Mohon tunggu...
Nirwana Hidayati
Nirwana Hidayati Mohon Tunggu... Freelancer - nulis salah satu katarsis

Social Walker at Swara Nusa Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modernisasi Tanpa Nilai

28 Februari 2019   20:40 Diperbarui: 28 Februari 2019   20:59 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Modernisasi Tanpa Nilai

Oleh; Nirwana Hidayati

Teori modernisasi menjelaskan tentang proses transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, baik secara sosial, budaya ataupun ekonomi. Everett M. Rogers dalam " Modernization Among Peasants; the 10 impact of comunication" menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologi serta cepat berubah. 

Dan menurut Cryil E. Black dalam " Dinamic of Modernization" berpendapat bahwa secara historis modernisasi adalah proses perkembangan lembaga-lembaga secara perlahan disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat dan menimbulkan peningkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia. Dan menurut Lerner dalam : The Passing of Traditional Society; Modernizing the Middle East" menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu tren unilateral yang sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional menjadi partsipan.

Dari pernyataan beberapa pakar modernisasi diatas, untuk kontek masyarakat Indonesia sebagai negara berkembang dan terdapat banyak suku dan masyarakat tradisionalnya. Indonesia juga mempunyai banyak wilayah pinggiran baik perkotaan dan kota-kota metropolisnya, juga masyarakat pinggiran di daerah Indonesia yang pada umumnya adalah masyarakat agraris ada nelayan dan petani didalamnya. Selain masyarakat agraris juga ada masyarakat pekerja yang tinggal dipinggiran perkotaan baik kota mtropolitan ataupun kota-kota yang ada diwilayah Indonesia. 

Ada lagi kelompok intelektual dan akademisi yang pada umumnya tinggal di perkotaan, kelompok ini mampu menjadi penyeimbang dalam hal pendidikan baik  dimasyarakat ataupun para kelas menengah ke atas di Indonesia melalui transformasi ilmu pengetahuan. Yang pada dasarnya sebagian dari mereka juga berangkat dari masyarakat agraris yang ingin meningkatkan kapasitas diri dan konon katanya kalau sekolah apalagi sampai perguruan tinggi bisa merubah nasib (petuah para tetua kampung). 

Masyarakat Indonesia yang urban baik dari desa ke kota kabupaten dan kota besar dan atau ke kota metropolitan sekalipun, sesuai dengan aktifitas dan profesi meraka masing-masing. 

Dari situ ada perubahan baik secara sosial ataupun individu, perubahan ini merupakan perubahan cultural dari masyarakat agraris menuju masyarakat modern, perubahan dari masyarakat penuh norma dan nilai hidup menjadi masyarakat yang hanya mengikuti tren saja. 

Sebagai negara berkembang hal ini sering terjadi, karena adanya suatu perubahan secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dari pergeseran perubahan tersebut maka terjadi proses modernisasi pada masyarakat negara berkembang.

Perubahan yang terjadi pada masyarakat berkembang secara ekonomi, sosial, politik dan budaya ditandai dengan begesernya nilai-nilai dan norma-norma sudah ada di masyarakat yang notabennya adalah masyarakat agraris. Para petani dan nelayan  yang tidak ingin menjadikan anak cucunya menjadi petani, dengan doktrin kemiskinan yang menghantui mereka. 

Misal; " nak menjadi petani itu miskin terus, menjadi seorang nelayan itu miskin terus seperti kita, pergilah ke sekolah agar bisa merubah nasibmu dan tidak menjadi miskin seperti kita". dapat kita maknai bahwa pernyataan tersebut tidak menyatakan kalau menjadi petani dan nelayan itu akan miskin terus, namun ada hal yang kita luruskan yaitu; "pergilah ke sekolah agar kau tidak menjadi yang miskin pengetahuan dan bisa dibodohi oleh para tokay atau para tengkulak dikampung kita, dan sekolah pertanian yang mampu menciptakan inovasi didunia pertanian". 

Kemudian yang terjadi cara berfikir secara instan juga bermunculan, sehingga yang muncul adalah cros cut pemikiran untuk cepat mendapatkan hasil tanpa proses. Tidak lagi memaknai filosofi masyarakat agraris yang sebenarnya ingin maju dengan proses yaitu melalui pendidikan, pengetahuan dan pengalaman untuk mencapai hasil atau tujuan akhir. 

