Contoh konkretnya, mantan menteri sosial, Idrus Marham, menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK karena kasus suap pada 31 Agustus 2018. Pak Idrus pun mengundurkan diri menjadi menteri, dan kemudian digantikan oleh Parta Gumiwang Kartasasmita pada 24 Agustus 2018. Juliari P Batubara kemudian baru menjabat sebagai Menteri Sosial pada masa pemerintahan Presiden Jokowi pada periode ke 2.
Bukannya belajar dari kesalahan menteri terdahulu dari Pak Idrus, eh, malah Pak Juliari belajar untuk mewarisi budaya korupsi, dan yang lebih fatal dana bantuan sosial lah yang dijadikan wadah berkorupsi ria.
Artinya, korupsi ini sudah dianggap terlalu wajar dilakukan hingga tidak ada kekhawatiran ketika melakukan tindakan tersebut. Apakah reshufle bisa efektif ketika korupsi masih membudaya?
Bolehlah kita anggap korupsi atau tidaknya itu tergantung personalnya masing-masing, tapi kita bisa lihat secara kasat mata, pejabat yang kita yakini tidak korupsi dan melakukan pekerjaan dengan penuh dedikasi, bukankah terdepak dari kursi pemerintahan? Contohnya saja Susi Pudjiastuti, Almarhum B.J Habibie, dan Ignasius Jonan.
Kedua, kata tegas yang seringkali saya baca, seperti kata sifat saja, tanpa penerapannya sama sekali di lapangan.
Para koruptor yang membuat negara mengalami kerugian, sepertinya diberikan hukuman hanya untuk menenangkan publik saja. Dibalik jeruji, mereka malah mendapatkan perlakuan istimewa.
Contoh kasus, Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang terbukti bersalah karena korupsi proyek pengadaan E-KTP (KTP Elektronik). Namun dalam masa penahanannya, ia jatuh sakit dan harus dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Mungkin supaya ia kembali sehat dengan cepat, maka ia diizinkan untuk menikmati masakan Padang (yang biasanya dilarang makan oleh dokter kalau lagi sakit), sambil cari angin.
Dirjen Lembaga Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami, memberikan pembelaan, "Itu (kan rumah makannya) ada di dalam RSPAD. Kafe apa itu, di situ pokoknya. Nah yang bersangkutan usai diperiksa terus jalan dan mampir sebentar mau (cari) angin. Terus rupanya duduk di situ".Â
Pembelaan yang dilakukan oleh Dirjen Lembaga Permasyarakatan memberikan pada saya gambaran betapa istimewanya koruptor yang menjalani masa tahanan, hingga diizinkan makan Padang dan cari angin dengan bebas. Sedangkan, saya pernah mendengar warga binaan (napi) yang hanya memiliki uang seadanya, bisa jadi tidak menerima perawatan kesehatan sebagaimana mestinya. Cari angin pun mungkin hanya diizinkan dibalik jeruji besi saja.Â
Tidak berhenti sampai disitu saja, pelemahan lembaga KPK yang hilang independensinya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, kemudian ada Yasona Laoly, yang menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, juga sepertinya  bersemangat untuk membebaskan napi koruptor saat awal COVID 19 masuk ke Indonesia, sekitar bulan April 2020. Bahkan September 2020 lalu, ada 20 koruptor yang masa tahanannya dipotong. Asek ~.Â
Hal ini menunjukkan yaaa... ketegasan yang indah ditulis saja tanpa pengaplikasian di lapangan. Memberikan celah untuk pejabat negara dalam mengisi pundi-pundi pribadinya, ketimbang konsentrasi layaknya seorang pejabat mengemban tugas negara dalam memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat.