Siapa yang menyangkal bahwa Indonesia adalah negeri yang teramat kaya? Kekayaan sumber daya alam, laut, dan kesuburan tanahnya memberikan nilai tersendiri bagi Indonesia di kancah internasional. US Geological Survey (USGS) hasil laporan tahun 2018 menunjukkan bahwa hampir semua sumber daya alam Indonesia di bidang pertambangan masuk dalam 10 besar produsen terbesar[1]. Prestasi ini tentunya memberikan peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.
Tak hanya bangsa sendiri yang mungkin saja berebut untuk menguasainya, namun bisa jadi membuka keinginan negara lain untuk turut serta mencicipi keberlimpahan kekayaan alam bumi pertiwi ini. Bukankah sejarah kelam penjajahan kaum kolonial dilatarbelakangi inginnya menguasai sumber daya alam Indonesia?
"Hanya ada satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku." Bung Hatta
Agaknya apa yang disampaikan oleh Bung Hatta ini benar. Seakan terkandung semangat yang membara bahwa menjaga keutuhan Negara Indonesia menjadi tanggung jawab setiap kita yang tercatat sebagai Warga Negara Indonesia. Indonesia terjaga kedaulatannya atas upaya bersama, bukan hanya Tentara Nasional Indonesia yang memang berperan sebagai alat pertahanan negara.
Nasionalisme dan patriotisme menjadi tawanan untuk menjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga upaya yang diperlukan adalah dengan bela negara. Bela negara menjadi hal yang mutlak karena secara legal formal tercatat sebagai hak dan kewajiban yang melekat pada setiap Warga Negara Indonesia. Legislasi induknya pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat (3).
Namun dilematika timbul manakala serbuan arus globalisasi dan modernisasi semakin keras menerpa bangsa Indonesia sekitar 1 dekade terakhir. Keutuhan dan kedaulatan bangsa tidak lagi tergantung pada ancaman yang bersifat tradisional atau ancaman militer. Justru yang lebih berbahaya adalah serangan non fisik seperti ideologi dan paham yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Semakin hari semakin banyak konten negatif di media massa maupun media sosial yang berusaha memecah belah Indonesia. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara telah memblokir sebanyak 4.078 akun di Facebook dan Instagram yang masif menyebar paham radikalisme di tahun 2018.
Sebenarnya hal ini dapat ditangkal dengan adanya Pendidikan Bela Negara bagi warga negara. Kontradiksi dengan itu, bagi generasi milenial, pola pendidikan bela negara yang kolot dan kuno seakan menjadi hal yang tidak menarik dan mulai ditinggalkan[1]. Para milenial memandang bahwa pendidikan bela negara hanya dimaknai sebagai kegiatan wajib militer dan bergabung dalam resimen mahasiswa bagi masyarakat sipil atau memilih menjadi TNI agar bisa melakukan bela negara secara nyata. Di tahun 2015, Menteri Pertahanan Republik Indonesia menargetkan 100 juta warga menjadi kader bela negara[2].
Berangkat dari dilematika ini, perlu ada upaya counter attack yang kreatif untuk menangkal serangan perpecahan yang masif di media sosial maupun media massa lainnya. Karakteristik yang khas dari kaum milenial yang tidak dapat lepas dari gadget dan internet harus dimanfaatkan sebagai bagian dari usaha bela negara. Kekuatan media harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam rangka menjaga tetap tegaknya NKRI. Konsep yang coba penulis usung adalah dengan menggunakan konten positif di media sosial dan pelibatan para pekerja kreatif untuk menciptakan karya bela negara sebagai alternatif pendidikan bela negara bagi warga negara Indonesia, khususnya kaum milenial.
Generasi Milenial: Karakteristik dan Kekuatannya
Istilah generasi millennial memang sedang akrab terdengar. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini[1].Â