Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggelorakan Semangat Generasi Milenial dalam Melestarikan Budaya

16 Mei 2021   22:12 Diperbarui: 16 Mei 2021   22:17 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak anak muda yang berpartisipasi dalam audisi Seni Teater Siti Nurbaya | Foto : Instagram Indonesia Kaya

Budaya bangsa negeri ini kurang terasa gaungnya, selain untuk wisata saja. Bahkan ketika kita berwisata ke satu tempat bersejarah, tidak sedikit wisatawan yang lebih sibuk mengambil foto untuk diunggah di sosial media, ketimbang mendengarkan tuturan sejarah dan filosofinya yang mendekatkan kita dengan perjalanan hidup nenek moyang kita. 

Dalam satu artikel yang pernah saya baca bahwa semakin kesini, generasi di Indonesia lebih berperan sebagai penikmat budaya negerinya sendiri ketimbang pelestari budaya. Generasi milenial perlahan seakan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun-temurun, mereka tidak lagi senang menarikan tarian daerah, memainkan musik tradisional, ataupun membatik. 

Tapi sepertinya pandangan sang penulis dalam artikel tersebut akan berubah apabila melihat adanya gelora semangat milenial dalam melestarikan budayanya dalam beberapa tahun  belakangan. 

Tidak menampik kesukaan generasi milenial terhadap budaya dari negeri lain masihlah sangat terasa, apalagi banyaknya informasi sosial media dari luar yang tidak bisa dibendung lagi, membuat para muda-mudi bisa terbawa arus untuk lebih menyukai budaya luar negeri yang kelihatannya lebih menarik.

Namun bukan berarti ketertarikan mereka akan budaya dalam negeri punah begitu saja. 

Gelora semangat ini bisa diperhatikan dari lagu Lathi, yang musiknya memadukan electronic dance music (EDM) dan tradisional Jawa. Lagu tersebut sampai viral ke mancanegara, hingga ke Amerika Serikat. Tentu kita tahu sulit bagi negara Asia untuk mampu menembus musik ke negara tersebut.  

Walau lagu Lathi sempat dianggap lagu pemujaan, tapi bagi penikmat lagu yang mencari tahu dulu maknanya, baru menilai, mereka senang mendengarnya dan menjadikan lagu tersebut sebagai lagu favorit. 

Tidak berhenti disitu saja, lagu Lathi pun dijadikan soundtrack #Lathichallenge yang diikuti banyak gadis muda Indonesia, sehingga challenge make up tersebut sempat trending di sosial media. Dari sana, mulai banyak saya perhatikan anak-anak muda yang mengunggah dan membanggakan alunan musik tradisional, tarian tradisional, serta pakaian Batik. 

Audisi teater dan tari tradisional yang merekrut anak muda | Foto : Instagram Swargaloka Art
Audisi teater dan tari tradisional yang merekrut anak muda | Foto : Instagram Swargaloka Art

Tarian tradisional pun ternyata banyak diminati oleh anak muda. Dalam sosial media Instagram Swargaloka Art, yang krunya didominasi anak muda, membuka audisi untuk penari tradisional dalam live-nya. 

Banyak followers-nya yang menanyakan syarat-syarat audisinya, dan dijawab dengan antusias oleh para penari yang sudah tergabung, dengan usia yang masih belia, sekitar 17-20an tahun, kalau saya memperkirakan. 

Unggahan sosial media yang berisi tarian-tarian tradisional yang nuansanya cukup modern membuat saya terkagum-kagum dengan keluwesan dan totalitas para penari Swargaloka Art yang masih muda. 

Dalam hati saya, andai waktu bisa diputar kembali, ingin sekali saya bergabung dengan seni tradisional Indonesia. Karena disetiap gerakannya memiliki makna dan cita rasa seni yang tidak dimiliki oleh negara lain. 

Banyak anak muda yang berpartisipasi dalam audisi Seni Teater Siti Nurbaya | Foto : Instagram Indonesia Kaya
Banyak anak muda yang berpartisipasi dalam audisi Seni Teater Siti Nurbaya | Foto : Instagram Indonesia Kaya

Seni teater yang bertajuk cerita rakyat Siti Nurbaya pun ternyata juga disambut antusias oleh generasi milenial, ketika audisi teater Indonesia Kaya dibuka. 

Pembukaan audisi dan ketentuannya diunggah dalam Instagram Indonesia Kaya. Saya pikir tadinya pasti sedikit sekali yang mau ikutan. Awalnya saya mau turut mengikuti audisi, namun karena ketentuannya harus ada menyanyi dan menari, saya mengurungkan niat audisi tersebut lantaran tahu diri akan kemampuan yang sangat terbatas untuk menyanyi dan menari.

Beberapa minggu kemudian, pengumuman pemeran dalam teater Siti Nurbaya pun diunggah. Sungguh menakjubkan, karena ternyata banyak juga anak-anak muda yang tergabung dalam teater tersebut. Antusiasme mereka untuk melestarikan budaya sangat patut didukung. 

