Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengembaraan Batin di Balik Serat Tripomo

17 April 2017   12:41 Diperbarui: 17 April 2017   22:03 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kebersamaan panitia dan Kru SLG dengan Sujiwo Tejo.|Dokumentasi pribadi

Jika mendengar nama Sujiwo Tejo, sontak yang terbesit pertama dalam pikiran saya adalah “Jancuk”, bukan apa-apa ungkapan yang di bagian tempat jorok itu sudah menjadi kerinduan untuk diucapkan ulang dari lelaki yang disahkan sebagai presiden janjukers itu. Bahkan “jancuk” digubahnya menjadi lirik lagu yang entah ketika dinyanyikan lupa bahwa itu ucapan jorok. Terasa ada sisi lain yang melatar belakangi munculnya ungkapan itu. Sampai-sampai menjadi icon yang melekat pada dirinya. Bahkan tidak jarang nama itu dipakai oleh banyak orang yang senang dengannya, dengan membentuk komunitas janjukers. 

Selain dari “janjuknya”, yang selalu tergiang ketika mendegar nama Sujiwo Tejo adalah kata-kata bijaknya yang tidak sedikit membuat melek otak banyak orang. Kata-katanya sering menyihir pembaca untuk menerawang jauh ke dasar pemaknaan, dan mencoba menggali sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.  

Lelaki yang juga seorang dalang itu tidak diragukan lagi mengenai kemampuannya, segalanya bisa (menulis, melukis, menyanyi, bermusik, dan mendalang). Bahkan dunia perwayangan yang saat ini tengah didalaminya nampak sudah menyatu dalam jiwa dan raganya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa bukunya yang membahas beberapa tokoh pewayangan. Termasuk buku ke duan dari triologi Serat Tripama, yang kemarin (09/04/17) di launching perdana di Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo.

Lelaki yang pernah menjadi wartawan selama delapan tahun itu menguak sisi unik mengenai buku terbarunya itu. Pertama, ia menjelaskan alasannya kenapa memasukkan berbagai seni di dalam bukunya (ada seni lukis, seni musik dan seni tulis), mungkin orang melihat sekilas terlihat rancu, dan sulit untuk disinambungkan terlebih bukunya membahas mengenai perwayangan. Namun, inilah Sujiwo, yang memberikan sisi-sisi unik. Kemasan itu sengaja dilakukan untuk memberikan kesan lain, menyuguhkan kepada pemabaca hidangan baru.

“Kalau orang menulis, sudah banyak. Orang melukis saja juga banyak, orang bermusik saja juga banyak. Namun tidak banyak orang yang mengemas semuannya menjadi satu”, jelasnya alasan pilihan itu. Penggabungan berbagai bidang seni memang jarang dilakukan oleh banyak orang. Kebanyakan jika seni tulis, ya tulis saja, begitu juga dengan lukis dan musik hanya fokus pada satu bidangnya.

Ia juga menjelaskan alasannya kenapa sangat tertarik dengan wayang. Wayang baginya adalah gudang ilmu, di dalamnya terdapat banyak sekali makna-makna filosofi yang sampai saat ini belum selesai dipelajari. Dari pewayangan banyak teladan yang diajarkan dari kisah dan tokohnya. Bukan saja keteladan jiwa tetapi juga pikiran. termasuk ketika melihat sesuatu. Melalui ajaran wayang kita diajarkan untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

Pada kesepata itu Sujiwo Tejo mengilustrasikan pelajaran itu dengan menjadikan Ulil (salah satu rekannya) sebagai objek. Peserta diminta melihat Ulil dari berbagai sudut.  Dari sisi depan ada yang mengatakan Ulil cantik, dari sisi kiri mengatakan Ulil cerdas, dari sisi kanan mengatakan Ulil manis. Berbeda sudut penglihatannya, berbeda juga apa yang dilihat. Bisa jadi satu sudut saja yang benar tetapi mungkin juga semua sudut benar. Ilustrasi itu yang kemudian menarik untuk direnungkan maksudnya. Semacam nilai kebenaran itu adalah sudut pandang.  Tergantung dari mana kita melihatnya.

***

Saat penulis serat tripomo bicara.|Dokumentasi pribadi
Saat penulis serat tripomo bicara.|Dokumentasi pribadi
Foto: Sujiwo Tejo saat menyampaikan materi.|Dokumentasi pribadi
Foto: Sujiwo Tejo saat menyampaikan materi.|Dokumentasi pribadi
Pada episode kedua Serat Tripama kali ini ia bercerita tentang Kumbakarna, adik kandung Rahwana. Si raksasa yang doyan tidur melulu ini adalah salah satu orang menentang cinta Rahwana kepada Sinta, selain juga Wibisana. Ketika Rama bersama bala tentara kera mengepung Alengka, Kumbakarna menolak ajakan Rahwana untuk ikut berperang melawan Rama. Sementara itu, tentara Alengka mulai berguguran satu per satu, dan bala tentara kera terus menggempur Alengka. Hingga suatu hari, Kumbakarna tidak sengaja melewati sebuah taman. Dari taman itu, terdengar alunan musik yang sangat menyentuh hatinya. Kumbakarna yakin bahwa yang memainkan musik itu pastilah seorang perempuan. Benar saja, ternyata yang memainkan musik dari taman itu adalah Dewi Sinta.

Kumbakarna teringat istrinya, Dewi Aswani, yang juga suka bermain musik. Walau kini Dewi Aswani tak pernah lagi bermain musik, namun di dalam mimpi Kumbakarna, Dewi Aswani terus bermain musik. Itulah alasan kenapa Kumbakarna doyan tidur, karena hanya di dalam mimpinya dia bisa mendengarkan istrinya bermain musik. Ketika Kumbakarna melihat Sinta bermain musik, dirinya langsung mengerti alasan Rahwana jatuh cinta kepada Sinta. Tanpa pikir panjang, Kumbakarna langsung maju ke medan perang.

***

Kisah itu yang kemudian semakin memperjelas ketertarikannya terhadap dunia perwayangan. Sampai-sampai lelaki yang selalu mengenakan topi koboy itu mengatakan bahwa tidak ada ruginya mempelajari wayang, justru yang rugi adalah mereka yang tidak mempelajari wayang. Ilustrasi yang dicontohkan diawal salah satunya wayang mengajarkan mengenai sejatinya kaweruhyang membuka banyak sudut untuk menilai sesuatu. Bukan semata-mata menganggap satu sudut pandang yang paling benar, tetapi memungkinkan sudut lain berandil pada kebenaran.

Pertemuan yang merupakan agenda dari Sekolah Literasi Gratis (SLG) juga bagian dari road showdialog budaya dan musikalisasi Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati yang berlangsung 2016 yang lalu itu menyisakan banyak sekali pesan-pesan penting, diantaranya; (a) pesan mengenai cinta, (b) pesan mengenai keyakinan, (c) pesan mengenai kebersamaan, (d) pesan mengenai keinginan/ kepuasan, dan (e) pesan mengenai ke-Indonesiaan.

Mengenai cinta, aku masih ingat betul bagaimana Sujiwo Tejo mengambil contoh puisi W. S Rendra yang majemuk jika kita pahami kedalamannya kemudian dilantunkan di hadapan penonton. Liriknya kurang lebih demikian //wanita itu bagaikan belut/ meski kau kenal lekuk tubuhnya/ tapi sukmanya luput dari gengamanmu//.Lirik itu mengandung pemahaman yang luar biasa. Menggiring pada rumah cinta dalam ralitas yang ada. Lirik ini bicara macam pertapaan hati, bukan semata kita tuliskan nama cinta. Namun, ke dalamnya entah setiap orang tidak akan tau. Luput dari gengamannya. Meski telah tinggal bertahun-tahun dan disetubuhi selama itu juga sampai hafal lekuk tubuhnya, letak panu, juga letak rambutnya. Tapi tidak seorang pun akan tau bagaimana rupa jiwannya kecuali dirinya dan Sang Kuasa.

Pelajaran cinta yang lain bisa diambil dari cerita pewayangan Dewi Arimbi, yang sejatinya dianggap cantik itu hanya penafsiran Bima. Sampai Bima mengatakan Dewi Arimbi adalah perempuan yang paling cantik. Namun, penilaian ini belum bersifat pasti, belum tentu di mata yang lain. Bisa saja sebaliknya, tidak secantik ketika Bima melihatnya. Inilah ajaran cinta yang dalam bahasa Sujiwo Tejo adalah salon terbaik atau soal martabat. Cinta bisa membalikkan segalannya, meski dalam kisah cinta itu yang satunya berwujud raksasa namun berkat cinta bukan lagi kendala untuk tidak menerima. Sebab cinta sejati tidak menuntut pengembaliannya, tetapi menerima kekurangannya dengan baik.

Kemudian pesan lain yang tidak kalah menarik adalah mengenai keyakinan. Dimulai ketika salah satu peserta dari Kalimantan Selatan menanyakan mengenai kerisauan yang dirasakan saat ini. Bahwa ia merasakan bimbang setelah melihat orang yang mengajari baik justru berbuat tidak baik, orang yang bertutur alim, malah tidak mewujudukan kealimannya, orang bertutur bijak malah sebaliknya. Kemudian siapa lagi yang patut kita yakini di dunia ini?. Jika melihat realitas saat ini, kasus macam itu kerap sekali terjadi. Bahkan aku-pun kadang demikian, bingung memilah mana sejatinya kebenaran yang mestinya aku tiru di dunia ini.

  Misal saja beberapa guru yang waktu lalu sempat menjadi sorotan karena tindakannya yang tidak menunjukkan ke warasannya. Guru yang semestinya digugu lan ditirutingkah kebaikannya.Namun, ada yang malah melakukan tindakan asusila macam pelecehan seksual, pembunuhan dan sebagainnya. Atau macam pemimpin yang diagungkan menjadi penuntun perubahan, justru mengerek kebobrokan atas kepentingan perut, kantong dan kekuasaannya. Kasusu semacam ini memang menajadi semacam ironi di kehidupan kita.

Foto: Sujiwo Tejo saat melantunkan lagu titi kala mangsa.|Dokumentasi pribadi
Foto: Sujiwo Tejo saat melantunkan lagu titi kala mangsa.|Dokumentasi pribadi
Pertanyaan itu kemudian menjadi bahan diskusi yang menarik. Sujiwo Tejo tidak percaya dengan apa yang diucapkan, tetapi ia lebih percaya kepada nada renungan—sambil melantunkan lagu titi kala magsadan ingsun yo—.Dengan itu kita akan jauh memikirkan banyak hal, mulai pengalaman, pemahaman, kesadaran dan jauh pada hati terdalam. Seperti syair-syair yang dalam setiap agama selalu dilantunkan. Kalau dalam islam ada sholawat, takbir dan sebagainnya. 

Syair-syair itulah yang kemudian akan membawa kita berpikir jauh pada diri sendiri, mana yang patut untuk dipercaya. Sebab tidak jarang syair-syair itu membuat orang akan menangis atas dirinya dan mengingat penciptannya. Kemudian ia mengangkat sebuah pesan penting dari pertanyaan itu, pesan itu kurang lebih demikian “Kita terlalu sering berkunjung ke Kyai, berkunjung ke Pastur, berjunjung pada Biksu, tetapi kita lupa untuk soan pada diri sendiri”, sebuah pemahaman mendalam bahwa diri sendirilah sejatinya kepercayaan itu berada.

Kemudian mengenai kebersamaan, ini pelajaran besar.  Ia sangat tida suka dengan orang yang membeda-bedakan agamanya dengan agama orang lain. Ia menganggap semuannya sama, memiliki keheningan untuk memohon kepada-Nya. Ini semacam wujud keimanan menuju Tuhan. Islam, Kristen, Hindu, dan sebagainnya serupa pilihan jalan yang dipilih masing-masing untuk menemukan surganya. Terlalu sulit memang untuk meyakinkan hal ini, terlebih yang sudah pada keyakinan kuat. Titik terangnya kebersamaan ini lebih mengarah pada pemahaman bahwa semuannya sama di mata Sang Kuasa, sederajat, semuannya ingi bahagia, semuannya akan lenyap, dan semuannya akan lahir. Keselaran untuk saling hormat dirasa terbaik, ketimbang membeda-bedakan yang akhirnya lupa pada imannya.

Makna lain yang tidak saya lupakan dari pertemuan itu adalah mengenai keinginan/kepuasan. Dalam ilmu Jawa (pewayangan) menurut Suryomantaraman keinginan/ kepuasan yang dimiliki manuisa itu serupa isolasi. Di tengahnya ada garis lurus menanandakan posisi netral. Jika seseorang tengah berada pada posisi keinginan maka grafik itu akan turun, dan naik ketika proses keingian itu tercapai sampai titik puncak pencapainannya. Namun, jika ia berkeinginan lain lagi, maka grafik garis itu akan turun ulang. Sama halnya ketika mengukur kepuasan. Tidak memandang tempat dan sebagainnya.

Atau dalam pemahaman lain kepuasan/ kebahagiaan itu sawang sinawang.Misal, orang yang baru membeli mobil mewah dengan yang membeli motor baru, tingkat kebahagiaannya sama antara dua sampai empat bulan ke depan dan selebihnya biasa-biasa saja. Atau ketika melihat pengamen yang tidur di teras ruko, memang terlihat tidak bahagia. Namun, ia bisa merasa lebih bahagia daripada mereka yang tidur di hotel berbintang tapi pikirannya tidak tenang.

***

Di akhir pertemuan itu, sedikit dapat saya disimpulkan bahwa wayang masih menjadi simbul keilmuan sejati, dan ajaran-ajarannya masih sangat relevan untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan modern saat ini. Mengenai mencuatnya isu penghapusan budaya wayang di dalam kehidupan yang beberapa waktu sempat ramai diperbincangkan, lantaran tidak sesuai dengan syariat Islam. Saya rasa orang yang mengangkat doktrin macam itu tengah khilaf dan terlalu muda untuk kemudian disebut menjadi keputusan bijak. Atau mungkin ia belum terbiasa makan blendrang,jadi pemikirannya masih terfosir pada menu berger yang ternyata tewel lebih enak.

Sebab jika kita benar-benar mendalami pewayangan, wayang semacam container yang membawa berangkas ilmu. Bukan saja ilmu akademik, tetapi ilmu lelaku (hidup), yang ini penting dalam kehidupan kita. Ajaran yang diterapkan dalam pewayangan sejatinya filosofi hidup yang sinambung dengan ajaran Tuhani. Semacam mengajarkan ilmu teles. Sebab hampir semua bentuk hakikat kehidupan dapat dipelajari dari pewayangan.   

Foto: Kebersamaan panitia dan Kru SLG dengan Sujiwo Tejo.|Dokumentasi pribadi
Foto: Kebersamaan panitia dan Kru SLG dengan Sujiwo Tejo.|Dokumentasi pribadi
Mungkin kita bisa berenung dari wejangan ini yang dimbil dari salah satu lirik babak goro-goro:

Goro-goro jaman kala bendu

Wulangane agama ora digugu

Sing bener dianggep keliru

Sing salah malah ditiru

Bocah sekolah ora gelem sinau

Yen dituturi malah nesu

Bareng ora lulus, ngantemi guru

Pancen perawan sakiki ayu-ayu

Ana sing duwur tor kuru

Ana sing cendak tor lemu

Sayang sethitik senengane mung pamer pupu.

 

****

#Nanang ES

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun