Nuklir memang masih mengesankan hal yang menakutkan bagi sebagian kalangan. Namun masyarakat awam mungkin pernah merasakan sinar-X atau yang lebih dikenal sebagai pesawat Ronsen (Roengent) di klinik atau unit radiologi rumah sakit. Pesawat sinar-X sesungguhnya merupakan salah atau aplikasi tenaga nuklir yang dimanfaatkan untuk kegiatan medis. Ternyata nuklir sudah hadir nyata dalam kehidupan masyarakat.
Energi nuklir merupakan bentuk energi yang dilepaskan dari proses transformasi inti atom yang tidak stabil. Rentang energi yang dihasilkan mulai dari energi sangat rendah hingga energi super dahsyat sebagaimana bom nuklir. Apakah energi nuklir berbahaya? Lalu bagaimana memastikan keselamatan penggunaannya?
Di dalam penerapan tenaga nuklir terdapat beberapa prinsip atau asas dalam penggunaannya. Prinsip tersebut meliputi justifikasi, limitasi dan optimisasi. Dengan prinsip justifikasi, dipastikan bahwa penggunaan energi nuklir harus lebih besar manfaatnya daripada risiko yang ditimbulkan, baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Dalam prinsip limitasi, penggunaan energi nuklir tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis (NBD) untuk pekerja radiasi, anggota masyarakat ataupun lingkungan hidup sekitar. Adapun prinsip optimisasi merupakan penggunaan dosis radiasi secara optimal sehingga peluang terjadinya efek stokastik ditekan serendah mungkin. Efek stokastik merupakan efek probabilistik yang ditimbulkan oleh radiasi sekecil apapun jika radiasi tersebut mengenai sel makhluk hidup. Selanjutnya siapa dan bagaimana ketiga prinsip tersebut dipastikan penerapannya?
Dalam pemanfaatan tenaga nuklir harus dipenuhi persyaratan-persyaratan dan standar keselamatan untuk memastikan tercapainya keselamatan dan keamanan terhadap pekerja radiasi, masyarakat, maupun kelestarian lingkungan hidup. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dibentuklah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap semua pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia. Pengawasan oleh Bapeten dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang-undangan, penyelenggaraan sistem perizinan, dan pelaksanaan inspeksi, serta penegakan hukum.
Pemanfaatan tenaga atom atau tenaga nuklir, khususnya untuk kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa sudah berlangsung lebih dari 50 tahun semenjak terbentuknya Lembaga Tenaga Atom yang berubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) pada 5 Desember 1958. Melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom, disebutkan bahwa Batan selain sebagai badan pelaksana kegiatan litbangyasa dan promosi tenaga atom, juga memiliki kewenangan sebagai pengawas tertinggi terhadap semua kegiatan pemanfaatan tenaga atom. Sebagai unit kerja pelaksana pengawasan dibentuklah Biro Pengawasan Radiasi dan Zat Radioaktif di bawah Kedeputian Aplikasi dan Jasa Ilmiah, Batan. Unit kerja ini terakhir bernama Biro Pengawasan Tenaga Atom (BPTA).
Kejadian kecelakaan Three Mile Island di Amerika Serikat pada tahun 1979 telah membuktikan bahwa instalasi nuklir telah didesain dengan tingkat keselamatan yang sangat tinggi. Meskipun dalam kecelakaan tersebut hanya terdapat 12 pekerja yang mendapatkan radiasi seketika yang cukup besar, namun masih dalam kisaran 0,6NBD. Kejadian tersebut justru memacu dunia nuklir untuk semakin meningkatkan derajat keselamatannya, terutama dengan penerapan desain keselamatan pasif. Dalam desain keselamatan pasif, sebuah instalasi nuklir akan berhenti beroperasi apabila terjadi insiden ataupun kecelakaan, dan secara otomatis sistem penanggulangannya akan diaktifkan.
Kejadian kecelakaan Reaktor Chernobyl di Ukraina pada 26 April 1986 memberikan pelajaran berharga bahwa di samping persyaratan teknis keselamatan yang harus dipenuhi, pengawasan instalasi nuklir juga harus dilakukan oleh sebuah badan yang memiliki independensi yang tinggi. Hal inilah yang tidak ada di banyak Negara Eropa Timur pada waktu itu. Maka International Atomic Energy Agency (IAEA) kemudian menggagas Convention on Nuclear Safety pada pertengahan Juni 1994. Salah satu isi pokok konvensi tersebut adalah bahwa setiap Negara pihak harus mendirikan atau menunjuk lembaga pengawasan dengan meyakinkan terjadinya pemisahan yang efektif antara lembaga pengawasan dengan lembaga atau organisasi lain yang mempromosikan atau memanfaatkan tenaga nuklir.
Pertumbuhan kebutuhan energi nasional yang sangat pesat menjadikan penerapan teknologi nuklir dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menjadi salah satu alternatif pemasok energi. Keberadaan tenaga nuklir yang selain memiliki manfaat yang besar namun juga disertai risiko bahaya radiasi jika pemanfaatannya tidak memenuhi standar keselamatan, harus diawasi secara ketat oleh lembaga pengawas yang independen. Maka bergulirlah wacana untuk mengamandemen UU No. 31 Tahun 1964 di atas yang menempatkan Batan sebagai lembaga litbangyasa, promosi, sekaligus pengawas tenaga nuklir. Wacana tersebut kemudian terwujud dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenganukliran yang ditandatangi Presiden Soeharto pada 10 April 1997.
Melalui Pasal 4 Undang-undang Ketenaganukliran, dibentuklah Badan Pengawas Tenaga Nuklir yang disingkat Bapeten. Lembaga ini dibentuk dengan mengembangkan dan memisahkan BPTA - Batan menjadi sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Keppres No. 76 Tahun 1998. Bapeten memiliki kewenangan melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir di tanah air melalui penyelenggaraan peraturan, perizinan, dan inspeksi.
Tujuan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir diantaranya untuk a)terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman masyarakat, b)menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup, c)memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir, d)meningkatkan kesadaran hukum pengguna dan mewujudkan budaya keselamatan, e)mencegah terjadinya tujuan pemanfaatan tenaga nuklir, dan f)menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas dalam pemanfaatan tenaga nuklir.
Menjelang HUT ke-15 Bapeten pada 8 Mei 2013 ini, data izin pemanfaatan tenaga nuklir yang telah dikeluarkan dalam rentang waktu 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 4.756 izin per tahun. [data B@LIs). Kini Bapeten yang sempat mendapat julukan “Balita Ajaib” yang mampu bergerak cepat sudah memasuki usia remaja yang tengah serius mencari identitas diri. Maka Bapeten harus memperkuat dan mempertajam visi misinya dan mewujudkannya dengan kesungguhan jiwa dan raga dalam rangka menyongsong tantangan pemanfaatan tenaga nuklir yang lebih kompleks di masa yang akan datang. Dirgahayu Bapeten, rakyat senantiasa menunggu bakti dan karya nyatamu!