Terlepas dari polemik asal-usul Hayy bin Yaqdzan, apakah dia terlahir dari seorang rahim manusia, yang kemudian dilarung ke lautan dan akhirnya terdampar di sebuah pulau yang hanya diisi oleh hewan, dan kemudian diangkat anak oleh Yaqdzan (Rusa), atau,  dia ada karena terjadinya proses alam, yaitu lahir dari tanah al-waqwaq, tanah yang bergelembung udara, yang diisi oleh ruh dari Tuhan, kemudian jadilah Hayy bin Yaqdzan, seorang bayi manusia yang kemudian dipelihara oleh seekor rusa (Yaqdzan).Â
    Kegelisahan Hayy bin Yaqzan, dari matinya rusa yang telah memeliharanya ketika ia berusia tujuh tahun. Kesedihannya akhirnya membawa Hayy bin Yaqdzan mengembarai dunia fisik hing ke metafisik. Dari mulai ketika dipelihara oleh Yaqdzan, Hayy mulai belajar menirukan bahasa binatang, belajar membela diri. Setalah pengasuhnya, Yaqdzan, mati, dia mulai mencari penyebab kematian dengan cara membelah ibunya, dan mempelajari anatomi tubuh Yaqdzan untuk mencari tahu penyebab kematiannya. Setelah dibedah, lalu Hayy berkesimpulan bahwa ada perbedaan yang jelas antara fisik dan nafsun (pemberi hidup). Pertanyaan-pertanyaannya terus berlanjut hingga kepada mencari al-Haq melalui benda-benda langit, dan akhirnya sampai kepada cinta kepada al-Khaliq.
    Pencarian kebenaran yang melahirkan kebahagiaan sejati sebenarnya adalah sebuah proses yang terus menerus. Sama dengan tawaf ketika kita berhaji. Kita hanya bisa berputar-putar untuk menuju kepada kebenaran, tapi tidak pernah sampai pada kebenaran yang hakiki, karena kebenaran yang hakiki adalah hanya milik Allah yang absolut, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sementara itu, kebenaran tertinggi kita adalah hanya kumpulan kebenaran-kebenaran yang sangat relative, yang sangat dibatasi oleh ruang dan waktu.
    Tawaf mencari kebenaran pun pernah dilakukan oleh Imam al-Ghazali (nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i), seorang ulama besar yang disepakati oleh para ulama lainnya sebagai mujaddid (pembaharu) Islam. Beliau lahir yang di desa Thusi, belajar banyak dari mulai fiqh, teologi (ilmu kalam), filsafat, hingga menekuni sufi hingga akhir hayatnya. Kegelisahan dalam menemukan jalan kebenaran, harus diraihnya dengan tebusan yang cukup hebat yaitu meninggalkan posisi tinggi, hingga sakit yang cukup parah. Karena karya-karya beliau, para ulama kemudian memberikan gelar sebagai Hujjatul Islam (bukti kebenaran Islam).
    Ibrahim, sang kekasih Allah pun menjalani laku mencari kebenaran sejati, dari mulai fisik, perjalanan mempercayai tujuh dewa planet (karena Babylonia adalah tanah pertanian yang subur, dimana bercocok tanam dipengaruhi oleh planet) hingga ke metafisika,  dan akhirnya mendapatkan kebenaran dengan cara menyerahkan diri secara total dan pengakuan yang ikhlash terhadap kebesaran Allah Swt. Penyerahan diri hingga pengakuan kebesaran Allah Swt adalah jalan yang paling sesuai untuk mendapatkan kebenaran sejati (hanif), bukan kebenaran tuhan-tuhan benda yang dibuat manusia yang kemudian dituhankan manusia.
    Semua manusia mengalami proses mencari kebenrannya sendiri-sendiri, tapi seperti yang dikisahkan dalam Hayy bin Yaqdzan, ketika Hayy bin Yaqdzan bertemu dengan Salman, sahabatnya Asal, dimana Salaman bisa menemukan kebenaran walaupun melalui jalan yang berbeda (Syariat), ini berarti bahwa untuk mencari kebenaran manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menangkap dan memahami kebenaran.
    Selamat mencari kebenaran, dengan menempuh jalan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jadilah diri sendiri, dan jujur pada diri sendiri, karena kebenaran akan datang pada orang-orang yang jujur dan berani menolak tuhan-tuhan nafsu manusia, dan terus tawaf mencari kebenaran sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H