Kondisi topografis Indonesia, yakni memiliki lereng yang kemiringan yang curam cenderung mengakibatkan banjir dan berpotensi tanah longsor.
Pembangunan properti masa dulu selalu dikatakan lebih kuat, bahkan ketika ada gempa bumi, kecil sekali kemungkinan bangunan bisa runtuh dan hancur.Â
Seperti, pembangunan arsitektur yang berada di Yogyakarta, usianya sudah ratusan tahun. Menurut pengakuan Abdi Dalem yang menjaga Pemakaman Raja Mataram disebelah Masjid Kotagede, bangunan di sana sama sekali tidak rusak, malah sangat mengikuti arus gempa bumi.Â
Kekuatan kayunya dan cara membangunnya sampai dipelajari dan diteliti oleh orang Jepang, yang negaranya juga sama seperti kita, rawan gempa bumi.Â
Namun sungguh disayangkan karena ketika ada pihak dari Indonesia telah memiliki pengetahuan tentang pembangunan properti, sepertinya pengukuran dan daya tahannya tidak disesuaikan dengan kondisi alam kita yang rentan gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Malah perhitungannya disesuaikan dengan standar Eropa atau Amerika Serikat, yang negaranya rentan angin tornado dan angin topan.
Akibatnya semakin kesini, rumah tinggal ataupun apartemen cenderung mudah roboh ketika "tersenggol" oleh gempa bumi. Kebanjiran, dan tidak sedikit pula yang kehilangan rumah akibat tanah longsor.
Demi mendapatkan keuntungan materi pun, properti yang saat itu sempat naik daun untuk dijadikan investasi, alam hijau kita pun tergerus. Sungai pun diuruk demi mendapatkan lahan untuk pengadaan pembangunan.Â
Pembangunan gedung tinggi terus diadakan, tanpa memperhitungkan penyedotan air tanah yang menyebabkan permukaan tanah kita akan menurun dan akan menyebabkan intensitas bencana banjir semakin banyak, belum lagi negara ini sudah mulai memiliki potensi kekurangan air bersih.
Pengetahuan teknologi yang didapat hanya didasari oleh olah pikir semata, tanpa dirasai atau dimaknai terlebih dahulu, akhirnya malah cenderung membunuh karakter alam negeri kita, serta potensi negeri ini untuk terus memiliki kekayaan alam yang subur.
Akhirnya kecenderungannya adalah mengutamakan perekonomian, sebagai standar kemakmuran dan kesuksesan, tanpa menyeimbangkan diri dengan hati nurani, dengan memikirkan kepentingan orang banyak di masa mendatang.
Kemudian standar kecantikan wanita, di mana kalau tidak menerima diri memiliki kulit kecokelatan (sawo matang) seperti orang Barat (berkulit putih) berarti kurang berwawasan.