Dengan segala drama di ICU, di mana ternyata sang dokter jaga ruang rawat inap salah mengintepretasi instruksi dokter bedah saraf.Â
Bukannya cepat mengambil tindakan, sang dokter jaga malah curhat dulu, kemudian ditimpali senda gurau para suster.
Beruntung di sana ada dokter lain, dan perawat senior (sepertinya) yang menegur mereka, hingga akhirnya saya diberikan tindakan sesuai prosedur.
Kondisi saya pada saat itu bisa mendengar, tapi sangat sulit membuka mata.
Singkat cerita, saya berada di ICU selama dua hari.Â
Untuk pasien ICU, gejala yang saya hadapi termasuk ringan. Tapi karena pengobatan saya memerlukan pemantauan intensif, yang dimana tidak mungkin dilakukan di ruang rawat inap, maka saya harus diruang ICU, sampai tekanan darah dan oksigen saya benar-benar stabil.
Di sinilah, saya benar-benar merasa seperti orang yang tidak berguna.
Hanya bisa tiduran saja di ranjang, tidak bisa kemana-mana ataupun ngapa-ngapain.Â
Buang air besar ataupun kecil harus dibantu oleh suster dengan menggunakan pampers.
Makan dan minum pun sebenarnya seharusnya dibantu oleh suster.
Karena mendengar ada beberapa pasien di ruang ICU, tapi tenaga medis terbatas, saya pun  berusaha untuk makan minum sendiri. Ditambah, saya ingin segera pindah ke ruang rawat inap, karena saya tidak betah harus berdiam diri tanpa melakukan apapun.