Mohon tunggu...
Nanang Nurbuat
Nanang Nurbuat Mohon Tunggu... Freelancer - masih mengabdi pada negri

Masih menjadi orang yang ingin mencoba ini itu kayak anak kecil

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Constitution Risk Management (CRM), Solusi MKRI menghadapi banjir bandang pasca pemilu 2024

24 Juli 2023   00:00 Diperbarui: 24 Juli 2023   00:02 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini sudah 20 tahun lakon Mahkamah Konstitusi berada di tengah-tengah masyakat Indonesia. Termin "Judicial Review" tidak hanya terdengar keren, tapi juga sarat dengan tanggung jawab yang besar. Jika Indonesia adalah negara dimana setiap warga negaranya dilindungi oleh hukum, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah wasit pemegang tampuk keadilan tertinggi agar hukum dapat berperan seadil-adilnya. Kalau ndak bener, ya dicabut. Finish, ndak ada kompromi. Bukan perkerjaan mudah memang. Hal ini yang mendorong MKRI selalu membuat inovasi dalam rangka perbaikan. Sebut saja beberapa seperti layanan "text to speech" yang sangat positif bagi para penyandang disabilitas, aplikasi "Room Chat" yang dapat digunakan masyarakat untuk berkonsultasi terkait suatu perkara, CSIRT-MK untuk mencegah serangan siber, dan hal lain yang secara konsisten dikembangkan setiap tahunnya. Dari sisi kinerja, pencapaian tidak kaleng-kaleng, tercatat 3.506 putusan sudah inkrah sampai 2023. Jumlah ini akan terus bertambah. Tantangan MKRI yang di depan mata adalah Pemilu Serentak 2024. Bayangkan saja, pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan juga Pilkada tumplek blek di tahun yang sama.

Disaat pekerjaan KPU sudah usai, MKRI akan mulai berjibaku dengan dispute of the election. Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, pekerjaan MKRI terkait putusan pemilu dimulai saat hasil perhitungan suara sudah di umumkan oleh KPU. Ambil contoh di tahun 2010, setahun setelah pemilu 2009, tercatat melonjak terdapat 223 putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah / perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Setelah terjadi penurunan pada tahun 2011 dengan jumlah putusan 131 dan 2012 dengan jumlah putusan 97, di tahun 2013 kembali naik karena ada pemilu kepada daerah tahun 2012, naik 104% menjadi 195 putusan dibanding tahun sebelumnya.

Jika kita menyoroti beban penyelesaian perkara pengujian undang-undang, data menunjukkan kenaikan setelah pemilihan umum presiden. Seperti di tahun 2004 dan 2014. Dengan dilantiknya presiden baru, maka pembuatan undang-undang pasti akan digenjot sesuai dengan visi dan misi yang diusung. Jangan lupa bahwa periode ini adalah kali terakhir Presiden Joko Widodo dapat menjabat. Otomatis di tahun 2024, akan ada presiden baru dengan gagasan baru untuk Indonesia yang lebih baik. Tak lepas dari itu, tentunya hal ini akan berpotensi munculnya daftar panjang calon perkara terkait undang-undang.

Diluar kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya, MKRI juga harus siap dengan mandat amanah baru yaitu mengadili constitutional complaint, constitutional question, dan pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap. Besar harapan MKRI dapat memperkuat perlindungan atas hak-hak konstitusional setiap warga negara. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk mengajukan pengujian konstitusional atas kebijakan/tindakan/keputusan pejabat negara yang dinilai melanggar Undang-Undang (constitutional complaint). Sedangkan dalam sisi peradilan, hakim di pengadilan umum dapat mengajukan pertanyaan jika terdapat keraguan terhadap konstitusionalitas norma yang dijadikan dasar dalam mengadili suatu perkara (constitutional question). Isu ini menjadi semakin kuat mengingat MK menjadi tonggak utama dalam menjalankan peraturan perundang-undangan.

