Jika mendengar nama Sujiwo Tejo, sontak yang terbesit pertama dalam pikiran saya adalah “Jancuk”, bukan apa-apa ungkapan yang di bagian tempat jorok itu sudah menjadi kerinduan untuk diucapkan ulang dari lelaki yang disahkan sebagai presiden janjukers itu. Bahkan “jancuk” digubahnya menjadi lirik lagu yang entah ketika dinyanyikan lupa bahwa itu ucapan jorok. Terasa ada sisi lain yang melatar belakangi munculnya ungkapan itu. Sampai-sampai menjadi icon yang melekat pada dirinya. Bahkan tidak jarang nama itu dipakai oleh banyak orang yang senang dengannya, dengan membentuk komunitas janjukers.
Selain dari “janjuknya”, yang selalu tergiang ketika mendegar nama Sujiwo Tejo adalah kata-kata bijaknya yang tidak sedikit membuat melek otak banyak orang. Kata-katanya sering menyihir pembaca untuk menerawang jauh ke dasar pemaknaan, dan mencoba menggali sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Lelaki yang juga seorang dalang itu tidak diragukan lagi mengenai kemampuannya, segalanya bisa (menulis, melukis, menyanyi, bermusik, dan mendalang). Bahkan dunia perwayangan yang saat ini tengah didalaminya nampak sudah menyatu dalam jiwa dan raganya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa bukunya yang membahas beberapa tokoh pewayangan. Termasuk buku ke duan dari triologi Serat Tripama, yang kemarin (09/04/17) di launching perdana di Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo.
Lelaki yang pernah menjadi wartawan selama delapan tahun itu menguak sisi unik mengenai buku terbarunya itu. Pertama, ia menjelaskan alasannya kenapa memasukkan berbagai seni di dalam bukunya (ada seni lukis, seni musik dan seni tulis), mungkin orang melihat sekilas terlihat rancu, dan sulit untuk disinambungkan terlebih bukunya membahas mengenai perwayangan. Namun, inilah Sujiwo, yang memberikan sisi-sisi unik. Kemasan itu sengaja dilakukan untuk memberikan kesan lain, menyuguhkan kepada pemabaca hidangan baru.
“Kalau orang menulis, sudah banyak. Orang melukis saja juga banyak, orang bermusik saja juga banyak. Namun tidak banyak orang yang mengemas semuannya menjadi satu”, jelasnya alasan pilihan itu. Penggabungan berbagai bidang seni memang jarang dilakukan oleh banyak orang. Kebanyakan jika seni tulis, ya tulis saja, begitu juga dengan lukis dan musik hanya fokus pada satu bidangnya.
Ia juga menjelaskan alasannya kenapa sangat tertarik dengan wayang. Wayang baginya adalah gudang ilmu, di dalamnya terdapat banyak sekali makna-makna filosofi yang sampai saat ini belum selesai dipelajari. Dari pewayangan banyak teladan yang diajarkan dari kisah dan tokohnya. Bukan saja keteladan jiwa tetapi juga pikiran. termasuk ketika melihat sesuatu. Melalui ajaran wayang kita diajarkan untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Pada kesepata itu Sujiwo Tejo mengilustrasikan pelajaran itu dengan menjadikan Ulil (salah satu rekannya) sebagai objek. Peserta diminta melihat Ulil dari berbagai sudut. Dari sisi depan ada yang mengatakan Ulil cantik, dari sisi kiri mengatakan Ulil cerdas, dari sisi kanan mengatakan Ulil manis. Berbeda sudut penglihatannya, berbeda juga apa yang dilihat. Bisa jadi satu sudut saja yang benar tetapi mungkin juga semua sudut benar. Ilustrasi itu yang kemudian menarik untuk direnungkan maksudnya. Semacam nilai kebenaran itu adalah sudut pandang. Tergantung dari mana kita melihatnya.
***
Kumbakarna teringat istrinya, Dewi Aswani, yang juga suka bermain musik. Walau kini Dewi Aswani tak pernah lagi bermain musik, namun di dalam mimpi Kumbakarna, Dewi Aswani terus bermain musik. Itulah alasan kenapa Kumbakarna doyan tidur, karena hanya di dalam mimpinya dia bisa mendengarkan istrinya bermain musik. Ketika Kumbakarna melihat Sinta bermain musik, dirinya langsung mengerti alasan Rahwana jatuh cinta kepada Sinta. Tanpa pikir panjang, Kumbakarna langsung maju ke medan perang.
***