Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Buku Pedoman Menulisku

17 Agustus 2021   17:41 Diperbarui: 17 Agustus 2021   17:52 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku pedoman yang pertama kali saya beli di Gramedia | Dokumentasi Pribadi

Bisa dibilang dari bertahun-tahun saya menempuh pendidikan, baru kali ini saya ada dalam tahap mau belajar, tanpa merasa terpaksa ataupun kewajiban. Menulis...

Tidak pernah menyangka saya suka menulis, diluar dari kata berkualitas atau tidak, ternyata saya senang merangkai kata. 

Padahal kalau diingat kembali, waktu sekolah, saya tidak pernah bisa maju lebih dari dua kalimat. Alhasil, dapat nilai 6 saja sudah bagus. Hanya saja, sedari kecil, saya memang dibiasakan menulis diary. Nah, itu bisa bertumpah ruah tulisannya. 

Tidak perlu takut ada orang yang menilai. Dan andai dianggap jelek, kan, orang tua juga tidak akan memarahi, teman pun tidak akan ada yang meledek. Hehe.

Di Kompasiana, saya semakin semangat menulis, apalagi sejak diberi label Artikel Utama. Berikut dengan apresiasi dari kompasianer lainnya dan kritik, serta sarannya. 

Ada beberapa kompasianer yang mengatakan kalau mau bisa menulis banyak ide, dan kualitas menulis semakin baik, itu harus banyak membaca buku. Dan saya lakukan itu, sepanjang usia saya, baru sejak menulis di Kompasiana saja, saya baru rajin membaca buku tanpa merasa terpaksa.

Buku pedoman yang pertama kali saya beli di Gramedia | Dokumentasi Pribadi
Buku pedoman yang pertama kali saya beli di Gramedia | Dokumentasi Pribadi

Buku Goenawan Mohamad yang berjudul "Andai Saya Wartawan Tempo", merupakan buku pedoman saya pertama. Buku itu yang memperkenalkan saya, siapa itu Goenawan Mohamad. Tulisannya begitu enak dibaca, tapi isinya begitu berkualitas. Dan saya membaca buku tersebut hanya sehari. 

Satu rekor tersendiri bagi saya, membaca buku habis langsung dalam satu hari. Jangan bandingkan saya dengan Anda yang memang terbiasa membaca buku, karena saya sejatinya bukanlah penikmat buku.

Saya terkagum-kagum dengan cara beliau menulis sesuatu yang terlihat sederhana, tapi kok ya penting. Bahkan sepanjang membaca, saya sama sekali tidak merasa digurui.

Lanjut, saya pun direkomendasikan oleh adik, yang lebih berpengalaman dalam dunia menulis, bahkan sampai ikut workshop yang diadakan Kompas.

"Ci, baca Pramoedya Ananta Toer yang tetralogi Bumi Manusia, biasanya penulis di Kompas belajar sastra dari sana."

Novel Tetralogi Bumi Manusia yang ke-3, yang juga saya beli di Gramedia | Dokumentasi Pribadi
Novel Tetralogi Bumi Manusia yang ke-3, yang juga saya beli di Gramedia | Dokumentasi Pribadi

Langsung saya beli, tidak langsung semuanya, melainkan satu per satu bukunya. Tunggu gajian. Yang pertama Bumi Manusia. Bukunya kini masih tersimpan rapi di rumah orang tua. 

Awal membaca ngantuk sekali, namun saya sekilas membaca ada tulisan Nyai. Akhirnya saya malah memilih nonton YouTube, dan secara kebetulan ada rekomendasi video kehidupan Nyai saat itu. 

Saya merasa kasihan dengan kehidupan Nyai, yang dijadikan selir dan diperalat, pada saat yang bersamaan dianggap rendah oleh Belanda, para Nyai dibuang juga oleh orang Indonesia saat itu. Tertolak di dua dunia, menurut saya.

Hmm, merasa penasaran, saya pun membaca lagi buku Bumi Manusia, yang semakin lama semakin asyik dibaca. Dan saya benar-benar terbawa oleh suasana yang ditulis oleh Sastrawan sesepuh.

