Di musim liburan seperti ini, tentu momen terbaik tidak lain adalah tamasya, mengunjungi tempat-tempat yang dapat membuat hati terasa "plong". Terlebih bagi mereka yang bekerja di bawah tekanan. Liburan menjadi sesuatu yang sangat dinanti-nanti. Kebanyakan orang memilih pantai sebagai tujuan utamannya. Semilir angin dan suasana sejuk pantai kerap diincar, sebab bisa melahirkan rasa nyaman. Terlebih duduk bersama orang terdekat sambil minum es degan maka suasana akan dua kali lipat lebih nikmat.
Namun, adakalanya kita tidak melulu mengincar pantai sebagai pelampiasan hari libur. Sebab ada tempat lain yang juga dapat melahirkan kenyamanan itu. Perlu senorkling lebih dalam, menyelami tempat-tempat wisata lain selain pantai yang tempatnya tidak kalah nyaman. Salah satunya Candi Cetho, ini sangat rekomendet untuk dijadikan destinasi wisata. Puncak purba, demikian aku menyebutnya. Sebab tempatnya berada di puncak bukit. Di puncak kita tidak hanya disuguhkan macam-macam candi saja melainkan juga bisa menikmati semilir angin yang masih ranum dari alam-alam yang rindang disekitar. Serta kita bisa duduk menghadap ke hamparan pemandangan alam yang begitu indah. Terlebih kita bisa menyelami sejarah setempat sebagai tambahan pengetahuan. Sehingga kita bisa menikmati alam sekaligus belajar sejarah di dalamnya.
Candi yang lahir di zaman Majapahit ini terletak di Desa Gumeng, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi yang memiliki corak Hindu ini  halamannya berteras dengan susunan 13 teras meninggi ke arah puncak. Cukup melelahkan ketika kita mendakinya, tetapi dengan Geliga Krim kita BebasPegal,  sehingga BebasKeManaSaja, salah satunya menikmati pemandangan alam yang begitu indah. Bentuk bangunannya berteras, mirip dengan bentuk punden berundak masa prasejarah. Bentuknya yang unik tersebut membuat Candi ini sudah sangat dikenal di Pulau Jawa. Selain tempatnya yang terletak di dataran tinggi, dengan ketinggian sekitar 1496 m dari dataran laut dan memiliki ukuran panjang 190 m dan lebar 30 m, Candi ini juga menyimpan situs sejarah edukasi.
Cerita Garudeya ini menyisakan sebuah pelajaran yang berharga, terlebih bagi mereka para anak-anak. Sebuah ketaatan dan cinta kepada sang ibu. Garudeya memberikan contoh perjuangannya yang tidak menghitung arus resiko demi membebaskan ibunya dari budak Kadru itu.
Selain itu masih banyak cerita edukasi lainnya yang disuguhkan di Candi yang konon di eranya sebagai tempat ibadah itu. Meskipun beberapa arca yang berwujud manusia belum dapat didefinisikan satu persatu. Namun, secara umum tidak menunjukkan ciri-ciri dewa-dewa tertentu. Barangkali arca-arca ini perwujudan tokoh wayang. Di dalamnya mengandung pesan nilai yang begitu mendalam.
Candi Cetho pertama kali dikenal dari laporan penelitian Van Der Vilis pada tahun 1942 yang kemudian penelitian dan pendokumentasian dilanjutkan oleh W. F Stuterheim, K. C. Crucq dan A. J Bernet Kempers. Kemudian dilengkapi oleh Robert Darmosoetopo dkk pada tahun 1976. Dilanjutkan pada tahun 1975/1976 Sudjono Humardani melakukan pemugaran terhadap Kompleks Candi Cetho dengan dasar "perkiraan" bukan pada kondisi asli. Dengan kata lain pemugaran tersebut tidak mengikuti ketentuan pemugaran cagar budaya benar.
Adapun fungsi Candi ini sebagai tempat ruwatanjuga dapat dilihat melalui simbol-simbol dan mitologi yang disampaikan oleh arca-arcanya. Mitologi yang disampaikan berupa cerita Samudramanthana dan Garudeya. Sedangkan simbol penggambaran arca phallus, yakni kelamin laki-laki yang bersentuhan dengan arca vagina (alat kemain wanita). Wujud itu dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.
Perjalanan menuju lokasi terbilang sangat mudah, kita bisa menggunakan mobil maupun motor. Meskipun jalannya mendaki namun suasana alam akan menghibur dan melupakan tantangan jalan. Dari arah Ponorogo, perjalanan bisa ditempuh dengan waktu sekitar dua jam setengah jam mengendarai motor. Waktu itu kami berangkat pukul 08:00 WIB. Lewat Cemoro Sewu kami menembus kabut-kabut yang kebetulan telah turun. Terasa di hamparan salju. Suasana sejuk dan dingin menambah kemenarikkan perjalanan waktu itu. Perjalanan yang lumayan memakan waktu lama dan melelahkan bagi pengendara motor, tidak lupa kami selipkan Geliga Krim di tas kami untuk mengantisipasi badan pegal-pegal.
Suasana alam yang sejuk melupakan kami pada jarak tempuh. Terasa dekat, dan rasanya kurang untuk dinikmati sesaat. Butuh waktu lama, agar kita benar-benar puas menghirup udara sejuk dari alam sekitar. Selain Candi Cetho, kami juga disuguhkan kenikmatan alam sepanjang perjalanan. Selain itu juga ada refrensi lain di sekitar Candi Cetho yakni Candi Sukuh, yang tempatnya juga tidak kalah indah dengan Candi Cetho. Selamat berliburan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H