dalam laporan keuangan.

Auditing merupakan suatu proses sistematik yang terdiri atas langkah-langkah yang berurutan termasuk (1) evaluasi internal control accounting, (2) tes terhadap subtansi transaksi-transaksi dan saldo. Sistem akuntansi, mencakup pengendalian internal yang diperlukan, dan menghailkan data yang tercantum dalam laporan keuangan. Karena itu auditor mempelajari dan mengevaluasi pengendalian inteern seebelum melakukan tes substansi dari transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan (substantive testing). Pengendalian intern yang kuat meningkatkan tingkat kepercayaan auitor dan mengurangi jumlah tes atas transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan. Auditor harus mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti audit yang sufficient (cukup) dan competent.

Auditor mengkomunikasikan hasil pekerjaan auditnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Komunikasi tersebut merupakan puncak dari proses atestasi, dan mekanismenya adalah laporan audit. Langkah-langkah utama dari auditing dapat dilihat melalui ilustrasi berikut,[4]

Adanya masalah  agensi  yang  disebabkan  karena  konflik  kepetingan  atau asimetri informasi ini, menyebabkan perusahaan harus menanggung biaya keagenan. Jensen dan Meckling membagi biaya keagenan menjadi tiga yaitu monitoring cost, bonding  cost, dan  residual  lossMonitoring  cost  yaitu  biaya  yang  timbul  dan ditanggung prinsipal untuk mengawasi perilaku agen. Bonding cost adalah biaya yang  ditanggung  oleh  agen  menempatkan  dan  mematuhi  mekanisme  yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Residual  loss adalah nilai kerugian yang dialami prinsipal akibat keputusan yang diambil oleh agen yang menyimpang dari keputusan yang dibuat oleh prinsipal.[5]

Pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen memerlukan biaya/monitoring cost dalam bentuk biaya audit, yang merupakan salah satu dari agency cost. Biaya pengawasan (monitoring cost) merupakan biaya untuk mengawasi perilaku agent apakah agent telah bertindak sesuai kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer. Uraian tersebut di atas memberi makna bahwa auditor merupakan pihak yang dianggap dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal) dengan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan.

Audit dalam Perspektif Islam

Auditing berfungsi untuk memeriksa/menyaksikan kewajaran (kebenaran) suatu laporan yang disajikan oleh manajemen sehingga bisa diyakini oleh pembaca umum yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.[6]

Rasulullah SAW. sebagai role model bagi umat Islam dikenal dengan sebutan al-amin, yang berarti selalu dapat dipercaya. Gelar ini diperoleh Muhammad sejak masih usia belia. Dalam kesehariannya Muhammad belum pernah berbohong dan merugikan orang-orang di sekitarnya. Gelar al-amin ini tentu tidak muncul jika nabi tidak memiliki sifat-sifat berikut ini,[7]

  • Shiddiq, yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu jujur dalam perkataan dan perilakunya dan mustahil akan berbuat yang sebaliknya, yakni berdusta, munafik, dan yang semisalnya.
  • Fathanah, yang berarti cerdas atau pandai. Semua nabi dan rasul cerdas dan selalu mampu berfikir jernih sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya.
  • Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam kata dan perbuatannya. Nabi dan rasul selalu amanah dalam segala tindakannya, seperti menghakimi, memutuskan perkara, menerima dan menyampaikan wahyu, serta mustahil akan berperilaku yang sebaliknya.
  • Tabligh, yang berarti menyampaikan. Nabi dan rasul selalu menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia dan mustahil nabi dan rasul menyembunyikan wahyu yang diterimanya.

Keempat sifat Rasul SAW. ini merupakan uswah hasanah (contoh yang baik) dan modal yang paling penting dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam kegiatan berekonomi. Keempat sifat tersebut tidak akan tumbuh dengan baik apabila dalam diri manusia tidak terdapat keyakinan bahwa Allah maha mengawasi. Hal ini dikarenakan seluruh aktivitas manusia sejatinya berada dalam pengawasan dan penilaian dari Allah SWT. Allah telah memerintahkan seluruh umatnya untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, karena pengawas dan penilai yang paling pertama dan utama adalah Allah SWT sendiri. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. At-Taubah ; 105,

Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Laporan keuangan yang disajikan perusahaan diperiksa oleh auditor untuk mendapatkan bukti sejauh mana kewajaran, atau kesesuaiannya dengan bukti yang dimiliki oleh perusahaan. Hasil audit ini adalah dalam bentuk penyaksian yang akan dituangkan dalam bentuk laporan audit.

Fungsi audit didasarkan pada kehati-hatian terhadap kemungkinan laporan yang disajikan oleh agen mengandung informasi yang tidak benar yang dapat merugikan pihak lain yang tidak memiliki kemampuan akses terhadap sumber informasi. Dalam Islam fungsi ini disebut “tabayyun” atau mengecek kebenaran berita yang disampaikan dari sumber yang kurang dipercaya.

Fungsi audit juga didasarkan kepada keinginan mendapatkan informasi yang lebih dipercaya, karena informasi keuangan ini dinilai sangat penting dan besar dampaknya jika mengandung kesalahan maka diperlukan upaya dari pihak ketiga yang independen untuk “mengecek ulang”, meyakinkan bukan saja kebenarannya tetapi juga penyampaian, isi, bentuk dan kecukupan informasi yang disajikan.

Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang tercantu dalam Q.S Al-Hujurat: 6 berikut,

Artinya; Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Oleh karena itu baik manajemen sebagai agen bagi prinsipal, stakeholder maupun auditor sebagai pelaksanaan peengawasan perusahaan harus selalu ingat bahwa masing-masing akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya di hadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri.

 

[1] Michael C. Jensen and Clifford W. Smith, Jr., The Modern Theory of Corporate Finance, Editors, (New York: McGraw-Hill Inc., 1984) pp. 2-20.

[2] Eisenhardt, Kathleen M., Agency Theory: An Assessment and Review The Academy of Management Review Vol. 14, No. 1 (Jan., 1989), pp. 57-74

[3] Maharani, Bunga, Pergantian Auditor: Pengujian Teori Yang Menghubungkan Biaya Agensi Dengan Diferensiasi Kualitas Auditor  (Studi pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia), Thesis Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010.

[4] Ibid., hlm. 7.

[5] Hariani, Diana, Faktor-Faktor Pemengaruh Audit Report Lag (Studi Empiris Pada Perusahaan-Perusahaan Di Bursa Efek Indonesia), Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 2014, hlm. 18

[6] Harahap, Sofyan S, Auditing dalam Perspektif Islam, Jakarta : Pustaka Quantum, 2002, hlm. 1

[7] Marzuki, Meneladani Nabi Muhammad Saw. Dalam Kehidupan Sehari-Hari, Jurnal Humanika Vol. 8 No. 1, Maret 2008, Hal. 75-87.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun