Diskusi itu menjadi lebih menarik, sahut bersahut sampai menjalar ke topik lainnya, salah satunya mengenai Pajak. Barangkali tidak kalah ngeri jika membahas mengenai pajak, sebab praktiknya dikeluhkan oleh masyarakat. Jika dirunut lebih jauh ke dalam hati masyarakat, sontak mereka menolak keras-keras, "lemah-lemahku dewe, tak open-openi dewe, la kok ijek dipajeki, larang sisan" (tanah-tanahku sendiri, saya hidup-hidupi sendiri, la kok dipajeki, terlebih pajaknya mahal), protes Pak Umar yang sepertinya memang gemes dengan keadaan saat ini.
Bukan apa-apa, naiknya tarif pajak dan naiknya harga pokok tidak seindah naik gaji kok. Bisa menjadi musibah bagi mereka. Terlebih masyarakat menengah ke bawah. Barangkali keadaan demikian persis seperti beberapa lirik puisi Ahmadun Yosi Herfanda, demikian; //aku masih tertatih/ di bawah patung kemerdekaan yang letih//Â dan di akhir dengan tegasnya //karena, itu maaf, saat engkau/ menyapaku, merdeka?/ dengan rasa sembilu/ aku masih menjawab, belum//Â sebab paradoks dan ironi tumbuh subur di deretan kehidupan sosial saat ini.
"Terus kedah pripun nek sampun ngoten niki Pak",(terus harus bagaimana kalau sudah seperti ini Pak?), sahutku. "Ya piye maneh mas, kudu narimo, paleng yo wes dalane seng kuoso, anggap wae amal nglakoni lelampahane ing ndonyo Mas, penting akur karo dulur lan tonggo"Â (bagaimana lagi Mas, harus menerima, mungkin sudah jalannnya yang Kuasa, anggap saja amal menjalani perjalanan di dunia Mas, penting baik dengan saudara dan tetangga) begitu mentes (mantep) sahut Pak Umar, seorang mekanik motor. Penjelasan Pak Umar ini jika dirunut lebih lebih jauh serupa pereda hati yang jengkel. Jika disampaikan ke tempat lebih tinggi (pemerintah), mewakili protes ketidakadilan yang semakin tumbuh subur.
Kami ngobrol di sebuah warung. Ini agak moderen, sang pemilik sudah menamainnya sebagai cafe, namun saya masih meyebutnya sebagai warung. Pertemuan itu mengundang diskusi panjang kali lebar kali lebar. Mulai dari sejarah Ponorogo, kebudayaan Ponorogo, tentang konflik sosial, tentang akademika, teori. Apa saja pokonya di bahas. Meski pertemuan berlangsung malam, diskusi warungan itu terasa masih sore, begitu alot. Menyatukan sudut pandang keilmuan menjadi satu kesimpulan yang menarik.Â
Obrolan lahir ngalor ngidul. Begitu banyak materi menarik yang bermunculan dan menjadi bahan pembahasan bersama, (i) soal relitas sosial yang menjadi keluhan bersama, (ii) soal pemerintahan yang menjadi ironis bersama, (iii) soal ide-ide gila dari orang-orang gila (ngawur tapi pinter) yang jeluntrungnya lebih menyuburkan tatanan sosial, (iv) juga mengenai sejarah perjuangan yang mulai mereduksi di jaman ini, dan masih banyak yang lain.
Itulah suasana warung yang perannya bisa sebagai terapi kehidupan. Sebab banyak teman, kalau lagi susah, di warung kita masih menjumpai orang yang lebih susah. Ini yang kemudian membuat lebih bersyukur. Kalau sedang senang, di warung kita bisa menjumpai orang-orang yang kurang senang, itulah kemudian sewajibnya kita melebihkan untuk bersyukur, terlebih bisa berbagi kesenangan. Â
Sampai-sampai melalui diskusi sederhana warungan, ada pesan penting yang dapat dipetik dan kemudian dijadikan pelajaran berharga dalam kehidupan ini. Barangkali ungkapan Pak Umar di akhir menjadi kata kunci yang menarik untuk dijabarkan. Dalam pandangan Jawa yang disampaikan Pak Umar masuk dalam salah satu hasta sila,yakni sikap narima(menerima), menerima jalan kehidupan yang diberikan Sang Kuasa.
Melalui permasalah yang ada saat ini, contoh kecilnya masalah pajak, dan harga pangan yang naik, sikap narima barangkali bisa menjadi alat kerelaan untuk ikhlas menerima. Meski dalam konteks kehidupan sosialnya keadaan demikian disinyalir ditompangi kepentingan-kepentingan tertentu.
Namun sekali lagi, ajaran menerima juga dirasa penting untuk meyakinkan diri bahwa ini sebagai jalan Tuhan untuk memberikan kebaikan. Masalah kepentingan-kepentingan, sepenuhnya telah menjadi kepasrahan manusia kepada Sang Kuasa untuk memilih mana yang semestinya diberi kebaikan dan mana yang semestinya diberikan peringatan, seperti istilah adik saya "ben doso dewe (biar dosa sendiri)".
Perjalanan warungan tidak selamanya negatif. Selain hargannya yang murah, menunya juga tidak kalah enak, warung juga bisa memunculkan hal-hal yang positif. Meski bercampur bahasa macam; dancukan, dan lainnya, namun jika diramesi dengan ilmu sosial yang objektif, mengandung makna strategis dan bermakna. Tidak semua dancuk berefek negatif, seperti di Ponorogo, Trenggalek, terlebih Surabaya, cukini bisa semacam keakraban yang lebih merekatkan, juga ekspresi dancukannya bisa menjadi guyonan yang menarik. Bahkan bagi Sujiwo Tejo, dancuk bisa menjadi dirinya, yakni presiden jancukers, yang selalu menjadi sebuah kerinduan, dan makna mendalam.