Kedua, adanya konflik dengan orang tua. Para remaja masih sangat membutuhkan bimbingan, motivasi, dan pendampingan dari orang-orang yang dekat dengan dirinya dalam kesehariannya, terutama kedua orang tuanya. Kedekatan dan keharmonisan hubungan anak dan orang tua sangat besar peranannya terhadap semangat remaja dalam menempuh pendidikannya. Jika anak merasa kurang/tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya maka hampir bisa dipastikan mereka juga akan bersikap masa bodoh terhadap dirinya sendiri.
Ketiga, konflik dengan teman. Di suatu sekolah tidak jarang terbentuk sircle (lingkaran) yakni semacam geng. Konflik antar teman bisa saja berakibat fatal bagi anak-anak yang tidak memiliki geng. Mereka akan mengalami pembulliyan dari teman-teman di kelas atau di sekolahnya. Hal ini juga berpengaruh besar terhadap semangat mereka untuk masuk sekolah. Banyaknya kasus bulliying yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini, baik yang terekspos media massa maupun tidak, tentu sangat memprihatinkan.
Pembulliyan seringkali terjadi secara berkelompok atau beramai-ramai. Anak-anak yang menjadi sasaran bulliying tentu merasa tidak berdaya. Apalagi jika kasus bulliying yang menimpanya tidak lekas tertangani dan mendapatkan solusi. Apalagi jika guru yang kebetulan mengajar hanya bertanya dan ujung-ujungnya menyalahkannya juga. Mereka merasa diabaikan dan merasa tidak nyaman lagi berada di sekolah. Akhir dari permasalahan ini tentu mereka akan memilih menyendiri di rumah sebagai tempat teraman.
Keempat, kurang/tidak suka terhadap guru. Rasa kurang/tidak suka terhadap guru ini sebenarnya tidak serta-merta dikarenakan guru yang bersangkutan jahat atau pernah melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi tidak respek terhadap guru bersangkutan. Namun bisa saja berawal dari kurang sukanya mereka terhadap mata pelajaran yang disampaikan guru, termasuk dengan cara mengajarnya. Bahkan bisa saja jika perasaan tidak suka ini mengendap terlalu lama akhirnya menjelma menjadi sebuah ketakutan. Takut jika disuruh menjawab pertanyaan di depan kelas, takut tidak bisa menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR), takut nilainya jelek, takut tidak naik kelas, dan seterusnya.
Kelima, terpengaruh dengan teman satu kelompoknya di luar sekolah. Peergroup (teman satu kelompok) tentu sangat berpengaruh terhadap perkataan, sikap, dan perilaku remaja. Kesimpulan dari beberapa hasil penelitian ilmiah menyebutkan bahwa remaja akan lebih takut ditinggalkan teman-teman sebaya dalam peergroupnya daripada dimarahi orang tuanya. Mereka akan berani menentang orang tua atau gurunya atau berani melanggar tata tertib demi mempertahankan eksistensi mereka dalam peergroupnya. Jika seorang remaja bergabung dalam peergroup anak-anak putus sekolah maka sangat mungkin mereka akan mengikuti jejak mereka alias putus sekolah juga.
Keenam, beberapa faktor lain termasuk faktor ekonomi, keterbatasan sarana transportasi, hari-hari khusus (mereka biasa menyebutnya hari kejepit yakni hari yang berada diantara dua hari libur), bangun kesiangan, dan sejenisnya.
Muara Akhir
Ditilik dari akar masalah yang menjadi penyebab terganggunya keberlangsungan pendidikan remaja, ada beberapa langkah antisipasi yang bisa dilakukan:
Pertama, pengumpulan data dan penelusuran fakta. Seorang guru (terutama wali kelas dan guru BK) harus memiliki basis data tentang siswa di bawah perwaliannya/binaannya. Data pribadi dan data keluarga siswa termasuk latar belakang pekerjaan/profesi, keadaan ekonomi, serta lingkungan sosial di mana siswa tingal adalah data yang sangat penting sebagai pendukung dalam mebimbing dan mendidik siswa.
Kedua, melakukan pendekatan pribadi (personality approach). Menangani siswa bermasalah tentu tidak bisa dipukul rata. Masing-masing kasus butuh cara penanganan yang berbeda. Ada kalanya butuh ketegasan dan sanksi hukuman yang jelas dan terukur, namun ada kalanya harus bicara dari hati ke hati melalui pendekatan pribadi.