"Mbak, Bakpao ikan tunanya pedes ga?", tanya saya kepada seorang pramusaji yang sedang menunduk menonton YouTube di smartphone-nya.
Saat itu saya berada di food court sebuah mall. Pramusaji tersebut tetap menunduk, menonton, sama sekali tidak menyahut pertanyaan saya. Saya pun mengeraskan suara dengan memanggil, "Mbak", agar dia nendengarnya, siapa tahu tadi suara saya tenggelam dengan suara YouTube.
Pramusaji tersebut tetap tidak bergeming.Â
Kesal, saya pun hendak melangkahkan kaki menuju stand food court lain. Kemudian, datang office boy yang menepuk pundak pramusaji tersebut, saat pramusaji menengok kearahnya, office boy tersebut langsung memberitahunya, "ada yang mau beli", sambil mengarahkan jempolnya dengan sopan ke arah saya.
Pramusaji segera menatap kearah saya dan tersenyum ramah. Karena masih kesal, saya sama sekali tidak membalas senyumnya dan melanjutkan langkah kaki saya.
"Mau bakpao rasa apa, Kak?", tanya pramusaji tersebut dengan suara agak cadel. Karena saya sedang ingin sekali makan Bakpao, saya pun menghentikan langkah, dan menjawab "ikan tuna, Mbak, pedes ga?".
Ia menatap mulut saya, kemudian seperti video yang loading yang menunggu signal, ia sempat terdiam beberapa detik, baru menjawab pertanyaan saya, "Lumayan pedas, Kak. Kakak mau yang ga pedas?".
"Saya mau yang pedes aja, Mbak", sahut saya. Dan ia pun menjawab beberapa detik kemudian setelah menatap gerakan bibir saya.
Ada rasa ganjil yang menggelitik dihati, saya malah jadi memperhatikan penampilan sang pramusaji. Rambutnya hitam terurai, dikuncir setengah, wajahnya cukup manis, tubuhnya langsing dan pakaiannya modis, menandakan ia memperhatikan penampilan seperti perempuan pada umumnya. Usianya mungkin kurang lebih awal 20an. Tapi gerakannya lamban....
Pramusaji tersebut sedang mencari bakpao yang saya inginkan di freezer. Saya pun bertanya padanya, "Kalau taro di freezer, tahan berapa lama, Mbak?". Pramusaji tersebut hanya menatap saya, tersenyum, kemudian kembali mencari bakpao tersebut, tanpa menjawab pertanyaan saya.
Saya kembali memperhatikannya, sembari menunggunya mencari si bakpao. Gerakannya masih lamban, namun agak sedikit panik, membuat saya sedikit kasihan, mungkin ia baru pertama kali kerja. Kemudian ia bertanya, sepertinya baru teringat, "Bakpaonya mau berapa, Kak?", dengan suara cadel agak tidak ketara. Kali ini saya lebih memperhatikan suaranya.