Dari sana saya belajar bahwa menulis itu adalah suatu seni yang begitu indah. Tulisan beliau begitu puitis, tapi mudah dipahami, dan ya, itu saya merasa begitu indah dibaca, bukan hanya enak dibaca. Bahkan merasa terhanyut dengan suasana tulisan beliau.

Tidak heran tulisan beliau sering dijadikan materi pelajaran Sastra, bahkan sudah berapa kali diterjemahkan dalam bahasa asing. 

Dua diantara koleksi Catatan Pinggir yang ditulis oleh Goenawan Mohamad | Dokumentasi pribadi
Dua diantara koleksi Catatan Pinggir yang ditulis oleh Goenawan Mohamad | Dokumentasi pribadi

Sempat vakum menulis, lantaran tidak memiliki ide, sekaligus saya saat itu sedang konsentrasi dengan hal lain. 

Saya pun mengobrol dengan suami, dan ia bilang, "coba baca Catatan Pinggir, tulisan Goenawan Mohamad bagus sekali, sesuatu yang kita anggap ga penting, bisa jadi penting dan berisi banget."

Mendapatkan rekomendasi, saya pun membeli Catatan Pinggir yang pertama edisi digital, karena edisi cetaknya tidak ada. Hanya saja, karena merasa kurang nyaman membaca secara digital, akhirnya saya membeli buku edisi yang ke-11 yang membahas berita tahun 2013-2014.

Dari sana saya baru paham ada tulisan yang jenisnya itu esai. 

Begitu banyak buku yang sepertinya menjadi referensi Pak GM dalam tulisannya. Terlihat sangat luas sekali wawasannya, dari satu topik, beliau bisa menulis dari ragam sudut pandang. Bahkan referensinya tidak hanya buku atau jurnal dalam negeri saja, tapi dari luar negeri.

Salah satu podcast yang menjadikan Pak GM sebagai narasumber, beliau mengatakan bahwa ada pihak yang menyebutnya pamer buku. "Ya memang saya bermaksud pamer buku, apalagi dulu kan buku masih jarang, saya ingin memberikan referensi buku-buku yang bagus untuk dibaca", kurang lebih kata beliau pada host-nya.

Wah, saya sangat belajar dari beliau, ingin sekali menulis hal sederhana, tapi dari beragam sudut pandang yang luas. Dengan begitu cara pandang kita tidak seperti daun kelor.

Tapi rasanya masih banyak buku yang mesti saya baca, referensi saya masih sebatas media dan jurnal, dan beberapa buku dalam hitungan jari.

Buku yang berisi tentang perjalanan Sastra di Indonesia, yang berkemelut dengan kekuasaan pemerintah | Dokumentasi Pribadi
Buku yang berisi tentang perjalanan Sastra di Indonesia, yang berkemelut dengan kekuasaan pemerintah | Dokumentasi Pribadi

Berangkat dari sana, saya ingin sekali mengetahui lebih dalam tentang sastra. Sastra, bidang yang saya pikir hanya berisi tentang bahasa saja, akan tetapi ternyata sebenarnya sangat berpengaruh dalam pembangunan suatu bangsa.

Belajar dari Joseph Stalin, presiden Uni Soviet yang dulunya terkenal sebagai seorang diktator, ia mengumpulkan banyak sastrawan dalam awal pemerintahannya untuk membangun kehidupan dan pendidikan masyarakatnya, walau pada akhirnya satu per satu sastrawan yang kritis terhadap pemerintahannya, dibunuh olehnya.

Dalam buku ini, diceritakan sastra pun sempat dijadikan alat politik pada masa pemerintahan RI terdahulu. Namun saya tidak berani menuliskannya terlalu panjang, karena saya kurang memahami isi buku tersebut. Lain waktu, saya akan membacanya kembali. 

Tapi dari sana kurang lebih saya menyadari betapa pentingnya sastra, bidang yang saya pikir, maaf, biasa saja.

Dari dua penulis kesayangan saya ini, buku-bukunya saya jadikan pedoman, agar selalu ingat bahwa menulis merupakan aktivitas yang memiliki sentuhan keindahan, dan menulis juga merupakan salah satu cara saya untuk belajar dalam membuka wawasan yang luas, walau hanya sebuah objek kecil yang saya anggap kurang berarti.

Bagaimana denganmu? Apakah memiliki figur atau buku pedoman untuk menulis?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun