Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Apalah Impor, Kalau Ada Pangan Lokal yang Berkualitas

17 Agustus 2021   10:00 Diperbarui: 17 Agustus 2021   10:15 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pangan lokal | Foto : Kompas.com

Sebagai penikmat makanan, saya hampir menyukai seluruh rasa makanan, hingga kategori makanan yang saya miliki hanya enak atau enak sekali. Nyamm..! Ups, tapi tidak pada makanan basi.

Dulu saya sangka bahan makanan impor itu pasti selalu bagus, sebut saja Durian Monthong dari Thailand, brokoli impor, daging Australia, dan seterusnya. Pokoknya yang dari negara luar, stigmanya kan selalu lebih baik dari Indonesia.

Akan tetapi pandangan saya langsung berbeda, ketika diminta untuk membandingkan rasa antara yang lokal dengan yang impor. Dua diantaranya durian dan brokoli.

Ilustrasi durian Kalimantan Timur | Foto : Liputan6.com
Ilustrasi durian Kalimantan Timur | Foto : Liputan6.com

Durian

Suatu hari tetangga saya membawakan durian Medan, ukurannya kecil-kecil, bahkan buah dan bijinya pun kecil. 

Ibu saya senangnya setengah mati ketika mendapatkan oleh-oleh tersebut, dan langsung menikmatinya, tentu mengajak saya dan adik untuk turut menikmatinya.

Saya suka durian, tapi bukan penggila durian. Namun merasakan manisnya durian medan, bikin saya nagih, yang kalau kata reviewer kuliner zaman now, "enak sampai mau meninggal!".

Daging buahnya legit, dan terasa padat saat digigit, padahal ukurannya kecil. 

Beberapa hari kemudian, lidah saya pun mengirimkan signal ke otak ingin kembali menyantap durian. Kebetulan rumah saya saat itu dekat sekali dengan mall, dan saya pun langsung membelinya. Durian Monthong Thailand yang enak beud katanya. 

Menyantapnya di rumah, ahh.. tidak puas sama sekali. Tidak seperti durian Medan yang dibawakan oleh tetangga. Rasanya agak hambar gimana gitu. 

Oh, sebagai informasi durian Medan yang saya makan ini rasanya manis, bukan durian yang biasa disukai oleh orang Medan pada umumnya, yang lebih cenderung menyukai sensasi rasa pahit.

Suatu hari tetangga yang lain membawakan oleh-oleh durian Kalimantan, yang dipetik langsung dari kebunnya. 

Karena pernah kecewa dengan durian Monthong, saya awalnya tidak terlalu antusias mau menyantapnya. Tapi cobain, gak masalah lah ya.

Saat dibuka, aneh juga, kok berwarna oranye. Tapi itu sih terlihat dagingnya padat sekali. Sensasi pertama dilidah adalah rasa manis, kemudian saat digigit begitu legit, semakin dikunyah, rasa manis dan segarnya menguasai rongga mulut. Hmm...

Sejak itu, saya tidak pernah menolak kalau ada yang menawarkan durian Medan dan Kalimantan. Rating enaknya dalam angka 5 tidak cukup untuk mewakilinya!

Ah, tapi saya penasaran juga dengan durian ini sebenarnya berasal darimana. 

Dilansir dari Kompas.com, durian ternyata berawal dari Kalimantan. Ditelusuri kembali ke Detik.com, durian juga dulunya berasal dari Sumatera. Kemudian, menyebarlah ke Jawa, Papua, Malaysia, Singapura hingga ke Thailand. 

Kalau Mohamad Reza Tirtawinata, ahli durian dari Yayasan Durian Nusantara mengira bisa jadi orang Thailand mengambil bijinya dari Kalimantan. 

Hmm, kalau saya mengiranya bisa jadi gak Thailand memiliki biji buah durian tersebut, karena adanya perdagangan antar negara di jalur sutera, yang diadakan sejak  sekitar tahun 260 SM?

Kalau Malaysia sendiri, ya, mungkin karena dulu Indonesia-Malaysia merupakan satu wilayah, sebelum Inggris-Belanda memecah Malaysia-Indonesia terpisah menjadi dua. Jadi durian juga ada diwilayahnya, kemudian dibudidayakan, dan berkembang, sehingga menghasilkan durian yang terkenal enaknya, Musang King.

Dari Malaysia berkembang lagi ke Singapura. Dengar-dengar Singapura sering impor dari Malaysia. 

Nah, yang menjadi pertanyaan, kenapa durian kita bisa kalah terkenal dengan durian Musang King asal Malaysia dan durian Monthong Thailand, padahal 'kan durian berasal dari Indonesia?

