"It is not your aptitude but your attitude that will determine your altitude"
                                                 Jesse Jackson
Dalam suasana peringatan Hari Guru Nasional, mungkin alangkah baiknya kita merenungkan kembali sejenak akan makna pendidikan itu sendiri, menghirup kembali semangat perjuangan para pahlawan pendidikan yang jasanya sangat besar dalam mendirikan dan mengisi kemerdekaan negeri ini. Mencoba mengingat kembali akar-akar budaya yang merupakan sumber kearifan akar, tujuan dari sistim pendidikan kita.
Kutipan yang diambil dari ucapan seorang aktivis sipil Amerika Serikat, Jesse Jackson, yang secara umum berarti "Bukan bakat yang menentukan ketinggian anda, tapi sikap anda" terasa masih sangat relevan dengan kondisi kekinian dan kedisinian pendidikan dan situasi negara kita.
Pendidikan itu sendiri mempunyai makna yang lebih besar dari hanya sekedar pengajaran, termasuk di dalamnya juga ada pelatihan, dan juga pembentukan.
Pengajaran biasanya adalah mengajarkan bagaimana menangkap konsep-konsep dengan menggunakan nalar yang runut, runtut, masuk akal, logis dan kemudian mengambil suatu kesimpulan berdasrkan data-data yang ada.
Sementara pelatihan adalah melatih gerakan setiap otot serta saraf-saraf halus agar bekerja secara sinkron, terkoordinasi, dan bersinergi dengan otak yang memiliki sistim saraf yang yang sangat kompleks dan ribet.
Sementara pembentukan karakter adalah bagaimana seseorang ditata spiritual dan intelektualnya, yang kemudian akan melahirkan mental serta moral. Jadi Pendidikan itu harus berawal dari karakter yang baik yang harus dimiliki oleh seorang guru, digunakan untuk menggerakan pengajarajn dan pelatihan dan berakhir dengan karakter yang baik pula.
Ketiga komponen tersebut harus selalu berjalan bersamaan dan beriringan. Pendidikan yang hanya menekankan satu komponen saja, atau memisahkan komponen-komponen tersebut, maka akan melahirkan manusia yang tidak utuh, manusia yang tidak akan sadar diri, sadar ruang dan sadar waktu. Dia akan menjadi orang asing bagi dirinya dan masyarakatnya.
Sama dengan pendidikan, dimana semua komponen harus bergerak bersama, bersinergi, maka semua unsur dalam masyarakat juga harus bergerak bersama, mempunyai visi dan misi yang sama tentang pendidikan ini. Sekolah, masyarakat, pemerintah, dunia kerja, dunia akademik harus saling bergerak, Â bahu membahu dalam menghadirkan anak-anak yang cerdas dan berkarakter yang tinggi.
Dalam pesan terakhir mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, beliau menginginkan agar merdeka belajar ini terus berlayar dan berkembang sehingga bisa mencetak pelajar yang berkarakter Pancasila.
Karakter yang berasal dari bahasa Yunani "Charassein" mempunyai arti to engrave, mengravir, mengukir sesuatu pada tempat yang keras, dimana memakan waktu yang lama, terus menerus, serta menggunakan alat dan keahlian yang khusus, sehingga dapat membentuk sesuatu yang kita inginkan, dan tidak mudah hilang. Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, demikian pepatah orang tua dulu. Bagi seorang pengukir yang baik, dia harus tahu bahan yang akan diukir secara detail, peralatan dan kemampuan dia, serta kondisi alam sekitarnya. Dalam pembentukan karakterpun demikian, guru sebagai pengukir harus mengetahui kemampuannya dan kondisi muridnya.
Sementara kata Charassein yang kemudian menjadi "Charakcter" dalam bahasa Yunani kemudian memiliki arti menjadi: tabiat, watak, budi pekerti, sifat dan sebagainya dalam bahasa Indonesia.
Dari sini kemudian makna karakter berkembang menjadi tanda khusus seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Bisa juga karakter diberikan arti sebagai, kepribadian, atau akhlak seseorang.
Akhlaq yang berasal dari bahasa Arab dari kata "Khalaqa" berarti cipta, atau karya, artinya bahwa akhlak itu sendiri memang sebuah proses panjang menciptakan kepribadian yang memiliki sifat-sifat al-Khaliq (Pencipta), takhaluq bi akhlaqillaahi, berakhlaqlah dengan akhlaqnya Allah. Landasan teorinya adalah bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah (mewakili) Allah di dalam memakmurkan bumi ini. Ketika manusia berperan sebagai wakil Allah di muka bumi ini, maka sifat-sifat Allah juga harus tercerminkan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Jadi jelas pembentukan akhlak dalam hal ini bertujuan agar manusia bisa bertanggung jawab atas fungsinya sebagai khalifa di muka bumi untuk memakmurkan bumi ini dan kehidupannya.
Terlepas dari perdebatan atau diskusi perbedaan makna karakter, akhlak, budi pekerti dan sebagainya, maka yang paling penting kita ;lihat adalah bahwa karakter ini tidak bisa dipisahkan dari spiritual dan intelektuan manusia.
Meminjam istilah matematika, bahwa karakter ini lahir dari adanya pertemuan dua garis yaitu garis  Y vertikal yang mencerminkan spiritual dan garis X horizontal yang mencerminkan intelektual. Kedua garis tersebut bertemu pada titik nol, dan memiliki IV kwadran, dimana sangat diharapkan adalah bahwa mental tersebut harus berada pada kwadran I, dimana Y dan X nya bernilai positif, dan apabila ditarik semakin panjang, maka di merupakan resultan dari spiritual yang semakin tinggi dan intelektual yang semakin panjang.nilai positifnya.
Tumbuh kembangnya karakter seorang anak tentunya harus dilihat seberapa jauh pengaruh spiritual dan intelektual, nalar yang baik dari seluruh komponen masyarakat, bukan hanya dari sekolah. Sekolah hanya sebuah aspek kecil dari keseluruhan kehidupan dimana, seluruh aspek kehidupan ini saling kait mengait dan mempengaruhi.
Dalam sosiologi kita mengenal istilah "sosialisasi yang tidak tuntas" yaitu faktor terbesar dari adanya perilaku menyimpang (deviant behavior) Â seorang anak. Yang dimaksud dengan "sosialisasi yang tidak tuntas" adalah bahwa sosialisasi, sebagai sebuah proses yang dilaksanakan untuk menanamkan nilai-nilai yang baik sebagai pembentukan karakter, tidak didukung oleh lingkungan, secara gampangnya adalah bahwa nilai-nilai yang diajarkan atau ditanamkan ternyata dalam kehidupan sehari-hari anak tersebut banyak melihat kejadian dan peristiwa yang tidak sesuai dengan yang ditanamkan baik oleh keluarga maupun gurunya. Contoh sederhanaya adalah bahwa untuk menggapai suatu posisi haruslah bekerja keras, jujur, cerdas dan berani, tetapi pada kenyataannya dengan sangat mudah seorang anak yang mengandalkan posisi orang tuanya dengan mudah menduduki tempat yang tinggi dengan tanpa perlu bekerja keras, jujur, bermoral dan beretika.
Hari Guru Nasional yang dirayakan dengan cukup mewah tahun ini memang waktu yang tepat untuk menggugat dan mengevaluasi ulang tentang pendidikan karakter Pancasila kepada setiap anak. Apakah komponen-komponen lain dalam masyarakat juga mau memberikan contoh yang baik, penghoematan kepada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kerja keras, nilai-nilai kejujuran dapatÂ
dilihat dan dicontohkan kepada para pelajar. Barangkali inilah yang paling penting dari pendidikan karakter, yaitu keteladanan. "Biarlah kamu mengajar dengan perbuatan kamu dulu, sebelum kamu mengajar dengan kata-kata" demikian ucapan dari seorang filusuf Libanon, Khalil Gibran.
Selamat Hari Guru Nasional, semoga guru semakin meningkat spiritual dan intelektualnya dan mempunyai mental dan moral yang baik , sehingga dapat menginspirasi murid murid menjadi berkarakter dan baik. Semoga seluruh lapisan masyarakat juga mendukung programa pelajar berkarakter Pancasila dengan selalu memberikan contoh laku yang baik kepada seluruh pelajar, generasi penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H