Aku tidak pernah malu menceritakannya pada siapapun, supaya tidak dipaksa untuk mengendarainya. Begitulah aku juga menceritakannya pada Tina, saat kami duduk berdua di kantin secara tidak sengaja.
"Ci, aku aja baru bisa motor, supaya gak ngerepotin orang rumah! Kalau aku bisa, cici pasti bisa!", katanya berapi-api.Â
"Yah, Tin, gue juga mau bisa motor, tapi lu gak paham sih rasa takutnya gue", dalihku.
"Kalau semua nurutin sama rasa takut, kapan bisa majunya ci?! Inget kita cewek gak boleh lemah, gak bisa terlalu andelin orang lain. Mesti mandiri!", katanya semakin berapi-api.
Dan herannya, rasa beraniku langsung tersulut mendengar ucapannya.
Padahal omongan yang Tina katakan, sebenarnya sudah sering diucapkan oleh banyak orang dengan bermacam nada dan susunan kalimat.
Tapi entah kenapa, ucapan Tina lah yang langsung membuatku menggebu, dan menyadarinya bahwa selama ini aku banyak terkungkung oleh rasa takut.Â
Pulangnya, aku mengambil kunci motor. Kemudian, rasa-rasanya hampir sejam aku hanya berdiri di depan motor untuk memutuskan aku mau mencoba lagi atau tidak untuk mengendarainya.Â
"Jadi cewek gak boleh lemah! Mesti mandiri!", kata-kata itu kuulang terus dalam hati, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengendarainya secara perlahan-lahan. Sangat pelan, hingga rasanya jalan kaki saja masih lebih cepat.Â
Aku berlatih hampir setiap hari, mendobrak rasa takut, hingga dalam waktu dua bulan, aku sudah bisa mengendarainya tanpa rasa takut ataupun keluar keringat dingin.
Kini, kemana-mana, aku sudah berani mengendarai motor.