"Timbo marani sumur", barangkali aku masih sangat ingat dengan ungkapan Jawa tersebut yang disampaikan Mbah Tasmiran (sesepuh Jawa) beberapa waktu lalu dalam sebuah obrolan yang tidak sengaja. Banyak hal dalam obrolan itu muncul, salah satunya adalah ungkapan filosofis timbo marani sumur.Sederhana memang, tapi barangkali tidak untuk makna yang terkandung di dalamnya. Ungkapan tersebut berbau pesan filosofis, jika kita berenang jauh ke dalamnya maka kita akan menemukan alir makna yang sangat luar biasa. Timbodalam ungkapan tersebut bagi masyarakat Jawa mewakili sebuah alat yang digunakan untuk membawa air, atau sebagian orang menyebut ember. Sedangkan sumuradalah sumber air. Jika dikaitkan dalam kehidupan sosial saat ini timbobisa diasosiasikan bagi lelaku kehidupan (manusia) dan sumur adalah sumber kehidupan/ komposisi hakikat kehidupan itu sendiri. Inilah yang dalam istilah lain serupa ngembara ngunduh ilmu(berjalan memetik ilmu), yang jika dipahami sangat berkesan.
Seperti beberapa hari yang lalu, tepatnya di sekretariat Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo,sebanyak 20an mahasiswa dari Universitas Sunan Giri Surabaya tengah ngembara menemukan ilmu.Mereka jauh-jauh datang dari Surabaya ke Ponorogo untuk nggayuh ilmu (khusunya ilmu tulis). Sekaligus silaturahim.
Acara yang bertajuk sharing itu dikemas lain. Di temani komunitas Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, acara tersebut tidak hanya sekedar ngobrol lisan tetapi juga sekaligus ngobrol hati. Sebab mereka sejak awal datang dengan membawa mimpi dan harapan yang luar biasa dalam hatinya. Tidak saja mereka (mahasiswa dari Surabaya) yang nimboilmu tetapi sebaliknya, para komunitas SLG pun demikian nimboilmu dari mereka. Sebab dalam dunia kelimuan, nimbotidak mesti di tempat-tempat khusus, tetapi di mana saja, kapan saja juga dengan siapa saja kita bisa nimboilmu. Dalam puncak literasinya sebagai sebuah pemaknaan, yakni memaknai apa saja yang ada dalam kehidupan ini.
Acara yang berlangsung siang hari itu berawal dari sebuah pertemuan di facebook antara Sutejo (Ketua adat sekolah literasi) dengan Gus Ismail (Salah seorang dosen Universitas Sunan Giri Surabaya). Pertemuan yang menarik, sebab ada sangkut pautnya dengan kegiatan saat itu, yakni melalui tulisan-tulisan yang ada facebook. Melalui tulisan itulah satu sama lain bisa serupa komunikasi hati, melihat lebih dalam satu sama lainnya. Berlanjut sebuah komunikasi pribadi, dan merekat kedekatan sampai akhirnya serasa mengikat pertemanan yang luar biasa; hinggal lahir sebuah relosi diri yang empati.
Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari pertemuan itu, diantaranya; (1) menulis dapat merekatkan hati, (2) dengan menulis kita bisa melihat lebih dalam satu sama lain, (3) menulis adalah ladang ilmu, tidak saja ilmu fikiran tetapi juga ilmu hati, (4) dengan menulis bisa merubah dunia, (5) menulis serupa jalan peribadatan yang khusuk.
Pertama,mengenai menulis dapat merekatkan hati. Kita bisa belajar dari kisah Kusin dan Kasim, mereka seorang petani di Jepang. Setiap hari mereka hanya bertengkar masalah hutang piutang. Sebab satu dengan yang satunya tidak sama. Misal satu ingat mempunyai hutang 2.000 tetapi satunya malah ingat 3.000, itu yang kemudian membuat mereka setiap hari hanya bertengkar. Sampai pada suatu waktu, mereka membuat kesepakatan bersama, yakni menuliskan hutang piutang setiap harinya. Semenjak itulah Kusin dan Kasim bisa berdamai dan tidak lagi muncul pertengkaran diantara mereka. Kisah itu yang oleh beberapa tokoh disebut sebagai sejarah lahirnya literasi di Jepang. Sampai berlanjut sampai saat ini literasi serupa jembatan yang menghantarkan negara tersebut berandil besar dalam proses perubahan yang luar biasa.
Melalui kisah tersebut, kita tidak saja fokus pada hutangya tetapi proses menulisnya. Sebab melalui menulis mereka bisa meengingat pada suatau kejadian lampau. Mengenai hutang-hutanya, dengan menulis mereka bisa melacak jejak-jeka hutangnya, dengan menulis mereka bisa saling terbuka dan saling sama tau. Pengaruh menulis yang dialami Kusin dan Kasim, barangkali dapat dijadikan sandaran dan keyakinan, bahwa keberadaan tulisan itu memiliki pengaruh luar biasa.Â
Seperti ungkapan Pamudya Ananta Toer yang kurang lebih berbunyi demikian; "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." kita musti belajar dua kali dengan ungkapan Pram. Bahwa menulis serupa seperangkat jiwa, yang dalam prakterkya tidak hanya melibatkan fikiran saja tetapi juga hati. Itulah kemudian menulis dapat merekatkan hati, sebab kita dilatih untuk menggunakannya setiap kali menulis.