Kalau berdasarkan pengakuan Mohamad Reza Tirtawinata, kebun dan budidaya durian di Indonesia masihlah sedikit, ketimbang Malaysia. Malaysia lebih maju dalam pengembangan budidaya duriannya.

Sedangkan dengan Monthong Thailand, menurut Yasid Taufik, Pelaksana Haruan Dirjen dan Sekretaris Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, durian lokal kalah promosi dengan si Monthong.

Padahal durian kita memiliki macam jenisnya yang tidak kalah enak, seperti durian Mimang, Candimulyo, Matahari, Montong, Petruk, Bawor, Ajimah, Bubur, Bokor dan Lay.

Tidak lupa, Tarutung merupakan jenis durian yang disukai suami saya saat berada di daerahnya, Tapanuli.

Nah, kalau ada pangan lokal yang enak, mengapa harus beli impor ya gak? Hitung-hitung kita turut membantu perekonomian nasional para petani lho.

Ilustrasi brokoli lokal | Foto Kompas.com
Ilustrasi brokoli lokal | Foto Kompas.com

Brokoli

Bagi pejuang diet, sayur ini sangat disukai, karena kandungan proteinnya yang tinggi, sehingga salah satu sayur yang tidak bikin kita cepat lapar.

Saya sendiri awalnya tidak terlalu suka rasanya, tapi karena diet, ya mau tidak mau memakannya. Lama-lama terbiasa juga dengan rasanya.

Hingga suatu hari saya ditanya oleh pedagang sayur, "mau brokoli lokal atau impor?". Saya pun bertanya perbedaannya dimana. Oh, ternyata perbedaan di ukuran. Saya pun membeli yang lokal karena ukuran lebih kecil dan murah pula. 

Saya pun memasaknya, dan eh, kok, rasanya tumben, enak. Bumbunya sangat meresap ke dalam brokolinya, bahkan kuah yang dihasilkan dari brokolinya sendiri, rasanya agak manis. 

Minggu berikutnya, saya pun membeli brokoli impor. Penasaran saja dengan rasanya, ada beda atau tidak.

Pulang ke rumah, saya menyiangi dan memasaknya dengan teknik dan durasi masak yang sama. Hmm, rasa brokolinya kembali seperti semula, yaa enak karena terbiasa di makan, tapi tidak seenak rasa si brokoli lokal.

Sejak itu, saya pun lebih senang membeli brokoli lokal. Saking seringnya, si pedagang sayur selalu memberikan bonus, dan mengatakan "Terima kasih banyak ya, Mba, sudah beli yang lokal terus!", dengan senyum sumringah.

Hoho.. ada untungnya ternyata mencintai produk lokal. Turut senang juga melihat si pedagang sayur tersebut merasa senang hasil tanamnya dihargai, disamping saya dapat bonus tambahan brokoli. 

Menurut Wikipedia, brokoli ternyata memang bukanlah asli tanaman Indonesia. Ia masuk ke ranah Indonesia tahun 1970-an.

Brokoli sendiri berasal dari Mediterania, yang dikembangkan oleh bangsa Etruria, bangsa yang pertama kali menempati Roma. Dengan begitu, brokoli ini sudah dinikmati dari zaman Kerajaan Romawi.

Walau sebenarnya berasal dari luar, tetap saya lebih suka rasa brokoli hasil budidaya lokal, karena rasanya cocok dengan lidah saya.

Hmm, saya agak bertanya-tanya sih, apakah kandungan tanah kita dengan luar negeri berbeda, sehingga menghasilkan rasa yang berbeda pula ketika dimasak?

Sejak merasakan dua bahan makanan tersebut, saya pun jadi keranjingan menyantap dan menikmati pangan lokal. 

Apalah impor, kalau ada pangan lokal yang berkualitas. Lagian kan kita mesti mendukung produk dalam negeri. Kapan produk dalam negerinya merasa percaya diri, kalau kita tidak turut mendukung hasil karya anak bangsa, ya ga? Hehe.

Mari dukung Petani Indonesia | Foto : Liputan6.com
Mari dukung Petani Indonesia | Foto : Liputan6.com

Nah, berhubung hari ini adalah hari Kemerdekaan Indonesia, saya ingin sekali menyatakan rasa terima kasih pada para petani yang telah menghasilkan beragam bahan baku lokal yang berkualitas dan nikmat untuk disantap.

Semangat terus, Para Petani Indonesia!

Merdeka!

Referensi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun