Anak adalah titipan Allah Swt. yang telah dibekali dengan berbagi potensi. Tugas orang tua, guru, dan lingkungan adalah menyediakan lingkungan yang mampu memfasilitasi semua potensi anak agar dapat berkembang secara maksimal. Namun, tidak setiap orang tua, dan lingkungan mampu menyediakan berbagai fasilitas, karenanya sekolah memiliki peran penting pengganti orang tua dan masyarakat.
Banyak harapan peserta didik dan orang tua yang dibebankan kepada sekolah untuk dapat mewujudkan cita-citanya. Melalui sekolah, peserta didik berharap cita-cita mereka dapat terwujud. Orang tua berharap, sekolah mampu mendidik anaknya supaya menjadi manusia yang berakhlak mulia, cerdas, dan terampil, sebab peserta didik berhak untuk memperoleh peluang mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan (Yusuf, 2010 : 169).
Namun dalam realitasnya, belum setiap anak atau peserta didik memperoleh peluang yang sama. Banyak faktor yang menyebabkan hilangnya peluang dimaksud antara lain; terdapatnya perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing anak, baik pada aspek fisik, intelegensi, sosial, emosi, perilaku, Â maupun peluang memperoleh kesempatan pendidikan.
Dalam proses belajar mengajar misalnya, guru sering menemukan peserta didik atau anak yang berperilaku tidak adaftif (tidak diterima oleh lingkungan). Ada anak yang suka berkelahi, memukul orang, menyerang orang lain, pemarah, dan lain sebagainya. Â Sejatinya setiap guru harus memiliki kompetensi bagaimana menangani perilaku anak yang tidak adaptif tersebut.
Modifikasi Perilaku Sebuah Alternatif
Modifikasi prilaku (Edi Purwanta, 2012) merupakan teknik mengubah perilaku yang dianggap paling populer di lingkungan pendidik. Teori ini memiliki dua tujuan; mendukung dan mempromosikan perilaku-perilaku anak yang adaptif (perilaku yang diterima oleh lingkungan) dan modifikasi perilaku untuk meniadakan munculnya perilaku anak yang tidak adaftif (tidak diterima lingkungan). Â Â
Dari sekian teknik yang dapat digunakan untuk memodifikasi perilaku adalah teknik tabungan keping (Token Economic). Teknik ini digunakan dengan cara pemberian satu keping (tanda, isyarat) sesegera mungkin setiap kali setelah perilaku-sasaran muncul. Kepingan-kepingan tersebut nantinya dapat ditukar dengan benda atau aktivitas pengukuh lain (pengukuh idaman) yang diinginkan subjek.
Contoh kasus di kelas; Â Sebut saja Si A terbiasa memukul teman, tanpa alasan yang jelas dia selalu memukul orang dan dilakukan setiap hari. Pada sisi lain si A juga hoby main komputer di sekolah, nyaris tidak waktu istirahat yang terbuang untuk main komputer. Setiap hari si A masuk ke ruang komputer untuk bermain. Dalam situasi ini, guru menemukan dua prilaku yang berlawan, ada perilaku tidak adaftif (memukul orang) disatu pihak dan perilaku adaftif (bermain komputer) dipihak lain. Guru dapat mencoba menerapkan teknik tabungan keping (Token Economic) ini.
Langkah yang bisa dilakukan guru adalah guru membuat aturan yang jelas dan disepakti oleh anak, misalanya untuk  bisa main komputer di sekolah, setiap anak  harus memiliki koin sebanyak 4 keping koin selama 4 hari. Setiap 1 keping koin dapat ditukarkan dengan 1 surat ijin main komputer yang disimpan di bagian laboratorium komputer.
Kalau dalam satu hari si A tidak memukul orang, maka dia memperoleh 1 keping koin untuk ditukarkan menjadi 1 surat ijin, begitu seterusnya sampai si A memperoleh 4 keping koin yang ditukarkan dengan 4 surat ijin. Kalau sudah memperoleh 4 surat ijin, guru harus segera mengijinkan si A untuk menggunakan komputer di sekolah.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan guru dalam menerapkan teknik ini, yaitu (a) lingkungan terkontrol, (b) sasaran perilaku yang spesifik, (c) tujuan dapat terukur, (d) jenis keingian jelas, (e) kepingan berfungsi sebagai hadiah, (f) sesuai dengan prilaku yang diinginkan, dan (g) mempunyai makna pengukuhan. Kalau teknik ini dilakukan dengan baik, konsisnten, Â dan sabar, maka lama kelamaan anak yang suka memukul orang akan berhenti, inilah hakikat dari modifikasi perilaku.
Guru dapat melakukan berbagai teknik dan cara untuk meniadakan perilaku yang tidak adaftif dengan teknik dan cara yang lebih humanis. Menggunakan teknik dan cara yang tidak humanis apalagi kasar sangat bertentangan dengan  hakikat pendidikan itu sendiri (bersifat humanisasi). Pendidikan adalah proses memanusia manusia menjadi "manusia". Melalui pendidikan, manusia akan memiliki nilai dan sifat kemanusiaan  yang telah digariskan oleh sang pencipta, Allah Swt.  Dan dengan nilai-nilai kemanusaia inilah manusia dapat hidup bersama manusia pula. Selamat mencoba, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H