Budaya tradisional kita sudah lama kurang dilirik dan hanya hadir untuk dinikmati atau dijadikan bahan untuk perdagangan semata. Mungkin hal ini terjadi karena jarak usia nenek moyang dengan kita terlalu jauh, sehingga suasana untuk mengimajinasikan peristiwa sejarah dan filosofinya sudah tidak lagi terasa. 

Bahkan tidak menutup kemungkinan apa yang kita pelajari selama ini di sekolah, dan saat berwisata tentang sejarah dan filosofi budaya, kita anggap sebagai pengetahuan belaka. 

Tahu, tapi tidak memiliki sifat untuk merasakan bahwa kita bagian dari budaya Indonesia, karena tidak merasakan secara langsung nuansa budayanya.

Trie Utami dan Dewa Budjana, serta musisi lain yang memainkan alat musik replika dari relief Candi Borobudur | Foto : Warta Magelang.com
Trie Utami dan Dewa Budjana, serta musisi lain yang memainkan alat musik replika dari relief Candi Borobudur | Foto : Warta Magelang.com

Orkestra Sound of Borobudur hadir dengan memberikan suasana kejayaan masa lampau. Replika alat-alat musik yang ada dalam relief Candi Borobudur dihadirkan dan dimainkan menjadi lantunan lagu yang begitu menghentakkan semangat dan membawa kita untuk merasakan secara langsung nuansa Candi Borobudur pada masanya.

Ketika saya mendengar lantunan lagu Jataka, Lan E Tuyang dan Indonesia Pusaka yang dimainkan dengan alat musik replika relief Candi Borobudur, bulu kuduk saya merinding bangga, sekaligus ada rasa haru tersemat dalam dada. 

Perasaan tersebut seakan membawa saya merasakan langsung kejayaan saat masa Dinasti Syailendra berdiri tidak sekedar isapan jempol belaka. Kita akan merasakan bahwa dalam darah kita mengalir darah nenek moyang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi dan berbudaya. Bukan semata orang bodoh yang sempat didoktrin pada masa penjajahan.

Rasa bangga dan haru semakin membuncah, ketika musisi senior seperti Trie Utami, Dewa Budjana dan Purwatjaraka menjelaskan tentang alat-alat musik yang ada dalam relief Candi Borobudur tersebar diseluruh Indonesia dan manca negara. Hal tersebut mengindikasikan bisa jadi Candi Borobudur dulunya merupakan pusat musik dunia. Penelitian yang dilakukan selama 5 tahun membuat mereka menyadari bahwa dulunya sepertinya Candi Borobudur pernah diadakan konser musik yang besar. 

Penelitian dilakukan tentu sesuai fakta dan jauh dari angan belaka mengingat Candi Borobudur selesai dibangun pada tahun 825 Masehi pada masa pemerintahan Raja Samaratungga, pembangunannya memakan waktu sekitar 75-100 tahun lebih.

Relief yang terpahat dalam Candi Borobudur menceritakan tentang kehidupan yang telah terjadi, dan kebajikan dalam menjalani kehidupan. Alat-alat musik yang terpahat dalam relief Candi Borobudur bisa jadi dipahat bukan berdasarkan angan pemahatnya, tapi memang alat musik tersebut sudah ada dalam dunia nyata.

Visi misi orkestra Sound of Borobudur untuk menemukan jati diri bangsa, mengenali kebesaran peradaban masa lampau, sepertinya sejalan dengan keinginan generasi milenial untuk melestarikan budaya bangsanya. Para muda-mudi Indonesia membutuhkan suasana dan nuansanya sehingga bisa semakin menjiwai dan memahami budaya negeri ini.

Bagai prajurit yang berperang, disemangati dengan tabuhan gendang, melestarikan budaya negeri pada masa arus globalisasi yang kuat tentu tidaklah mudah. Budaya luar terus saja berdatangan, tanpa bisa diakulturasi terlebih dahulu. 

Namun dengan adanya live action relief Candi Borobudur, yang ditampilkan dan dikumandangkan oleh orkestra Sound of Borobudur, tidak menutup kemungkinan generasi milenial akan semakin bersemangat mengenal lebih dalam tentang budayanya, kemudian melestarikan, sekaligus melakukan improvisasi, meyesuaikan diri dengan zamannya, agar budaya negeri kita akan terus eksis bertahun-tahun mendatang. 

Budaya Indonesia tidak semata budaya tradisional yang kampungan, melainkan budaya yang mengedepankan akal, budi dan seni. Tidak sedikit orang dari negara luar yang sangat mengapresiasi budaya negeri kita dan tidak segan mempelajari lebih dalam. Ketika mereka mengenalnya, rasa cinta pada budaya negeri kita sangatlah besar. Kita, orang Indonesia, tentu akan lebih berbangga hati untuk mempelajari dan melestarikannya, apalagi dalam darah kita sudah mengalir darah nenek moyang yang berbudaya tinggi. 

Kehadiran Orkestra Sound of Borobudur terasa seperti menggelorakan semangat generasi milenial untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia. 

Referensi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun