Merujuk pada sebuah hasil wawancara dengan Teuku Ramli yang dimuat pada nasional.news.viva.co.id 20 April 2013 lalu, bahwa ujian nasional ini dimaksudkan untuk memenuhi keinginan pemerintah supaya peserta didik mampu mencapai kompetensi minimal pada bidang tertentu dengan menyamarakan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam berita itu dimisalkan anak SMP ditetapkan bisa meloncat 75cm, maka semua daerah harus bisa meloncat setinggi itu. Selanjutnya UN juga dimaksudkan untuk mengetahui daerah mana yang memiliki tingkat kualitas pendidikan yang tinggi dan rendah sehingga pemerintah bisa memberikan bantuan yang terbaik untuk daerah tersebut. Dua poin alasan diadakannya UN ini menunjukkan bahwa seolah-olah kemampuan meloncat yang baik hanya kalau mencapai 75cm saja, padahal tidak semua siswa pandai melompat namun pandai melewati halang rintang dengan cara yang lain. Kemudian, untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan di daerah-daerah sebenarnya pemerintah tinggal melihat secara langsung keadaan sekolah, mendata fasilitas, dan sumberdaya yang ada. Saya kira UN tidak bisa dijadikan tolok ukur tingkat kualitas pendidikan pada suatu daerah atau sekolah, cara pengukuran ini bisa dikatakan tidak valid karena berbagai factor yang lain juga perlu diketahui dan kalaupun alasan itu adalah benar kenyatannya masih banyak sekolah dipinggiran atau bahkan di tengah kota yang reot dan tidak terfasilitasi dengan baik.
Bagaimanapun, mengenal Indonesia harus bersamaan dengan mengenal kebijakan pemerintah. Sedahsyat apapun kemampuan guru, sejauh apapun ia belajar, serta dengan fasilitas seperti apapun, jika tidak didukung kebijakan yang baik maka akan menghasilkan kesia-siaan. Maka wacana tetang pendidikan yang membebaskan hanya menjadi retorika yang penuh omong-kosong. Maka dari itu, kebijakan pendidikan mesti dibenahi demi kemajuan sumber daya manusia serta tercapainya tujuan pendidikan di masa depan.
Tak hanya Indonesia, Amerika Serikat pun saat ini sedang membenahi sistem pendidikan dasar hingga menengah. Kebijakan No Child Left Behind  dari pemerintah George W Bush dinilai akan sangat sulit dicapai pada tahun 2014 mendatang. Saat ini, Amerika pun belajar dari keberhasilan Finlandia dalam bidang pendidikan.
Tak ada salahnya belajar pada Finlandia, meskipun menerapkan sistem pendidikan yang ada di Finlandia ke Indonesia akan mengabaikan keunikan yang kita miliki. Namun, ada beberapa prinsip dasar yang menjadi alasan bagi berbagai negara maju untuk belajar pada Finlandia. Sistem pendidikan Finlandia dikenal mendorong pemberdayaan siswa, serta menghindari sistem ujian secara nasional. Dengan demikian, sekolah-sekolah serta  para siswa akan terhindar dari kompetisi yang berorientasi pada tinggi rendahnya angka pencapaian sebagai tolok ukur standar yang sangat mencemaskan.
Dalam buku Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Terdapat pernyataan menarik bahwa karakteristik sistem pendidikan di Finlandia mencakup otonomi atau profesionalitas guru, sekolah yang didesain seperti komunitas belajar yang professional, fokus pada kegiatan belajar yang kooperatif dan mendorong kreativitas siswa, pengukuran secara lokal terutama oleh guru, dan sistem sampling agar sekolah-sekolah sejalan dengan arah pembangunan negara. Dari strategi ini, sekolah di Finlandia juga menerapkan kebijakan inklusi, di mana sekolah tidak memilih-milih siswa melainkan menerima semua siswa sesuai dengan kapasistas sekolahnya.
Mungkin, kita bisa belajar dari Finlandia dalam hal evaluasi pembelajaran di masa akhir sekolah. Guru memiliki wewenang untuk melakukan pengukuran berdasarkan pada bidang yang disukai oleh siswa. Sementara siswa diberikan kebebasan untuk menentukan bidang apa yang akan dinilai. Dengan cara ini, guru atau sekolah akan sangat menghargai perbedaan potensi siswa dan tidak latah untuk mengikuti evaluasi yang berorientasi pada besarnya angka seperti negara-negara yang lain.
Saya beranggapan bahwa keunikan Indonesia ini bisa terlihat pada penyelenggaraan pendidikan di negerinya sehingga para siswa bisa mencapai titik aktualisasi yang ditumbuhkan melalui kehidupan sekolah. Masyarakat dan para guru akan difasilitasi oleh kebijakan yang tidak berorientasi pada persaingan demi meraih angka tertinggi jika dibandingkan negara lain, melainkan kebijakan yang mewadahi siswa agar tumbuh dengan keunikannya masing-masing, sebagaimana halnya bunga bakung yang tumbuh sebagai bunga bakung yang berbaris di pagar, atau rumput yang tumbuh menjadi rumput. Kebijakan ini tidak memberi patokan yang sama bagi semua orang yang tumbuh dengan potensi berbeda.(*)
Nanang Erma Gunawan
Clinical Mental Health and Rehabilitation Counseling
Ohio University, USA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H