Apakah itu artinya sang suami kurang ajar dan tidak berempati?
Kalau melihat dari kacamata budaya saat itu, saya tidak bisa menyalahkan sang suami dan keluarganya yang menuntut adanya anak laki-laki.Â
Di era saat itu sepertinya memang sedang tren sebuah keluarga harus memiliki banyak anak laki-laki, terutama untuk kaum bangsawan, demi memperoleh perekonomian, reputasi dan kekuasaan yang lebih baik.
Padahal kalau ditarik lagi dari sejarahnya, pada masa sebelum kedatangan Kolonialisme, bisa dibilang Indonesia (Nusantara) tidak mempermasalahkan gender, karena perempuan diizinkan berperan dalam bidang pemerintahan.
Sebut saja ada Ratu Pramodawardhani dari Kerajaan Medang, yang mengesahkan Candi Borobudur setelah berabad-abad dibangun.
Kemudian ada Ratu Tribuwana Tungga Dewi pada masa Kerajaan Majapahit, yang kepemimpinannya memang disetujui sebagai keturunan sah sang Raja sebelumnya. Ada Ratu Shima, pemimpin Kerajaan Kalingga, yang begitu disegani hingga ke negeri Tiongkok era Dinasti Tang.
Pada era masa Kerajaan Islam, ada permaisuri muda Sultan Agung Hanyokrokusumo, Kanjeng Ratu Batang yang turut membantu sang Sultan melawan penjajah Belanda.
Era Raden Mas Said, Sultan Mangkunegara I berkuasa dan diera Pangeran Diponegoro hidup, banyak perempuan yang menjadi prajurit tangguh.Â
Saya masih belum tahu apakah ada dari para perempuan tersebut yang dijadikan pemimpin pada masa Kerajaan Islam, namun menurut sejarah yang saya baca, perempuan memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dengan laki-laki.
Perempuan dianggap setara menurut budaya dan agama Islam yang saat itu baru masuk ke Indonesia, dan cukup disukai karena melepas masyarakatnya dari belenggu kasta yang terbentuk pada masa Kerajaan Hindu-Buddha masih eksis.
Entah dimulai dari mana dan apa penyebabnya, peran perempuan di Indonesia semakin lama, semakin mengerucut, hingga wilayahnya hanya ada di rumah saja.Â