"Dua. Tahan berapa lama, Mbak, kalau taro di freezer?", saya kembali mengulang pertanyaan dengan nada yang agak lambat untuk mengetesnya. Sepengalaman saya, tuna wicara atau tuna rungu akan kesulitan mengerti gerakan mulut yang terlalu lama.Â
Pramusaji tersebut menatap mulut saya sembari mengernyitkan dahi, tanda ia tidak memahami pertanyaan saya. "Maaf", katanya. Kemudian saya kembali mengulang pertanyaan saya dengan kecepatan nada yang normal.
Baca:Â Komunitas Difabel Mempertemukanku Dengan Sosok Tangguh Asal Solo, Inti Sari
Ia kembali menatap gerakan bibir saya, dan menjawabnya beberapa detik kemudian, "Dua minggu, Kak". "Kalau begitu jangan dihangatkan, Mbak, saya makannya besok.", pinta saya. Kemudian pramusaji tersebut membungkus bakpaonya dengan rapi.
Setelah membayarnya, saya pun berjalan menuju meja makan yang letaknya tidak jauh dari stand bakpao, karena masih penasaran, dan ingin memperhatikan apakah pramusaji tersebut merupakan difabel atau bukan. Saya pun makan makanan yang sebelumnya sudah saya pesan, sembari memperhatikannya dari kejauhan.Â
Tidak lama ada pembeli lain yang menghampiri stand bakpao tersebut. Pembeli tersebut langsung menepuk pundak sang pramusaji yang sedang menatap smartphone-Â nya. Dan ia pun kembali menatap gerakan bibir pembeli, dan baru menjawab beberapa detik setelah pembeli itu selesai berbicara.
Dari sana saya meyakini bahwa sang pramusaji memanglah seorang difabel. Salut, itulah yang saya rasakan setelah menyadarinya. Pramusaji tersebut sama sekali tidak menggunakan kekurangannya untuk mendapatkan uang dengan mudah.Â
Ia bekerja sebagai karyawan toko, bahkan kalau tidak ada kejadian saya melihat office boy menepuk pundaknya untuk mendapatkan perhatiannya, saya tidak akan menyadari kalau pramusaji tersebut difabel.
Suaranya yang cadel, juga baru saya perhatikan saat melihat dirinya harus menatap gerakan bibir saya, baru kemudian menjawab pertanyaan. Itupun suara cadelnya hampir tidak ketara kalau tidak diperhatikan dengan baik.
***