Dengan pekerjaan yang sangat berat tersebut, maka perlu adanya terobosan yang untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja. Belum lagi jumlah perkara yang sangat banyak dengan dimensi pertimbangan yang kompleks, pengerjaan secara konvensional akan menimbulkan banyak masalah. Contohnya: alokasi SDM yang berlebihan, penyelesaian perkara yang berlarut, kesalahan tindak lanjut perkara, atau bahkan sampai dengan hilangnya hak-hak konstitusi warga negara. Penggunaan Constitutional Risk Management (CRM) menjadi salah satu pilihan terbaik karena telah terbukti ampuh digunakan oleh pemerintahan maupun swasta. Dalam konsep ini terdapat 3 komponen penting yaitu Constitutional Risk Assessment, Realtime Data Dashboarding, Control and Monitoring and Testing. Ketiga hal tersebut bersatu untuk dapat memberikan masukan (insight driven CRM) kepada menjemen.

Constitutional Risk Assessment

Dalam proses ini, seluruh data dipilah dan diolah untuk masuk kedalam kuadran yang telah ditentukan. Biasanya kuadran tersebut terdiri dari komponen berjumlah dua. MKRI dapat menggunakan kompenen pertama berupa tingkat kepatuhan legal formal dan komponen kedua adalah tingkat dampak yang dihasilkan. Tingkat kepatuhan legal formal adalah tingkat terpenuhinya prasyarat atas suatu perkara, sedangkan tingkat dampak adalah dampak yang dihasilan atas penanganan perkara tersebut baik secara internal ataupun eksternal. Dampak internal misalnya tingkat kesulitas perkara, kebutuhan SDM, jangka waktu yang dibutuhkan, dan sebagainya. Dampak eksternal dapat berupa jenis perkara, cakupan hasil perkara, dan aspek lainnya. Definisi dari setiap komponen ini pastinya perlu dibahas secara matang untuk menentukan ramuan terbaik untuk mengklasifikasikan perkara. Dalam kasus MKRI, data yang dapat dilakukan sebagai bahan assessment adalah kasus/perkara yang diterima untuk ditindaklanjuti. Berasar dari data pendaftaran perkara, maka MKRI dapat melakukan mengelompokan kedalam kuadran-kuadran yang kemudian disusun sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan peta perkara. Contoh kuadran yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.

Dokpri
Dokpri

Manfaat Constitutional Risk Management

  • Dapat digunakan untuk menentukan prioritas perkara yang harus ditindak lanjuti terlebih dahulu. Seyogyanya perkara tidak ditindaklanjuti berdasarkan konsep first in first serve, namun berdasarkan pertimbangan lain misalnya jangka waktu pengerjaan, dampak yang dihasilkan, atau pertimbangan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan system yang terotomatisasi, keputusan yang diberikan dapat bersifat objektif dan adil bagi seluruh para pendaftar perkara.
  • Mempercepat proses assessment sehingga perkara yang secara prasyarat tidak memenuhi ketentuan dapat langsung ditolak secara system. Dengan sistem otomatisasi, maka pastinya dapat membantu MKRI untuk memilah secara cepat dan menentukan apa saja yang menjadi kekurangan pendaftar. Dari sisi pendaftar juga mendapatkan kepastian hukum apakah perkaranya secara syarat sudah terpenuhi atau belum dengan tepat.
  • Dapat digunakan sebagai alat bantu penentuan alokasi SDM. SDM yang dimaksud disini dapat berupa hakim, ahli, peneliti, dan sebagainya. Tingkat kesulitan perkara dapat menentukan komposisi SDM yang perlu diturunkan. MKRI dapat menggunakan informasi ini untuk proses recruitment dan pengembangan SDM.

Dapat digunakan untuk memetakan beban kerja SDM. Dengan jumlah perkara yang besar, pengelompokan menjadi kuadran tertentu dapat membantu menghitung beban kerja SDM  di MKRI, hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk menghindari overload atau underload pekerjaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun