Gejolak ekonomi pasca pandemi masih dirasakan oleh dunia, inflasi yang sulit dikendalikan menjadi tantangan baru perekonomian dunia. Sebagai dampak dari tingginya inflasi, suku bunga mau tidak mau harus di sesuaikan agar dapat menekan inflasi. Tanggal 13 Juni 2024 Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25-5,50% (CNBC, 2024). Kenaikan suku bunga oleh The Fed merupakan tindakan represif untuk menjaga perekonomian Amerika agar tidak jatuh. Amerika sebagai pusat ekonomi dunia secara langsung mempengaruhi dinamika global. Kenaikan suku bunga The Fed akan diikuti oleh naiknya suku bunga di berbagai negara.Â
Kenaikan suku bunga Amerika selalu dibarengi dengan penguatan dolar AS hal ini karena adanya capital outflow dari berbagai negara khususnya negara berkembang dan menjadi capital inflow bagi Amerika, begitu juga dengan Indonesia. Dampak bagi Indonesia sangat terasa, hal ini karena capital outflow menjadikan nilai tukar mengalami depresiasi dan menimbulkan risiko pada neraca konsolidasi pemerintah khususnya utang dan aset valas. Risiko fluktuasi nilai tukar terhadap aset dan kewajiban pemerintah dalam mata uang asing disebut juga dengan eksposur valas. Menguatnya dolar Amerika berpotensi pada meningkat atau menurunkan nilai aset dan kewajiban pemerintah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi stabilitas fiskal dan keseimbangan neraca.Â
Selama lima tahun aset dan kewajiban valas Indonesia mengalami eksposur risiko nilai tukar, salah satu penyebabnya adalah utang valas yang lebih tinggi dibandingkan dengan aset valas yang dimiliki. Tahun 2022 utang valas secara keseluruhan naik sebesar 2,26% menjadi USD267,9 miliar namun kepemilikan aset mengalami penurunan sebesar 0,15% menjadi USD222,23. Menjadikan terjadinya eksposur valas sebesar 15,86% atau senilai USD45,68 miliar (Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, 2023).Â
Sebelum masuk ke bagaimana pengelolaan eksposur valas perlu diketahui bahwa kenaikan suku bunga The Fed memiliki beberapa dampak terhadap neraca pemerintah baik langsung maupun tidak langsung diantaranya  adalah, Pertama, ketika terjadi kenaikan suku bunga hal ini akan meningkatkan biaya peminjaman. Kenaikan biaya pinjaman khususnya dalam dolar diakibatkan oleh ketika suku bunga the fed naik maka akan terjadi capital outflow karena investor asing lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di Amerika sehingga menyebabkan depresiasi nilai tukar terhadap dolar, kemudian dalam melakukan pinjaman khususnya dalam bentuk obligasi pemerintah perlu menawarkan kupon yang lebih tinggi agar investor tertarik, yang selanjutnya akan meningkatkan biaya penerbitan utang (Kompasiana, 2023)
Kedua, berdampak pada dinamika pasar. Kenaikan suku bunga dapat memengaruhi dinamika pasar, termasuk pasar obligasi. Suku bunga yang lebih tinggi cenderung menyebabkan penurunan harga obligasi, yang dapat mempengaruhi nilai aset pemerintah yang diinvestasikan dalam obligasi. Ketiga, naiknya suku bunga the fed dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan berkurangnya likuiditas global hingga menghambat investasi dan menurunkan konsumsi domestik. Kemudian depresiasi pada nilai tukar juga mengakibatkan adanya risiko imported inflation akibat naiknya harga-harga barang impor. Sehingga akan berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun. Dari sisi penerimaan, tekanan pada nilai tukar rupiah dapat mempengaruhi pada penerimaan yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan internasional seperti PPh Pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Kemudian, perubahan nilai tukar rupiah juga berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Di sisi lain perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas
Seperti yang kita ketahui bersama pada gambar diatas, komposisi utang valas Indonesia lebih tinggi daripada aset valas Indonesia. Selain itu pada 2022 eksposur terhadap USD mengalami kenaikan paling signifikan yang menunjukkan bahwa masih tingginya ketergantungan terhadap mata uang kuat seperti Dolar AS. Hal ini dapat berdampak pada meningkatnya eksposur ketika terjadi perubahan nilai tukar. Sehingga pemerintah perlu melakukan strategi untuk menjaga agar eksposur valas dapat terkendali.
30 September Tahun 2015 Bank Indonesia mengeluarkan paket kebijakan moneter tentang stabilisasi nilai tukar rupiah. Paket kebijakan ini berfokus pada 3 pilar kebijakan yaitu: Pertama, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia hadir di pasar valas domestik dengan memperkuat intervensi di pasar forward, dengan menyeimbangkan penawaran dan permintaan di pasar forward. Kedua, memperkuat pengelolaan likuiditas Rupiah. Bank Indonesia mengoptimalkan seluruh instrumen moneter termasuk memperkuat strategi operasi moneter pro-market  melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI untuk memperdalam pasar keuangan demi likuiditas lebih kuat sehingga dapat mengurangi risiko penggunaan likuiditas rupiah yang berlebih. Ketiga, memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan pasar valas. Pengelolaan penawaran dan permintaan terhadap valas dilakukan dengan beberapa hal diantaranya adalah dengan memperkuat kebijakan pengelolaan supply demand valas di pasar forward dengan memperjelas underlying forward beli valas/Rupiah. Kemudian dilakukan penerbitan Surat  Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas. Lalu dilakukan penurunan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu. Kemudian Bank Indonesia juga ber kerjasama dengan pemerintah dalam pemberian insentif pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan Devisa Hasil Ekspor di perbankan Indonesia atau mengkonversinya ke dalam rupiah. Tidak lupa Bank Indonesia juga mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi terhadap penggunaan devisa dengan penguatan laporan lalu lintas devisa (LLD) (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015).
Dari sisi pemerintah sendiri, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/PMK.08/2013 Tentang Transaksi Lindung Nilai Dalam Pengelolaan utang Pemerintah kemudian Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2014-2017 disebutkan juga terkait penerapan kebijakan hedging sebagai salah satu strategi pengelolaan utang. Heding atau Lindung Nilai merupakan kegiatan untuk melindungi nilai suatu aset atau kewajiban dalam rangka memitigasi risiko fluktuasi tingkat suku bunga dan/atau nilai mata uang di masa yang akan datang. Terdapat berbagai macam jenis hedging yang dapat membantu pemerintah untuk mengurangi risiko nilai tukar ini diantaranya adalah Forward Contracts Hedge, Currency Optional Contracts Hedge, dan Currency Swaps Contract Hedge (Miksalmina, 2015). Semua jenis hedging ini dilakukan untuk melindungi risiko nilai tukar dan/atau suku bunga atas aset maupun kewajiban sehingga pemerintah tidak akan terbebani atas kewajiban valas atau kerugian atas penurunan aset valas yang dimiliki.
Untuk mengawasi lebih lanjut terkait adanya risiko nilai tukar pemerintah juga membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan OJK, LPSE, Kementerian Keuangan dan BI. Guna mengawasi sektor keuangan untuk memitigasi risiko-risiko yang muncul di kemudian hari.