Mohon tunggu...
Nanang Erma Gunawan
Nanang Erma Gunawan Mohon Tunggu... -

Belajar hidup...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bercermin dari Vicky Prasetyo

15 September 2013   08:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:52 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_278854" align="aligncenter" width="302" caption="Vicky Prasetyo (www.antaranews.com)"][/caption]

Nama Vicky Prasetro mendadak melambung setelah pertungannya dengan Zaskia Gotik pupus. Munculnya video wawancara dengan bahasanya yang berabu-abu menjadi bahan tertawaan banyak orang. Dengan kosa kata yang digunakannya seperti konspirasi hati, labil ekonomi, statusisasi kemakmuran, dan sebagainya membuat orang menangkap bahwa Vicky bergaya tapi memaksakan diri terlebih lagi dia mengaku kuliah di Amerika. Ada apa dengan bahasa Vicky sehingga ditertawakan? Pesan apa yang bisa kita petik darinya?

Sepanjang ingatan saya, Vicky bukanlah orang pertama yang menjadi bahan tertawaan karena bahasa yang digunakannya. Mungkin kita masih ingat bagaimana Syahrini keliru menuliskan San Francisco pada akun twiternya sehingga jadi bulan-bulanan beberapa bulan lalu. Mungkin masih ada banyak orang yang demikian, namun karena bukan selebritis jadi mereka tidak terkspose. Atau mungkin kalau Vicky tidak terjerat kasus pidananya, Zaskia masih akan melanjutkan memanggilnya Pap dan media tidak mengorek-orek informasi perihal kehidupannya. Dalam pemahaman saya, masyarakat kita mudah sekali menjadikan sebuah sensasi sebagai sebuah tren topik bahasan baru seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Sebagai Negara dengan prosentase penduduk pengguna media social salah satu terbesar di dunia, berita begitu cepat menyebar. Apalagi menyangkut isu-isu yang terkesan unik dan bisa dikait-kaitkan dengan isu lainnya. Berita serasa makin menarik dan orang tenggelam dalam kesibukan menyimak gossip-gosip yang beredar. Ibarat dalam suatu kampung, ada seseorang yang tidak berangkat kerja bakti langsung dikabarkan dia pemalas oleh seorang hulu ledak gossip di kampung itu. Seketika, berita menyebar dan sekampung tahu ditambah kampung sekitar dan selanjutnya dicari-carilah kesalahan serupa untuk memperkuat bukti kekeliruannya. Jangankan Vicky, negara ini pun sering jadi bahan tertawaan oleh penduduknya sendiri. Bahasa Inggris dalam kesan Bahasa Inggris dikenal sebagai bahasa Intenasional yang tidak semua orang mampu menggunakannya atau menguasainya. Lingkup penggunaan yang luas menjadikan bahasa ini dikenal dan orang berupaya untuk mampu menggunakannya. Karena bukan bahasa ibu, orang perlu berusaha yang tidak mudah dan kadangkala biaya yang tidak sedikit. Menakarnya dari sisi itu, bagi siapa yang dapat menguasainya akan nampak memiliki kelebihan dibandingkan yang tidak. Sehingga, ketika melamar pekerjan pun sering diutamakan yang bisa berbahasa Inggris. [caption id="attachment_278857" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (blogpanik.blogspot.com)"]

1379207283530951185
1379207283530951185
[/caption] Untuk bersaing mencapai suatu keberhasilan, orang sering perlu menampakkan kelebihan. Salah satu cara yang mudah dinampakkan adalah cara berkomunikasi. Istilah-istilah bahasa Inggris yang sulit dimengerti pun sering dimunculkan supaya nampak lebih. Iklim kompetisi membuat orang bersaing dan mengira bahwa semakin orang tidak mengerti, maka semakin terkesan lebih hebat karena cuma dia sendiri yang mengetahui artinya. Sayangnya, orang sering memanfaatkan itu untuk bergaya-gaya saja walau substansi sebenarnya begitu bergaya. Selain itu, orang lebih senang dan percaya dengan istilah-istilah asing tersebut karena kesan hebat yang melekat padanya. Akibatnya, tanpa disadari mereka terjebak dengan pesona bahasa Inggris dalam hal sederhana seperti percakapan dengan teman baru sampai hal yang kompleks seperti orasi politik. Memetik pelajaran Beberapa hari lalu, saya iseng membuka film-film Warkop DKI. Di salah satu filmnya, saya menemukan adegan menarik ketika Indro bekerja pada sebuah pelayan restoran. Seorang tamu meminta dituangkan anggur di gelasnya. Indro nampak agak kesal lantaran tamu tersebut meminta anggur yang lain yang lebih enak. Didapati olehnya merek anggur itu buatan lokal Indonesia. Karena tidak ada stok lain, Indro mengganti label botolnya dengan merk luar negeri yang memakai bahasa Inggris. Apa yang terjadi? Si tamu langsung bilang,“ini baru enak…”. Sekilas menyimak ungkapan-ungkapan Vicky dan scenario cerita dalam film komedi tersebut menjadikan saya berupaya memahami apa yang sering dihadapi oleh kebanyakan orang di Indonesia. Orang sering terjebak dengan istilah asing yang menempel pada sesuatu, produk atau perilaku tertentu tanpa menyadari bahwa sebenarnya memiliki isi yang sama ketika dilekatkan istilah dalam bahasa Indonesia sekalipun. Kebanggaan dan rasa keren senantiasa melekat pada istilah asing walau makna atau asal usulnya sering tidak diketahui. Sebagai contoh dari perilaku tersebut adalah pengalaman bersama teman kerja saya. Taman saya tersebut dengan bangganya menunjukkan sepatu merek Buccheri barunya. Dia mengira sepatu itu buatan Italia. Padahal, produksi sepatu itu asli di Indonesia. Selain itu, jeans merek Lea yang labelnya gambar elang dan bendera Amerika. Orang mengira ini adalah produk Amerika dan ada seseorang yang lagi-lagi menunjukkan jaket jeans Lea-nya kepada saya dan bilang “jaket Amerika bro..” dengan bangganya. Dan masih banyak lagi contoh lain yang berlabel “luar negeri” yang lebih banyak diminati banyak orang banyak padahal produk asli Indonesia. [caption id="attachment_278860" align="aligncenter" width="300" caption="Buccheri store (www.malciputraseraya.com)"]
13792074461766762035
13792074461766762035
[/caption] [caption id="attachment_278861" align="aligncenter" width="300" caption="Lea store (www.merdeka.com)"]
1379207635642753927
1379207635642753927
[/caption] Dari cara orang menilai sebuah barang sebenarnya menunjukkan bagaimana orang tersebut dapat dipengaruhi atau bahkan dikelabuhi. Memandang rata dan berkeyakinan bahwa produk luar negeri bisanya kualitasnya tidak diragukan menjadikan orang berfikiran lebih sempit dan rendah tingkat prasangkanya. Serupa dengan kasus belajar Bahasa Inggris di atas, memiliki barang buatan luar negeri pun menjadi sebuah gengsi tersendiri. Karena merek yang nampak berasal dari luar negeri, orang maklum kalau harganya lebih tinggi dari produk lokal sehingga mendapat perlakuan khusus pula. Kurangnya kesadaran bahwa Vicky sebenarnya memperoleh gaya bahasa dari proses belajar dan pengalaman berinteraksi dengan orang disekitarnya menjadikan orang tertawa. Padahal, banyak orang yang mentertawakannya sebenarnya juga telah termakan pula oleh pengagungan istilah keren bahasa Inggris dalam kesehariannya. Mereka terlupa untuk memaknai bahwa sebenarnya bahasa yang digunakan Vicky merupakan isyarat yang mengingatkan kita tentang bagaimana orang dengan mudahnya terperdaya dengan bahasa asing (Inggris *red) yang nampak canggih, keren, dan berkualitas. Vicky menggunakan kosakata-kosakatanya untuk menunjukkan siapa dia, demi memenuhi apa yang lebih dihargai orang lain dan keuntungan pribadi sehingga memunculkan sisi pesona dirinya sebagai “produk” Amerika ketika meminang “Itik pujaannya.” Walau demikian, Vicky telah membuat kita bercermin. September 14, 2013 Athens, Ohio, USA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun