Mohon tunggu...
Nana Podungge
Nana Podungge Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang blogger b2wer teacher

Selanjutnya

Tutup

Healthy

S U N A T

15 Juni 2012   04:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUNAT

Beberapa saat lalu saya membahas tentang ‘sunat’ di kelas Religious Studies. Untuk materi diskusi, saya mendownload dari http://www.bbc.co.uk/ethics/ Dengan sengaja saya memilih topik ini untuk memperkenalkan ide ‘sunat perempuan’ atau mutilasi genital perempuan kepada para siswa. Dan seperti yang saya perkirakan, anak-anak belum pernah tahu bahwa sunat perempuan, praktek yang mengerikan ini, telah menjadi suatu tradisi di beberapa suku bangsa di dunia.

SUNAT LAKI-LAKI

Memulai diskusi, kita berbincang tentang sunat laki-laki. Salah satu siswa laki-laki yang satu tahun lalu kembali pindah ke Indonesia – setelah tinggal di Amerika selama tujuh tahun – bercerita bahwa dia dan kakak laki-lakinya disunat setelah mereka kembali ke Indonesia. dia berusia sekitar 18 tahun, dengan alasan orangtuanya meyakinkannya bahwa sunat itu untuk kesehatannya sendiri. Dia percaya omongan orangtuanya bahwa penis yang disunat lebih higienis. Setelah disunat, dia sendiri merasa bahwa lebih mudah baginya untuk membersihkan penisnya daripada sebelumnya.

Seorang siswa laki-laki yang lain mengatakan bahwa dia tidak disunat karena ibunya tidak pernah berbincang tentang hal ini dengannya. Dia yakin jika memang sunat ini bagus untuk kesehatannya, ibunya tente telah mengajaknya berbincang tentang hal ini dan menawarinya apakah dia ingin disunat atau tidak. Statistik yang diberikan dalam artikel yang kita bahas di kelas – hanya sekitar 30% laki-laki di seluruh dunia disunat – menunjukkan bahwa memang sebenarnya sunat tidak begitu diperlukan, karena 70% laki-laki yang tidak disunat hidup baik-baik saja.

Dua siswa perempuan berbagi kisah tentang pengalaman kakak laki-laki mereka ketika disunat. Mereka bercerita bahwa sebelum disunat kakak laki-laki mereka telah membahas hal tersebut terlebih dahulu dengan orangtua, terutama ayah: sunat itu penting untuk kesehatan. Selain itu juga karena mereka percaya sunat itu wajib karena merupakan keharusan dalam agama.


Akan tetapi, ketika tahu bahwa hanya Genesis – atau kitab Kejadian Lama – yang memuat keharusan sunat dan bukan di kitab Kejadian Baru juga tidak di Alquran, anak-anak mulai berpikir bahwa sunat dilakukan di banyak daerah di belahan bumi ini dikarenakan alasan tradisi kebudayaan dan bukan karena instruksi agama.

SUNAT PEREMPUAN

Seperti yang tertulis di atas, benarlah bahwa para siswa di kelas saya belum pernah mendengar kisah tentang sunat perempuan sehingga mereka belum pernah menyadari keberadaan praktik berdarah yang tidak manusiawi ini. Orangtua mereka tidak pernah bercerita tentang hal ini. Mereka juga belum pernah mendengar hal ini dari orang lain. Karena dalam kitab Genesis /Kejadian Lama hanya berkisah tentang sunat untuk laki-laki – dan tak satu pun ayat dalam Kejeadian Baru maupun Alquran menyebut tentang sunat perempuan – kita menyimpulkan bahwa sunat perempuan --- atau mutilasi genital perempuan – dikarenakan oleh tradisi budaya tempat-tempat tertentu. Bukan merupakan tradisi keagamaan. (Paling tidak jika kita melihatnya dari sudut pandang ketiga agama Ibrahimi.)

“Mengapa disebutkan bahwa sunat perempuan itu sangat menyakitkan sedangkan sunat laki-laki tidak? Atau paling tidak tidak disebut begitu menyakitkan?” tanya seorang siswa ketika artikel yang kita bahas bersama menyebutkan bahwa sunat perempuan merupakan prosedur yang menyakitkan.

Sunat perempuan menyakitkan mungkin karena sebenarnya pada alat kelamin perempuan tak ada satu titik pun yang perlu dipotong, untuk alasan apa pun – misal untuk alasan higienis. Maka, jika tak ada alasan higienis atau pun keagamaan, mengapa masih banyak orang melakukannya?

Pemotongan alat kelamin ini dikenal secara meluas di budaya dan suku-suku bangsa Afrika. Pemotongan ini dianggap sebagai klimaks inisiasi, suatu proses penting yang harus dijalani baik oleh anak laki-laki maupun perempuan sebelum mereka dianggap dewasa di dalam komunitas mereka. Menurut mereka yang mendukung praktik ini, proses pemotongan alat kelamin perempuan memiliki keuntungan praktis dalam masyarakat yang harus hidup secara keras. Keberanian menghadapi pemotongan alat kelamin ini menunjukkan bahwa seorang perempuan terbukti kuat secara mental dan akan sanggup menghadapi segala tanggungjawab yang harus ditanggung oleh seorang perempuan dewasa. Meskipun begitu, wakil dari banyak negara di Afrika setiap tahun berkumpul setiap tahun untuk berdiskusi dan mencari jalan untuk menghentikan praktik yang tidak manusiawi ini karena mutilasi alat kelamin perempuan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dewasa maupun anak-anak. “Mutilasi ini merupakan prosedur yang sangat berbahaya dan tak mungkin bisa ditarik kembali dimana prosesnya berdampak negatif terhadap kesehatan, kemampuan mengandung, dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan,” kata Carol Bellamy, direktur eksekutif UNICEF pada tanggal 7 Februari 2005, hari tanpa toleransi terhadap mutilasi alat kelamin perempuan yang diperingati secara internasional.


Perempuan-perempuan di negara Afrika menjalani mutilasi alat kelamin biasanya pada usia yang masih sangat muda – sekitar enam tahun – sehingga hal ini berarti keputusan untuk menjalaninya ada pada orangtua mereka, dan bukan keputusan mereka sendiri. Para orangtua tersebut mungkin saja mengambil keputusan itu dikarena tekanan sosial dan anak-anak perempuan mereka tak bisa mengatakan “JANGAN’ terhadap orangtua meski di kemudian hari anak-anak itulah yang akan mendapatkan dampak negatif yang disebabkan oleh pemotongan alat kelamin mereka tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun