Banjir telah tiada, entah esok hari. Banjir menyisakan trauma. Kini setiap kali cuaca mendung, yang ada dalam benak warga adalah akankah banjir terulang lagi.Â
Aksi warga bersih-bersih dari lumpur bekas banjir hanya berlangsung hingga sore saja, warga (khususnya Ibu-ibu, manula, dan anak-anak) terdampak banjir terlihat mengungsi di tempat pengungsian ketika sore mulai tiba, untuk menghindari banjir susulan yang masih berpotensi datang.
Kini warga lebih tersadarkan untuk sigap mengungsi saat banjir mulai masuk dengan ketinggian di bawah 50 cm. Beberapa warga merasakan kegalauan akan kondisi desa yang terus berulang dilanda banjir.
Warga nampak membutuhkan banyak hal. Ada yang sampai H + 3 pasca banjir masih belum ganti celana, karena bantuan pakaian yang datang, kebanyakan dalam bentuk pakaian bagian atas dan pakaian untuk ibu-ibu dan anak-anak. Lemari-lemari di rumah warga berjatuhan, isi lemari semua habis terendam lumpur.Â
Kebutuhan warga lainnya adalah kebutuhan mendesak untuk anak seperti pampers, minyak kayu putih, susu, dan lainnya. Kemudian warga juga membutuhkan obat-obatan serta perlengkapan untuk kebersihan badan serta kebersihan rumah dan lingkungan.
Tentunya hal lain seperti alat tulis dan perlengkapan sekolah, perlengkapan tidur seperti selimut, bantal, dan lainnya, dan perlengkapan rumah tangga lainnya sangat juga dibutuhkan.Â
Di luar kebutuhan yang bersifat fisik, bantuan lain yang secara psikologis sangat dibutuhkan warga korban banjir atau warga terdampak banjir diantaranya aksi untuk membangun kembali kepercayaan diri dan sikap positif setelah dilanda musibah seperti Trauma Healling serta dukungan modal untuk memulai usaha mencari nafkah dari nol.Â
Pedagang, pembuat gerabah, tukang cukur rambut, dan lainnya kini tidak lagi memiliki alat untuk menjalankan usahanya, alat-alat yang ada menjadi hilang dan rusak oleh karena adanya banjir besar tanggal 23 Februari 2018.Â