Senang sekali rasanya lahir di era perempuan sudah dihargai eksistensinya, dan dianggap setara dengan laki-laki hampir di seluruh dunia.Â
Pastinya bukan perjuangan yang mudah bagi para perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dalam hal pendidikan, kesempatan untuk mendapatkan profesi yang memiliki prospek masa depan, persamaan gaji, rumah tangga, dan masih banyak lagi.
Ketika suatu budaya sudah terbentuk dan dianggap normal, misalnya saja perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujung-ujungnya ke dapur. Atau perempuan tidak perlu terlalu kerja keras, toh nanti akan ada suami yang membiayai, dan sebagainya, tidak menutup kemungkinan sesama perempuan bukannya saling mendukung untuk mendapatkan kesetaraan, malah meremehkan dan menganggap sang perempuan yang menuntut kesetaraan sudah menentang budaya.
Wajar saja ada pihak pro dan kontra, karena karakteristik, latar belakang budaya dan lingkungan sangat berpengaruh pada cara berpikir seseorang.
Hingga kini pun, era di mana perempuan sudah biasa berpendidikan tinggi atau memiliki jabatan yang cukup tinggi, ada saja perempuan yang beranggapan hal tersebut menentang budaya yang ada.
Dengan adanya pro kontra dalam pandangan sosial, sudah bisa dibayangkan betapa sulitnya para pejuang emansipasi perempuan masa itu, menentang budaya patriarki yang dulunya begitu kental hampir di seluruh dunia.Â
Belum lagi, ada masanya peran perempuan tidak jauh dari mesin pencetak anak saja.Â
Keturunan laki-laki, lebih diutamakan, karena dianggap bisa meneruskan marga Ayah dan memperluas wilayah kekuasaan.
Sedangkan anak perempuan dijadikan sebagai catur politik dengan dinikahkan dengan pria yang memberikan keuntungan bagi sang keluarga, baik dari sisi reputasi ataupun kekayaan.Â
Ketika perempuan tidak bisa memberikan anak laki-laki, maka akan dianggap sang perempuan tidak memberikan keturunan, dengan wajar dan dimaklumi oleh sosial pada masa itu, bila sang suami, beserta keluarga yang mendukung penuh, menikah dengan wanita lain demi mendapatkan anak laki-laki.Â