Kedua,melalui menulis kita bisa melihat seseorang lebih dalam. Kita bisa belajar banyak dari pertemuan Gus Ismail dengan Sutejo, yang sejatinya pertemuan itu berlatar belakang dari hasil sebuah tulisan. Bahwa buah tulisan itu serupa akar kehidupan, yang mampu menjalar tidak saja dalam satu tempat tetapi jaraknya tidak terbatas. Atau juga dari pengalaman SLG yang mendatangkan tokoh-tokoh besar, yang diantaranya pertemuannya bermuara dari tulisan.Â
Seperti Muche Rifai yang jauh-jauh dari Kalimantan ke Ponorogo berkat sebuah tulisan, juga J Sumardianta yang kemudian serupa keluarga di SLG juga berawal dari sebuah tulisan, dan masih banyak contoh nyata lain yang kemudian semakin meyakinkan bahwa menulis memiliki pengaruh yang sangat luar biasa.
Selain untuk memperdalam orang lain dengan menulis kita juga bisa melihat diri kita sendiri. Sebab, menulis sama halnya menaruhkan segala diri dalam sebuah penuangan yang bermakna. Â Ketika menulis kita bisa merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan dalam diri kita. Seperti ungkapan Sujiwo Tejo, macam soan pada diri kita sendiri untuk menemukan butir ilmu yang bermakna.
Ketiga,dengan menulis kita bisa mendapatkan banyak ilmu. Sebab menulis serupa pintu untuk menggunjungi banyak kolam ilmu yang sangat indah. Sebab menulis selalu berpasangan dengan membaca, yang sehatinya sebagai gudang ilmu. Keduannya saling berkait dan saling mendukung. Membaca memiliki peranan yang sangat penting seperti yang diungkapkan Ursula K. Leguin (dalam Hernowo, 2008:29), yang ungkapannya kurang lebih berbunyi demikian "Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri.Â
Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain, entah mereka nyata atau hanya imajiner, sesungguhnya merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai apa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi apakah kita saat ini", ungkapan tersebut barangkali bisa kita renungkan lebih dalam mengenai manfaat membaca dalam menulis. Tidak salah kemudian melalui menulis kita bisa mendapatkan banyak ilmu.
Keempat,dengan menulis dapat merubah dunia. Hal ini mungkin kita bisa menengok mengenai kisah Shakespeare (tokoh yang berpengaruh di negara Inggris), bahwa pembawaanya sebagai seorang sastrawan membuat dirinya menjadi yang terpenting di Inggris. Shakespeare bagi Inggris jauh lebih penting dari India. Inggris tanpa India tetap Inggris. Namun Inggris tanpa Shakespeare akan kehilangan citranya.Â
Hal ini tidak lain sebab pengaruh dari karya-karyannya, yang kemudian mewakili citra Ingggris sebagai bangsa berkebudayaan tinggi melalui sastra. Bahkan di Inggris keberadaan sastra dan penulis (sastrawan) begitu bermarwah, bermartabat, serta berwibawa di mata Negara, sampai-sampai membaca menjadi sebuah kebudayaan. Di kesempatan lain, di Jepang misalnya, berkat dunia tulisnya (literasi) mampu menjadikan negara tersebut begitu kokoh. Sebab sekali lagi menulis dapat merubah dunia, bahkan peradaban sekalipun. Ide-ide sekaligus gagasan-gagasan yang muncul dalam menulis disinyalir serupa alat baru yang dapat dijadikan refleksi bersama.
Kelima,menulis merupakan salah satu jalan peribadatan yang khusuk. Sebab dalam menulis kita tidak saja memikirkan diri sendiri tetapi juga orang lain, terlebih Sang Kuasa. Dengan menulis juga kita bisa lebih dekat dengan sang pemilik hidup, dengan menulis kita bisa jauh masuk ke dalam hati. Permuaraan macam itulah beberapa ibadah sosial kita selain ibadah wajib lima waktu. Bahkan dalam sejaran Islam, menulis menjadi sarana dakwah yang luar biasa. Sebab praktiknya langsung menyentuh hati. Tidak salah jika kemudian ulama-ulama kita  terdahulu hampir semua memiliki keahlian dalam dunia tulis menulis, seperti; Imam Syafi'i dengan buah tulisnya berupa  kitab al-Umm, Imam Ahmad dengan Musnad-nya, Buya Hamka dengan tafsir Al Azharnya, hingga Imam Malik dengan karya fenomenalnya Al Muwattha'.
Di akhir, kembali ke ungkapan Mbah Tasmiran barangkali dalam hal ini menulislah yang disebut sebagai sumur,sebab di dalamnya mampu mengeluarkan sumber-sumber kehidupan yang dapat mengisi timbojiwa kita. Bahkan menulis akan lebih kompleks mengisi timbokita; macam ilmu jiwa, sosial, religius, juga kedalaman hati. Untuk itu dapat kita simpulkan bersama bahwa menulis adalah lelaku kehidupan yang melahirkan buah ilmu yang tidak terbatas.Â
Menulis sebagai peribadatan paling abadi, tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Â Menulis juga bisa mengubah seseorang, dari yang tidak tau diri sendiri/ orang lain bisa menjadi jauh lebih dalam kenal dengan diri sendiri dan lebih menghormati orang lain. Bahkan seperti ketegasan Pramudya Anatatoer; "bahwa menulis suatu pekerjaan dalam kebadiaan", yang akan mengabadikan sejerah-sejarah dalam kehidupan ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H