Mohon tunggu...
Nanang Erma Gunawan
Nanang Erma Gunawan Mohon Tunggu... -

Belajar hidup...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional: Egoisme Kebijakan vs. Filosofi Tanaman

22 April 2013   12:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:48 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media masa banyak memberitakan tentang Ujian Nasional yang diselenggarakan di Indonesia. Berbagai tajuk berita bermunculan bak jamur yang sedang tumbuh di musim penghujan. Pihak-pihak yang terkait dengan ujian nasional tersebut memiliki banyak versi sudut pandang dan juga dampaknya pada perilaku yang mereka miliki terhadap ujian nasional. Sayangnya jamur-jamur yang tumbuh tersebut bukan jamur yang bisa dikatakan enak dimakan, melainkan jamur yang pahit dan bisa menyebabkan keracunan, gangguan pandangan atau kebutaan, serta tuli sepanjang masa.

Tanpa bermaksud mengkerdilkan upaya pemerintah untuk memacu kualitas lulusan sekolah di Indonesia, saya hendak berbagi sudut pandang mengenai entitas penting bagi siswa yang semestinya tumbuh dengan segala potensinya, akan tetapi terhambat oleh egoisme kebijakan yang memaksa mereka harus mengikuti Ujian Nasional.

Dengan adanya Ujian Nasional, tingkat stress siswa dan orang-orang di sekitarnya jadi meningkat drastis. Kenapa saya menamakannya stress? Karena UN berperan sebagai suatu stressor bagi para siswa dan siswa bereaksi terhadapnya dengan berbagai cara yang melibatkan ketegangan system syaraf simpatik dan berdampak pada terganggunya kesehatan fisik atapun mental. Untuk lebih mendalaminya mungkin kita perlu melakukan pengukuran secara sistematis, namun dengan menyimak berbagai fakta yang terjadi kita bisa memahami apa yang dirasakan oleh para siswa, orang tua, dan orang-orang terkait.

Berbagai cara dilakukan oleh para siswa untuk bisa lulus UN. Dari cara-cara tersebut ada yang dapat diterima secara norma dan ada yang tidak. Cara yang dapat diterima misalnya mempersiapkan diri dengan bahan pelajaran yang sudah ada untuk menghadapi UN. Namun demikian, dengan adanya banyak siswa yang semenjak awal sekolah memiliki record nilai yang selalu diatas rata-rata namun gagal, tidak elak menjadikan semua siswa berfikir bahwa ia juga berpeluang untuk tidak lulus Ujian Nasional. Kekhawatiran yang tinggi untuk tidak lulus menjadikan siswa atau pihak terkait berantisipasi, memacu diri, dan mengatur strategi bahkan strategi yang tidak dapat diterima secara social seperti mencontek, guru memberi contekan, bocoran soal, higga orang tua pergi ke dukun. Ada pula yang memberi jampi-jampi pada pensil, pergi ke makam untuk minta petuah, mandi tengah malam, dan masih banyak lagi. Saya setuju dengan Bapak Tilaar bahwa Ujian Nasional lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya.

Jika dinalar, tindakan para murid didasari atas pemikiran yang rasional sebab mereka ingin lulus ujian. Demikian pula orang tua yang tidak ingin anaknya gagal, guru yang ingin muridnya lulus, serta sekolah yang tidak ingin menanggung malu serta didera kekhawatiran kalau setahun berikutnya, sekolah itu akan ditinggalkan siswa karena tingkat kelulusannya rendah.

Dari kasus-kasus di atas, kita bisa bersama-sama melihat betapa dampak dari kebijakan ujian nasional tersebut bukan saja mengakibatkan gangguan kesehatan mental yang luar biasa bagi para siswa, melainkan semua orang yang bersinggungan dengan siswa tersebut. Dapatkah ini dikatakan stress nasional?

Jikalau jumlah pelajar di Indonesia mencapai sekitar 58 juta pelajar yang terdiri dari 8 juta pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 50 juta siswa sekolah dasar (SD) serta Sekolah Menengah Pertama (SMP), maka jumlah orang tua yang ikut stress kurang lebih sebesar angka itu. Jumlah ini bisa bertambah jika ada orang tua yang memiliki dua anak atau lebih yang bersekolah di tempat berbeda serta kedua anak itu sama-sama menghadapi ujian.

Dengan simulasi sederhana ini, apabila jumlah penduduk total Indonesia sebanyak 250 juta jiwa berarti hampir separuh penduduk Indonesia mengalami kecemasan dikarenakan ujian nasional. Perhitungan ini belum termasuk guru yang berjumlah sekitar 2,7 juta orang,  pejabat pendidikan yang entah berapa jumlahnya, serta pihak-pihak terkait lainnya yang sulit ditengarai.

Jika bencana gunung merapi bisa dikatakan bencana nasional karena dampaknya yang luas, maka ujian nasional ini bisa dikatakan sebagai stress nasional karena dampaknya juga sangat luas hingga ke pelosok negeri.

Namun demikian, nampaknya pihak pemegang kebijakan tidak begitu memperhatikan hal hal ini. Sudah bertahun-tahun kebijakan ini tetap dipaksakan untuk dilanjutkan. Sejak pertama kebijakan ini diterapkan, berbagai kasus bermunculan mulai dari contek mencontek, guru mengganti jawaban siswa, orang tua rela anaknya ditiduri dukun, bahkan sampai bunuh diri. Namun, apa respon pemerintah untuk ini? Bela sungkawa? Turut prihatin? Atau apa lagi?

Kasus-kasus tersebut seharusnya dijadikan indikasi bahwa kebijakan ini berdampak pada anomali perilaku yang sifatnya melanggar hukum, aturan norma di masyarakat, dan kesehatan mental bagi siswa dan orang-orang disekitarnya. Jikalau orientasi kebijakan ujian nasional hanya melulu pada hasil lulusan dengan standar nilai tertentu, maka kebijakan ini justru membatasi potensi siswa yang sangat beragam jumlahnya. Akibatnya, sekolah yang semestinya merupakan tempat yang mensejahterakan siswa secara psikologis, tempat yang menyenangkan untuk belajar akan banyak hal, dan wadah dimana siswa dapat terfasilitasi untuk tumbuh dan matang, menjadi tempat yang sarat dengan pengejaran standar kelulusan saja dan mengabaikan pembelajaran lain. Bagaimana tidak? Semua sekolah mencurahkan semua waktunya untuk mencekoki mata palajaran yang di UN kan, semua waktu luang dan jam kosong digunakan untuk mata pelajaran-mata pelajaran UN. Hal ini kemudian menjadikan siswa yang kesulitan memahami Bahasa Inggris, tiba-tiba dipaksa untuk bisa lulus ujian Bahasa Inggris. Siswa yang kesulitan berhitung, tiba-tiba dipaksa untuk lulus ujian matematika. Akhirnya, para siswa tidak bisa mengembangkan potensi sesuai benih-benih yang sudah tertanam dalam dirinya demi untuk memenuhi kebijakan pemerintah. Bagi mereka yang terpaksa tidak siap, potensi untuk mencari jalan pintas akan semakin besar karena berbagai pertimbangan akibat jikalau tidak lulus seperti malu dan semacamnya. Maka dari itu, kecuranganlah yang menjadi ujungnya. Kita semua bisa membayangkan kalau pencapaian kelulusan diperoleh dengan kecurangan maka dalam skenario ini sistem akan diposisikan sebagai musuh yang harus dikalahkan oleh siswa dan sangat mungkin ini menjadi hal yang biasa di masa kehidupannya mendatang sehingga lestarilah yang namanya kong kalikong, korupsi, dan semacamnya kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun