Kisah Nabi Musa a.s bersama Nabi Khidir a.s ada di dalam al-Qur’an. Sementara, kisah Bima (Bratasena) mencari Tirta Pawitra (air kehidupan) ada di dalam lakon wayang kulit yang diadopsi dari kitab Mahabarata. Penulis baru menyadari bahwa dua kisah tersebut menunjukkan dua model karakter pelajar yang berbeda satu sama lain, bahkan saling bertentangan. Dalam hal ini, penulis sangat berterimakasih kepada Mas Ahmad Baso yang telah menyadarkan penulis terhadap hikmah tersebut. Meskipun penulis sudah mengetahui kedua kisah ini sejak lama, namun rupanya penulis tidak menyadari adanya hikmah tersebut. Penulis menganggap kisah Nabi Musa a.s dan kisah Bima sebagai dua kisah yang tidak berhubungan.
Dikisahkan di dalam al-Qur’an bahwa Nabi Musa a.s diperintahkan oleh Allah Swt. untuk belajar kepada seseorang yang lebih pandai/bijak dari Nabi Musa a.s. Orang tersebut tidak lain adalah Nabi Khidir a.s yang konon tinggal di lautan dan masih hidup sampai sekarang. Ketika Nabi Musa a.s meminta Nabi Khidir a.s untuk menjadi gurunya, Nabi Khidir a.s mengajukan syarat, yakni tidak boleh protes terhadap apa saja yang dilakukan oleh Nabi Khidir a.s. Akhirnya, Nabi Musa a.s menyanggupi syarat tersebut.
Namun dalam perjalanannya, Nabi Musa a.s selalu memprotes Nabi Khidir a.s. Ketika Nabi Khidir a.s membocorkan perahu yang mereka tumpangi, Nabi Musa a.s tidak tahan untuk berdiam diri. Akhirnya, Nabi Musa a.s mengajukan protes: “Mengapa engkau membocorkan perahu yang kita tumpangi?” Nabi Khidir a.s hanya menjawab: “Nanti kamu tahu sendiri jawabannya.” Demikian juga ketika Nabi Khidir a.s meruntuhkan sebuah tembok di sebuah desa dan membunuh seorang anak kecil. Nabi Musa a.s lagi-lagi mengajukan protes.
Nabi Musa a.s tidak dapat mematuhi persyaratan yang sudah ia sanggupi di awal. Ternyata, pada prakteknya, persyaratan tersebut tidaklah gampang. Nabi Musa a.s selalu berontak jika melihat sesuatu yang bertentangan dengan logikanya. Pada akhirnya, Nabi Musa a.s mendapatkan juga penjelasan rasional atas tindakan-tindakan Nabi Khidir a.s. Walhasil, Nabi Musa a.s gagal mendapatkan ilmu hikmah dari Nabi Khidir a.s. Demikian kisah tentang Nabi Musa a.s di dalam al-Qur’an.
Di dalam pewayangan, dikisahkan bahwa Bima (salah seorang Pandawa Lima) tengah mengalami kegalauan akibat memikirkan ketidakadilan yang menimpa dirinya serta ayahanda dan ibundanya. Ayahanda dan ibunda Bima dihukum oleh Batara Guru dengan cara dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Padahal ayahanda dan ibunda Bima adalah sosok yang dihormati dan disegani. Bima juga terancam memiliki nasib yang sama dengan kedua orang tuanya. Di tengah kegalauan tersebut, datanglah Begawan Durna. Begawan Durna menyarankan kepada Bima untuk menemukan Kayu Gung Susuhing Angin (makna spiritual: pusat pernapasan) di puncak Gunung Candradimuka.
Begawan Durna adalah seorang ahli taktik perang yang licik. Begawan Durna hendak menjerumuskan Bima ke dalam bahaya melalui perintah untuk menemukan Kayu Gung Susuhing Angin, karena puncak Gunung Candradimuka adalah tempat yang sangat angker dan berbahaya. Dikisahkan bahwa Begawan Durna sendiri sebenarnya tidak mengetahui perihal Kayu Gung Susuhing Angin itu. Dengan kata lain, Begawan Durna mengarang cerita untuk menjerumuskan Bima.
Bima menuruti saja saran dari Begawan Durna yang sudah ia anggap sebagai guru itu. Dengan tekad yang kuat Bima pergi menuju puncak Gunung Candradimuka. Di puncak gunung, Bima diserang oleh dua raksasa. Singkat cerita, Bima mengalahkan dua raksasa tersebut yang merupakan jelmaan dari Dewa Indra dan Dewa Bayu akibat kutukan. Dewa Indra dan Dewa Bayu memberi tahu kepada Bima bahwa Kayu Gung Susuhing Angin itu sesungguhnya ada di dalam diri Bima sendiri.
Setelah berhasil menemukan Kayu Gung Susuhing Angin, Bima menghadap lagi ke Begawan Durna. Selanjutnya, Begawan Durna memerintahkan Bima untuk menemukan Tirta Pawitra (air kehidupan) yang ada di dasar Samudera Minangkalbu. Tanpa pikir panjang, Bima langsung melaksanakan perintah Begawan Durna. Sesampainya di dasar Samudera Minangkalbu, Bima diserang oleh ular raksasa yang disebut ular Nagaraja. Dengan kesaktiannya, Bima mampu mengalahkan ular Nagaraja itu. Akhirnya, Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci menjelaskan bahwa Tirta Pawitra itu adalah air suci yang ada di hati Bima sendiri. Dewa Ruci tidak lain adalah perwujudan dari jati diri Bima. Dengan demikian, Bima telah berhasil menemukan Tirta Pawitra. Demikian kisah tentang Bima (Bratasena) di dalam pawayangan.
Musa dan Bima sama-sama seorang murid. Musa murid dari Khidir, sementara Bima murid dari Begawan Durna. Namun, Musa dan Bima adalah murid dengan karakter yang jauh berbeda, bahkan bertentangan. Musa menampilkan sosok murid yang kritis terhadap gurunya. Musa tidak dapat menerima ajaran Khidir sebelum mendapatkan penjelasan rasional. Segala tindakan Khidir yang bertentangan dengan akal sehat, dipertanyakan oleh Musa. Di lain pihak, Bima menampilkan sosok murid yang taat terhadap gurunya. Apa pun yang diperintahkan oleh Begawan Durna, Bima senantiasa patuh, meskipun sebenarnya Begawan Durna hendak menjerumuskan Bima ke dalam bahaya.
Kalau kita melihat pada kehidupan sekarang, Musa bisa dianggap mewakili karakter siswa dan mahasiswa di sekolah dan kampus. Siswa dan mahasiswa diajari oleh guru untuk kritis. Tidak jarang kita melihat guru atau dosen yang memberikan nilai plus kepada siswa atau mahasiswanya yang rajin bertanya dan berkomentar di dalam kelas. Di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, khususnya di jurusan Aqidah-Filsafat (jurusan di mana penulis berada), perdebatan sudah menjadi makanan sehari-hari, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Perdebatan di dalam kelas, yang dipandu oleh seorang dosen saja, seringkali tidak berujung. Apalagi perdebatan di luar kelas. Tema yang diperdebatkan juga super abstrak: ketuhanan. Penulis dan teman-teman satu jurusan menikmati saja proses tersebut. Perdebatan itu memacu kami untuk lebih banyak membaca buku dan mengasah logika agar tidak memalukan saat melakukan perdebatan. Jika argumen yang kita kemukakan dalam berdebat itu berbobot, maka kita akan disegani secara akademis. Itulah barangkali “surga” sebagai balasan bagi teman-teman di jurusan Aqidah-Filsafat yang rajin membaca buku dan mengasah logika.
Sementara itu, Bima bisa dianggap mewakili karakter santri (khususnya santri di pesantren salaf). Pesantren umumnya dipimpin oleh seorang kyai. Seorang kyai memiliki kekuasaan penuh terhadap pesantrennya. Seringkali, seorang kyai dianggap memiliki kemampuan supranatural, seperti mampu meramal, menyembuhkan penyakit, membaca pikiran, dst. Di lingkungan pesantren ada konsep ta’zim (rasa hormat) kepada kyai. Seringkali, dengan alasan ta’zim itu seorang santri mentaati apa saja yang diperintahkan oleh sang kyai, bahkan ketika perintah itu sepertinya tidak logis.