Cros cut yang dilakukan yaitu pendidikan sebagai salah satu cara untuk mencari kerja bukan memperbaiki keadaan dilingkungan masyarakat agraris (petani dan nelayan). Sampai akhirnya industrialisasi menjadi jawaban, pendidikan diciptakan untuk menjadi masyarakat pekerja. Tidak ada setelah lulus sekolah kembali ke desa untuk memperbaiki keaadaan dalam dunia agraris untuk mencipatakan inovasi baru.

Yang lebih ironis lagi adalah kemajuan teknologi membawa ke arah transisional dari masyarakat tradisional ke masyarakat moderen. Tradisionalisme akan tergeser dengan kemajuan teknologi, tidak ada lagi undangan yang disampaikan secara langsung dari rumah-ke rumah melainkan cukup melalui grup WA. Tayangan-tayangan sinetron televisi juga terkadang membawa ke arah negatif, banyak kaum perempuan yang meniru model pakaian yang dikenakan para artis. 

Sebagai masayarakat pinggiran misal; kelompok perempuan yang beraktifitas sebagai ibu ramah tangga dan masuk dalam kelompok rumpiyer, ketika mereka berkumpul hanya akan membicarakan sinetron tadi malam yang tayang dan model bajunya bagus sepertinya sudah ada di online shop. Tidak lagi mereka membicarakan harga kebutuhan pokok, kapan ada rewangan tetangga yang punya hajat, kapan ada gotong royong yang melibatkan perempuan, bagaimana tumbuh kembang anak mereka. 

Sudah jarang kita jumpai lagi para perempuan dimasyarakat pinggiran berbicara tentang hal tersebut, tetapi mereka mengaku sebagai kelompok perempuan moderen dengan gaya fashionable, dengan gadget terbaru, dengan pruduk kecantikannya, dengan online shop. Ironis sekali bukan, kalau para perempuan memaknai moderen dengan sangat cethek seperti itu dan itulah yang disebut sebagai partisipan modernisasi yang sangat mudah dipengaruhi oleh keinginan.

Tetapi tidak semua luntur dan mengikuti arus modernisasi yang hanya sebagai partisipan tersebut, namun ada juga yang bijak menyambut modernisasi dengan menerima kemajuan teknoligi sebagai alat informasi untuk memajukan desa, untuk transformasi pengetahuan dan ilmu, untuk berkomunikasi, online shop untuk menjual hasil karya atau produk mereka. 

Kalau kita mengikuti pertemuan yang diselenggarakan desa masih kita jumpai beberapa perempuan sebagai partisipan pertemuan, tak jarang dari mereka berani berbicara dipertemuan pertama. 

Mereka akan menjadi peserta aktif ketika sudah beberapa kali pertemuan. Keberanian untuk berbicara didepan umum perlu didpupuk untuk golongan perempuan yang masih aktif berpartisipasi di desa dan bijak memaknai modernisasi. Mereka juga ibu rumah tangga yang sebagian bergantung pada suami mereka. 

Tetapi mereka menjadi ibu rumah tangga adalah pilah untuk tidak mau kehilangan masa emas anaknya, mereka mau melihat dan menangani sendiri untuk tumbuh kembang anakanya. Tetapi mereka ini juga tidak buta informasi, mereka menggunakan gadjet untuk membuka informasi tentang tumbuh kembang anak, bermedsos untuk berkomunikasi dengan teman-temannya dan membaca berita. 

Dan mereka juga menjaga nilai gotong royong di desa sebagai sarana untuk bersolidaritas dan bersilaturrahmi. Dan perekembangan teknologi membuat mereka melek informasi bahkan melek politik seperti yang terjadi saat ini banyak kampanye melalui medsos, bahakan mereka juga ngerti kualitas para calon anggota legislatif mana yang cerdas, mana yang punya visi berpihak pada rakyat dan kaum perempuan, mereka juga mengikuti debat capres dengan komentar yang cukup bagus kenapa mereka harus menjatuhkan pilihannya pada satu capres. Moderen bukan?

Nah masyarakat agraris yang masih menjaga norma dan nilai tradisional yang saya ilustrasikan pada perempuan itu, sebagai perempuan pinggiran yang menjunjung tinggi norma dan nilai tradisional tetapi mempunyai pemikiran untuk maju dengan perkembangan zaman tidak menjadi partisipan modernisasi. 

Perempuan pinggiran seperti ini wajib diapresiasi dengan diberi pengetahuan untuk menjadi perempuan moderen yang mandiri, kuat, tangguh dan melek teknologi sebagai sarana mereka untuk berkembang. Dengan demikian kita tetap menjaga keutuhan masyarakat agraris yang ada ditengah gelombang modernisasi, yang mana modernisasi tumbuh tanpa harus menghilangkan nilai dan norma tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun