Aku generasi X. Aku terlahir di tahun 70-an. Lahir di sebuah kampung yang masih jauh dari hiruk pikuk kemajuan teknologi. Jangankan alat komunikasi seperti saat ini, intalasi listrik saja belum terpasang. Â Suasana alam yang masih asri dan bebas dari polusi, telah mampu membentuk pribadi yang lugu dan polos. Masa-masa pendidikanku dilalui di tempat pendidikan yang serba sederhana.Â
Kalaupun lahir di kampung dari keluarga petani pada tahun 1990, aku berkesempatan masuk sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Sukamanah Tasikmalaya, sebuah lembaga pendidikan yang menjadi harapan semua orang yang ingin menjadi PNS. Di lembaga ini aku sudah banyak mengenal dunia pendidikan dan pembelajaran, terutama pendidikan sekolah dasar. Mulai dari mengenal siapa anak sekolah dasar., bagaimana ilmu mendidik (pedagogik), bagaimana membuat perencanaan pembelajaran, sampai pada bagaimana prakateknya. Sejak itu lah jiwa keguruan terbentuk. Pengetahuan dan keterampilan sebagai calon guru agama di SD yang diterima di PGAN waktu itu, fokus bagaimana lulusannya mampu mendidik dan mengajar anak pada zamannya.Â
Selepas lulus PGAN (1991), aku berkesempatan melanjutkan kuliah strata satu di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Tasikamalaya Jurusan Pendidikan Agama Islam. Sebagai calon guru agama dan sarjana pendidikan Islam. Di perguruan tinggi ini Aku dibekali berbagai ilmu, pengetahuan, dan keterampilan bagaimana menjadi guru yang profesional di zamanya.
Tahun 2009 lulus menjadi magister pendidikan dari Pascasarjana Universitas Pendidikan (UPI) Bandung Prodi Pendidikan Dasar. UPI merupakan salah satu perguruan tinggi yang bertuags melahirkan calon-calon pendidik yang sarat dengan berbagai keterampilan. Â Lulus dari UPI aku mengabdikan diri menjadi dosen tetap Program Studi Pendidikan Guru Madarsah Ibtidaiyah (PGMI) Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Tasikamalaya. Sebagai bagian dari fakulatas Tarbiyah, Prodi PGMI pun bertugas melahirkan calon guru SD/MI yang professional.
Puji syukur tahun 2017 aku pun berkesempatan masuk di Pascasarjana Universitas Pendidikan Bandung kembali dengan Prodi Pendidikan Dasar yang sama juga. Berbekal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di bangku kuliah, sejatinya saya belum dosen jadi, namun baru menjadi dosen. ''Menjadi'' dosen ya ''Menjadi'' dosen, bukan dosen ''Jadi''.
Kata ''Menjadi'' memiliki berbagai makna. Dalam Kamus    Besar Bahasa Indonesia kata ''Menjadi'' bermakna, menjelma sebagai; orang itu dapat mengubah dirinya. Itu artinya guru harus mampu menjelma sebagai guru yang didambakan mahasiswanya. Dosen juga harus mampu mengubah dirinya menjadi dosen "jadi''. Sedangkan kata "'Jadi'' bermakna sudah selesai dibuat; siap pakai. Kalau kata "'Jadi" disandingkan dengan dosen, maka sejatinya dosen harus sudah siap pakai karena dosen sudah dididik di perkuliahan melalui sejumlah mata kuliah.
''Menjadi'' dosen di zaman milenial tentu tidak semudah menjadi dosen di zaman sebelumnya. Dosen di zaman milenial dituntut mampu berdaptasi dengan perilaku dan sikap mahasiswa di zamannya. Saya teringat pesan rasulullah SAW, ''didiklah anak-anakmu sesuai zamannya". Hal ini diperkuat Kalil Gibran, ''karena anak bukan anakmu, anak adalah kehidupan''.
Periodisasi Generasi
Dalam Generation Thoery (teori generasi) dikenal pembagian generasi yaitu generasi X, Y dan Z. Generasi pertama adalah generasi senior, generasi di awal-awal perjuangan bangsa Indonesia. Mereka para pejuang dan generasi paling tua. Mereka merasakan pahit manisnya perjuangan kehidupan dengan keterbatasan fasilitas di zaman itu. Kedua generasi generasi Baby Boomers (1946-1964), generasi yang lahir setelah perang dunia ke dua. Pada era ini nilai persatuan dan nilai patriotisme tumbuh mengakar dalam dirinya. Di era ini pun telah terjadi pergeseran nilai dengan booming-nya aliran musik rock and roll (Elvis Presley). Meraka juga sudah mengenal media elektronik bahkan generasi ini mulai mempersatukan pemilik ras yang sama.
Generasi ke tiga adalah generasi X (1965-1976). Generasi ini jumlahnya 17 % dari total populasi manusia. Generasi ini telah mampu survive dibanding dua generasi seniornya. Generasi ini mengusung ikon Me. Karenanya mulai bermuculan benih-benih individualisme. Di zaman ini pun muncul perang imajinasi dan kreativitas dalam berbagai bidang. Hambatanya adalah sikap individualis yang merajalela sehingga melahirkan ketimpangan yang merasuki hati dan pikiran mereka.