Penulis berteman dengan banyak lulusan pesantren salaf. Ada salah satu cerita bahwa seorang santri tidak pernah disuruh “ngaji” oleh kyai. Sang kyai hanya menyuruh santri itu mengerjakan tugas-tugas rumahan, seperti mencuci pakaian dan piring, bersih-bersih rumah, mengantarkan kyai ke berbagai tempat, menjadi tukang pijit pribadi kyai, dsb. Demikian hal itu terjadi selama bertahun-tahun. Namun anehnya, ketika lulus dari pesantren, santri tersebut memahami secara baik kitab-kitab yang diajarkan di pesantren. Padahal ia tidak pernah belajar tentang kitab-kitab tersebut. Teman-teman penulis yang dari pesantren biasa menamakan fenomena ini sebagai berkah dari kyai karena ketaatan santri.
Penulis yang tidak pernah belajar di pesantren, seringkali heran dengan teman-teman yang dari pesantren. Mereka sangat taat terhadap perintah/saran dari kyai mereka terhadap hal-hal yang menurut penulis tidak perlu meminta pertimbangan kepada orang lain karena mereka sendiri yang lebih tahu persis kondisinya. Misalnya, seorang teman telah masuk di jurusan Aqidah-Filsafat. Tiba-tiba ada perintah/saran dari kyai untuk pindah di jurusan lain, maka tanpa pikir panjang ia akan pindah jurusan, meskipun ia sudah nyaman di jurusan Aqidah-Filsafat. Lebih ekstrim lagi, biasanya dialami oleh santriwati, mereka akan patuh dijodohkan dengan siapa pun jika yang menjodohkan itu adalah kyai mereka. Seolah-olah, para santri itu meyakini bahwa sang kyai mengetahui apa yang terbaik bagi kehidupan mereka kelak.
Bagi penulis, hal itu merupakan penindasan. Para santri itu telah “dicekoki” oleh kyai untuk selalu patuh terhadap apa saja yang diperintahkannya. Bagi teman-teman santri tentu saja menganggap bahwa apa pun perintah sang kyai maka itulah yang terbaik bagi kehidupan mereka. Namun bagi penulis, kyai tidak lebih dari manusia biasa yang tidak bisa mutlak bebas dari ego. Boleh saja seorang kyai memiliki kemampuan supranatural, tetapi bukan berarti ia tahu segalanya dan bersih dari godaan syaitan. Apakah tidak mungkin jika kyai itu hanya memanfaatkan santri-santrinya untuk membantu pekerjaan di rumahnya sehingga sang kyai memiliki pembantu/babu tanpa digaji? Bagi seorang santri, kecurigaan seperti itu adalah sikap yang kurang ajar. Tetapi, bagi yang non-santri, kecurigaan seperti itu adalah sikap yang wajar.
Kembali kepada kisah Musa dan Bima. Musa yang mewakili karakter siswa/pelajar yang kritis ternyata gagal mendapatkan ilmu hikmah dari Khidir. Sementara, Bima yang mewakili karakter santri/pelajar yang selalu taat kepada sang guru berhasil meraih Tirta Pawitra. Apakah kesimpulan ini menunjukkan kepada kita bahwa pelajar yang berhasil adalah pelajar yang senantiasa taat/tanpa kritik kepada sang guru? Penulis kira tidak demikian. Ada ilmu-ilmu tertentu yang harus didiskusikan dengan guru, tetapi ada pula ilmu-ilmu tertentu yang tidak perlu untuk didiskusikan dengan guru. Jika anda ingin bisa membuat sate, maka tanyakan kepada tukang sate, tetapi jika anda ingin mencicipi sate, jangan tanya tentang bagaimana cara membuat sate. []
Ciputat, 25 Januari 2015
00:58 WIB
N.R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H